Tekan Angka Pernikahan Anak, Kecamatan Sawangan Terus Edukasi Masyarakat

Dilihat 79 kali
Kepala Dinas Sosial PPKB PPPA Kabupaten Magelang, Bela Pinarsi, sebagai narasumber, menekankan pentingnya kesiapan usia, fisik, mental, dan sosial sebelum memasuki kehidupan pernikahan.

BERITAMAGELANG.ID - Pemerintah Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, terus mengintensifkan program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) sebagai langkah strategis untuk menekan angka pernikahan anak. Salah satu upaya terbaru dilakukan melalui kegiatan edukasi masyarakat yang digelar bekerja sama dengan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) Yogyakarta, Jumat (4/7/2025).


Kepala Dinas Sosial PPKB PPPA Kabupaten Magelang, Bela Pinarsi, yang hadir  sebagai pemateri, menekankan pentingnya kesiapan usia, fisik, mental, dan sosial sebelum memasuki kehidupan pernikahan.


''Kami ingin membekali para remaja dengan pemahaman menyeluruh tentang kehidupan pernikahan, karena pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga tanggung jawab yang besar,'' ujar Bela.


Data menunjukkan, pada 2023 tercatat 47 kasus pernikahan anak di Kecamatan Sawangan, dengan mayoritas pelaku berusia di bawah 18 tahun. Angka ini menurun pada 2024 menjadi 22 kasus, namun Sawangan masih menjadi salah satu kecamatan dengan permohonan dispensasi kawin (DISKA) tertinggi di Kabupaten Magelang.


Berdasarkan catatan hingga Juni 2025, terdapat 91 permohonan DISKA di Kabupaten Magelang. Tiga wilayah penyumbang terbanyak adalah Kecamatan Pakis (16), Sawangan (14), dan Ngablak (9).


Dalam kegiatan tersebut juga dipaparkan berbagai faktor penyebab tingginya angka pernikahan anak, seperti dorongan ekonomi, rendahnya pendidikan, tekanan keluarga, serta pengaruh budaya. Selain itu, kehamilan di luar nikah, pergaulan bebas, hingga praktik perjodohan turut menjadi pemicu utama.


Pernikahan anak diketahui membawa dampak serius, baik dari sisi kesehatan, psikologis, sosial, maupun ekonomi. Risiko kematian ibu dan bayi, stunting, serta infeksi menular seksual mengancam pasangan usia dini. Secara psikologis, pernikahan anak meningkatkan risiko stres, gangguan mental, hingga depresi. Sementara secara sosial, pernikahan anak kerap mengakibatkan putus sekolah dan memperbesar potensi kemiskinan.

Sementara itu, dosen Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Niken Meilani, yang juga menjadi pemateri, menyampaikan pentingnya pemahaman mengenai HIV/AIDS dalam konteks keluarga dan pernikahan. Ia menyoroti pentingnya penggunaan antiretroviral (ARV) sebagai pengobatan utama bagi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).


''Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah. Namun, ARV harus dikonsumsi seumur hidup. Tidak bisa digantikan dengan suplemen atau obat herbal,'' jelas Niken.


Ia juga menyoroti stigma dan diskriminasi yang masih melekat terhadap para penyintas HIV/AIDS, yang menjadi hambatan besar dalam penanganan kasus.


Kampanye ini sekaligus mengajak masyarakat untuk bersikap lebih bijak dan empatik terhadap para penyintas, serta mendorong masyarakat untuk melakukan tes HIV secara sukarela dan berkala sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan bertanggung jawab.




Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar