Memaknai Lebaran dalam Keberagaman

Dilihat 2082 kali
Hari Raya Lebaran dapat dimaknai sebagai memontum untuk saling memaafkan dan merajut keberagamaan dalam berbagai relasi sosial sebagai penanda bahwa setiap orang merindukan kedamaian dalam kehidupannya.

SEBAGIMANA diketahui, hari raya Idul Fitri 1444 H, tahun ini merupakan momentum yang dilalukan oleh umat Islam di seluruh dunia setelah pandemi. Ketika pandemi, tali silaturahmi hanya terbatas di lakukan di rumah atau mungkin melalui daring. Saat ini momentum untuk merajut silaturahmi secara langsung dapat terwujud.

Dalam dinamika perjalanan waktu, ritus puasa sebagai wujud keprihatinan untuk pengendalian segala keinginganan pada akhirnya berpuncak pada hari raya Lebaran. Secara faktual, Lebaran dalam tataran implementasinya bukan dinikmati kalangan santri saja. Kalangan nonmuslim atau lintas agama ikut mendukung aktivitas Lebaran tersebut dengan tulus. Melalui Lebaran integrasi dapat dibangun sebagai tanda sekat-sekat atau perbedaan luluh menjadi satu harmoni yang menandaakan semua umat manusia menghargai berbagai keberagaman.

Terlebih lagi Indonesia dengan ribuan suku bangsa, tentunya momentum ini tepat sekali untuk merajut tali silaturahmi nasional. Melalui lebaran juga dapat terajut tali silaturahmi yang menyatukan perbedaan dalam satu harmoni kehidupan. Kiat untuk mendekatkan yang jauh, yang putus atau mengalalami kerenggangan disambung, yang berbeda diselaraskan, yang terpisah ditemukan kembali, atau yang rusak dibenahi.

Clifford James Geertz antropolog dari Amerika Serikat yang banyak melakukan penelitian tentang budaya Indonesia pernah menyebutkan bahwa Lebaran merupakan ritus yang paling menasional di Indonesia, karena berbagai komponen ikut mendukung dan merayakan kegiatan tersebut yang dapat mengikis berbagai restriksi atau sekat-sekat perbedaan (Majalah Gong, No. 95/IX/2007).

Apabila ditelisik dari terminologinya saja, lebaran mengusik segudang pertanyaan. Dalam Komunitas Jawa Lebaran sering dinamakan riyaya (hari raya) yang dapat dimaknai sebagai hari kemenangan umat manusia dalam menghadapi berbagai cobaan. Kata raya dalam perayaan merujuk istilah peristiwa kemenangan umat Islam selama satu bulan penuh dapat mengalahkan berbagai hawa nafsu dan menahan diri dari segala godaan duniawi.

Selain itu, orang Jawa juga sering menggunakan istilah bakda untuk menyebut hari raya Lebaran atau Idul Fitri tersebut. Bakda dapat dimaknai sesudah atau fase setelah menjalankan ibadah puasa yang membuat manusia mendapatkan rahmat-Nya, ampunan-Nya sehingga terbebaskan dari siksa api neraka. Suatu filosofis yang sangat mendalam, bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan, manusia perlu melakukan laku prihatin terlebih dahulu.

Unsur  Pokok Lebaran

Dalam perayaan Lebaran tersebut pada dasarnya terdapat tiga unsur pokok yang sangat elementer yaitu, tempat, sosial, dan keagamaan. Tempat merupakan tujuan jutaan umat Islam di Indonesia mudik, berkunjung, atau pulang sementara ke kampung halamannya. Namun, pulang tersebut, bukan semata mendatangi tempat tanah kelahirannya, melainkan karena memiliki sanak saudara juga handai tolan.

Apabila seseorang sudah tidak memiliki lagi kerabat di tempat kelahiran atau kampung halamannya, kemungkinan besar tidak akan mudik. Dengan demikian, tempat dalam konteks tersebut bukan berarti tanah kampung, melainkan tempat, manusia memiliki ikatan sosial dengan banyak relasi. Ikatan sosial ini, menjadi hal yang sangat prinsip, karena dalam norma kehidupan, seseorang tidak bisa hidup sendiri, namun sangat membutuhkan banyak pihak.

Adapun unsur keagamaan dapat dipahami tidak semata-mata untuk manjalani laku religius. Kalau hanya sekadar laku religuis bisa dilakukan di mana saja. Dalam konteks keagamaan ini, sebenarnya tujuan utamanya tak lain adalah memontum untuk menguatkan jalinan sosial tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa pada saat Lebaran mesti dilakukan ajang silaturahmi untuk saling memaafkan.

Tidak bisa dipungkiri, momentum silaturahmi ini merupakan mekanisme rekonsiliasi yang sangat efektif dalam upaya penyelesaian berbagai kekhilafan, perselisihan, ketegangan, atau konflik antar anggota keluarga atau masyarakat yang terjadi di masa silam. Di samping itu silaturahmi dapat sebagai sarana atau medium relasi sosial untuk mencari jalan keluar dari berbagai kerumitan permasalah yang terjadi di lingkup keluarga atau komunitas.

Tradisi silaturahmi ini, terasa lebih semarak manakala anak-anak setelah Shalat Id langsung mengunjungi rumah tetangga dengan pakaian yang lain dari biasannya. Adapaun yang dikunjungi tidak sekadar tetangga dekat, bahkan sampai tetangga yang juah dari daerah asalnya. Tradisi silaturahmi di Pulau Jawa saat lebaran dinamakan ujung atau berkunjung. Di Palu sering dinamakan bagala, di Riau dikenal dengan sebutan sagu hati, sedangkan di Padang dikenal dengan istilan manambang, dan beberapa daerah lainnya tentunya tentunya juga memiliki nama yang spesifik. Kebhinekaan nama tersebut menandakan betapa kayanya bangsa Indonesia dengan berbagai adat istiadatnya. Walaupun penamaannya berbeda namun tujuan akhirnya sama, yaitu tali silaturahmi untuk saling memaafkan.

Merawat Keberagaman

Di tengah-tengah maraknya isu intoleransi beberapa tahun terakhir ini, kiranya sangat tepat bahwa momentum Lebaran tahun ini dapat dijadikan sebagai momentum dalam merawat keberagaman. Hal itu sudah dilakukan dan diawali oleh para pemuka agama lintas agama yang saling bersilaturahmi. Tanpa memandang agama yang dianut mereka saling memberikan ucapan tali silaturahmi. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa agama Islam merupakan agama moderat yang sangat menjunjung tinggi keberagaman. Siapapun yang mengucapkan atau berkunjung silaturahmi pasti diterima dengan tangan terbuka.

Dalam suasaan Lebaran atau Idul Fitri, sudah dipastikan setiap orang tergerak untuk meleburkan egoisme pribadinya dengan cara saling memaafkan satu sama lain, baik secara langung atau melalui media sosial. Fenomena tersebut menandakan kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Permhonan maaf menunjukkan bahwa setiap insan di dunia ini merindukan kedamaiman dalam kehidupannya.

Semoga Hari Raya Lebaran di tahun ini, menjadi momentum berharga dan mengimajinasi setiap umat manusia terutama bangsa Indonesia untuk merajut persatuan, kesatuan dalam bingkai  keberagaman dengan melakukan tindakan praksis sehari-hari, serta menginpirasi dalam mengedepankan toleransi demi terwujudnya perdamaian maupun peradaban global.

Oleh: Ch. Dwi Anugrah, 

Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar