Kesiapan Seni Tari Masuk Wilayah Industri Kreatif

Dilihat 667 kali
Seni pertunjukan khusunya seni tari sampai saat ini masih diandalkan untuk mendukung sektor pariwisata. Tentunya perlu disikapi oleh seniman dengan membekali kemampuannya untuk menguasai manajemen profesional.

SEPERTI diketahui di tengah krisis multi dimensi yang melanda negeri ini, sampai saat ini berbagai upaya pemerintah untuk melakukan langkah antisipatif agar target kunjungan wisatawan mancanegara dapat terpenuhi pasca pandemi ini. Dari berbagai laporan yang dilansir berbagai media massa tampaknya sampai saat ini pariwisata masih menjadi sektor andalan dan merupakan potensi besar untuk mendongkrak perolehah devisa negara. Sehingga industri pariwisata sangat relevan dengan industri dan ekonomi kreatif yang dicanangkan pemerintah belakangan ini.

Secara sederhana industri kreatif dapat dipahami sebagai salah satu sektor ekonomi yang dikembangkan oleh manusia dalam rangka survive dan meraih taraf kesejahteraan yang lebih memadai. Dalam lingkup pasar, teknologi dibuat karena dorongan untuk membuat alat dan ketrampilan sebagai kiat meningkatkan strategi yang ada dalam menghadapi lingkungan materiil yang berubah dan ketatnya persaingan. Di sini, indutri kreatif yang mensyaratkan kapasitas untuk mencipta atau berinovasi merupakan cermin daya tahan dan kemajuan yang berhasil ditempuh oleh suatu masyarakat-bangsa.

Namun perlu disadari, berbicara tentang industri kreatif bukan semata-mata berbicara tentang industri dan kreativitas. Di dalamnya terdapat sejumlah persoalan yang jauh lebih kompleks terkait dangan fenomena budaya perkotaan dan pedesaan dalam konstelasi  elaborasi kebudayaan yang lokal maupun gobal. Di samping itu keberadaannya juga  memberikan pengaruh terhadap perkembangan geopolitik dan sosial budaya komunitas penyangganya.

Untuk cabang seni tari, sebenarnya kreativitas sudah mulai digulirkan sejak lama, ketika para empu tari baik di Yogya dan Surakarta mulai menelorkan ide inovatifnya. Di Yogja ada RM Wisnu Wardhana, Bagong Kussudiarjo, KRT Sasmintadipura, dan lain-lain. Di Surakarta dikenal juga beberapa empu tari yang sampai akhir hayatnya tetap mempunyai komitmen untuk menjaga eksistensi, keberlanjutan, dan elaborasi tari. Tokoh-tokoh tersebut antara lain GPH Prabuwinoto, KRT Kusumokesowo, Ngaliman Condropangrawit, KRT Tandhakusuma, KRT Wiratmodipura, RM Rono Suripto, Nyi Bei Mintararas, Ibu Tarwo Sumosutargya, dan banyak tokoh lainnya.

Namun seiring perjalanan waktu yang terus bergulir dengan gelombang industri modern yang menerpa jagad seni pertunjukan, ternyata kesiapan para seniman khususnya seni tari  masih perlu dipertanyakan. Sebagaimana diketahui bahwa seni tari sampai saat ini masih belum bisa dihargai dalam hitungan nominal seperti halnya seni rupa atau seni musik.

Banyak seniman-seniman tari yang menari di hotel berbintang di kawasan parisiwisata yang dihargai sangat rendah. Justru malah mereka itu dimanfaatkan oleh industri pariwisata untuk bisa meraup nilai profit sebesar-besarnya. Dengan biaya murah namum nilai jualnya kepada wisatawan tinggi. Walaupun demikian para seniman tari pun tetap terbuai dan mau dibeli dengan harga jual yang relatif rendah yang tidak sebanding dengan proses kreatif mereka.

Terlebih lagi dengan semakin eksisnya lembaga pendidikan formal kesenian baik di jenjang pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi telah menghasilkan karya-karya tari yang bagus dilihat dari ukuran estetika. Namun anehnya karya mereka tidak laku jual, alias tidak bisa dikonsumsi publik dilihat dari aspek ekonomi.

Perlu instrospeksi

Untuk itu kiranya para seniman perlu lebih instrospeksi dari berbagai simpul-simpul kelemahannya selama ini dengan berbagai upaya yang prospektif. Pertama, memperkuat solidaritas antar seniman. Dengan mereka bersatu nantinya akan muncul media sharing di antara mereka, saling tukar informasi untuk menambah cakrawala pandang demi kemajuan seni tari baik untuk personal maupun kelompok.

Kedua, membentuk jejaring antar seniman. Dengan kekuatan jejaring ini, diharapkan seniman dapat memperkuat posisi tawar  dengan para pihak yang akan membutuhkan. Tidak saling menjatuhkan antar kelompok, tidak membuat strategi banting harga yang nantinya malah akan menjadikan bumerang bagi para senimannya. Dengan jejaring kebersamaan akan manjadi parameter utama demi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Ketiga, memperkuat manajemen. Banyak organisasi  seni pertunjukan yang sangat bagus dari aspek artisitik. Namun, karena organisasi itu tidak dikelola dengan manajemen yang baik akhirnya bubar. Permasalan-permasalahan tersebut merupakan akibat aspek nonartistik atau aspek manajemen yang kurang mendapat perhatian dari para seniman seni pertunjukan (Achsan Permas et al, 2003).

Pimpinan grup juga sering bekerja sendiri, seperti menulis naskah, mencipta tari dengan aransemen musiknya, mengurus pemasaran kontrak, mengolola keuangan, atau mengurus pengadaan properti dan akomodasinya, padahal kapabilitas nonartistiknya sangat minim. Dampak yang dirasakan aspek artistik menjadi kurang mendapat dukungan, anggota menjadi tidak respek, dan penonton mendapat suguhan karya yang kurang berkualitas karena tidak dipersiapkan dengan baik.

Transparansi manajemen

Adapun faktor yang sangat sensitif dalam manajemen ini di antaranya adalah transparansi keuangan. Sudah menjadi permasalahan klasik bila aspek manajemen keuangan ini tidak transparan bakal muncul krisis kepercayaan yang sangat berimbas pada perjalanan organisasi ke depan. Untuk itu transparansi keuangan perlu mendapat perhatian serius. Misalnya terkait dengan pemberian job (pekerjaan) pada seniman. Banyak organisasi yang memperkerjakan seniman hanya karena faktor familiar atau pertemanan saja. Modalnya hanya saling percaya satu sama lain. Namun sekarang perlu diaplikasikan  sistem penawaran nilai harga kontrak yang dituangkan dalam suatu kesepatan bersama.

Di Yogyakarta, Didik Nini Thowok melalui LPK Tari Natya Lakshita yang dikelolanya, sampai sekarang kepada para seniman pendukungnya, bila ia memerlukan penari, maka beberapa hari sebelum pementasan Didik lewat manajemennya telah memberikan kesediaannya terlebih dahulu kepada seniman yang akan diajak. Di dalam formulir tersebut juga tertera surat undangan resmi lengkap dengan jumlah nominal honorarium yang akan diterima. Kalau seniman yang akan diajak bersedia, dimohon untuk langsung menandatanganinya dan menyerahkan kembali kepada manajemen produksinya.

Dari berbagai uraian dan diskursus terkait dengan industri kreatif yang saat ini didengung-dengungkan oleh pemerintah, faktor yang paling elementer adalah upaya seniman untuk bisa  membangun imej. Tentunya pola pikir yang dibangun harus profesional. Adapaun parameter profesional perlu ditekankan pada keseimbangan antara kreativitas dengan nilai yang dicapai dengan tetap solid pada profesinya walaupun harus jatuh bangun seiring dengan dinamika kehidupan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar