Membaca Peta Kerawanan Pilkada 2024, Perspektif Pengawas

Dilihat 304 kali

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 akan menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Berbeda dengan dari Pilkada sebelumnya, Pilkada 2024 merupakan Pilkada pertema yang diadakan serentak di seluruh negeri, selain itu, Pilkada tahun ini juga terasa lebih semarak, diwarnai dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang sangat dinamis. 


Khusus di Kabupaten Magelang Pilkada akan mengetengahkan dua pasang kandidat yang akan bersaing kompetitif dan ketat, yakni Sudaryanto-Agung Trijaya dan pasangan Grengseng Pamuji-Sahid. Dua pasangan ini yang akan berkompetisi meraih sebanyak-banyaknya suara rakyat, dan kelak peraih suara terbanyak akan menjadi Bupati dan Wakil Bupati Magelang, Jawa Tengah.


Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, sebagai lembaga pengawas independen, telah merilis peta kerawanan yang menjadi dasar penting bagi pengawasan Pilkada yang lebih proaktif dan antisipatif. Dalam tulisan ini, saya akan mengupas lebih dalam peta kerawanan yang diidentifikasi Bawaslu RI, serta memberikan perspektif dari sisi pengawas pemilu.


Peta Rawan Curang 


Pada Senin 26 Agusustus 2024 lalu, Bawaslu RI merilis Peta Kerawanan Pilkada 2024. Peta kerawanan disusun berdasarkan kajian dan analisis terhadap beberapa aspek utama, yakni politik uang, penyebaran hoaks, netralitas penyelenggara, ASN, TNI-Polri, polarisasi politik, serta potensi kekerasan dan intimidasi. Peta kerawanan ini merupakan hasil kajian empiris yang mempertimbangkan tren kerawanan Pilkada sebelumnya, dinamika politik nasional, serta interaksi antara elit politik dengan masyarakat.


Politik uang. Politik uang tetap menjadi ancaman terbesar bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Meski berbagai regulasi dan sanksi telah diterapkan, praktik ini masih subur di banyak daerah. Peta kerawanan Bawaslu menyoroti beberapa daerah dengan tingkat kerentanan politik uang yang tinggi, terutama di daerah-daerah dengan sejarah keterlibatan oligarki politik yang kuat.


Dalam konteks pengawasan, penting bagi Bawaslu dan pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan edukasi politik kepada masyarakat. Pengawasan partisipatif harus menjadi agenda prioritas, di mana masyarakat didorong untuk melaporkan dugaan politik uang yang terjadi di lingkungan mereka. Penguatan sistem pelaporan dan perlindungan saksi juga harus menjadi fokus agar masyarakat tidak takut berbicara.


Penyebaran Hoaks dan Polarisasi di Media Sosial. Pada era yang sering disebut sebagai era milenial ini, media sosial telah menjadi medan tempur baru dalam kontestasi politik. Peta kerawanan Pilkada 2024 dari Bawaslu  RI menunjukkan bahwa potensi penyebaran berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian semakin tinggi, terutama dalam isu-isu identitas seperti agama dan etnis. Polarisasi di media sosial dapat memicu konflik horizontal yang membahayakan keamanan daerah.


Untuk merespon ini, jajaran pengawas perlu memperkuat kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta platform media sosial untuk memantau konten yang disebarkan. Pengawasan yang lebih ketat terhadap konten-konten yang berpotensi memecah belah juga harus dibarengi dengan peningkatan literasi digital masyarakat agar mereka lebih selektif dalam mengkonsumsi informasi. 


Polarisasi Politik dan Potensi Konflik Sosial. Pemetaan Bawaslu juga menyoroti kerawanan terkait polarisasi politik yang semakin tajam, baik di tingkat elit maupun masyarakat. Isu-isu primordial seperti agama, suku, kedaerahan, dan golongan sering kali dimanfaatkan oleh aktor politik untuk mendapatkan dukungan, yang pada gilirannya berpotensi memecah belah masyarakat. 


Pengalaman Pilkada di masa lalu menunjukkan bahwa polarisasi politik dapat memicu konflik sosial yang serius, terutama di daerah-daerah dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan berbasis pencegahan konflik yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk meredam ketegangan dan menciptakan dialog lintas identitas.


Potensi Kekerasan dan Intimidasi. Dalam beberapa Pilkada sebelumnya, kekerasan dan intimidasi terhadap peserta pemilu, baik kandidat maupun pemilih, serta penyelenggara menjadi masalah serius. Bawaslu mengidentifikasi sejumlah daerah dengan tingkat kerawanan kekerasan yang tinggi, terutama di wilayah dengan sejarah konflik Pilkada yang panjang. Potensi intimidasi terhadap kelompok minoritas, perempuan, dan masyarakat adat juga menjadi perhatian khusus.


Pengawasan yang ketat di wilayah-wilayah rawan ini menjadi salah stau  prioritas Bawaslu, bersama dengan aparat keamanan. Selain itu, penting juga bagi jajaran pengawas untuk melindungi hak-hak kelompok rentan agar dapat berpartisipasi dalam Pilkada tanpa rasa takut, sebagaimana yang menjadi salah satu concern Bawaslu, melindungi hak pilih warga yang memang sudah mempunyai hak pilih.


Pendekatan Pengawasan yang Lebih Strategis


Bawaslu sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab dalam memastikan integritas Pilkada, perlu mengadopsi pendekatan pengawasan yang lebih strategis dan berbasis data. Peta kerawanan yang dirilis Bawaslu bukan hanya menjadi peta resiko, tetapi juga peta peluang untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan konflik. Pendekatan ini bisa diterapkan melalui beberapa langkah berikut:


Penguatan Pengawasan Berbasis Teknologi. Pemanfaatan teknologi informasi dapat menjadi kunci dalam meningkatkan efektivitas pengawasan. Bawaslu perlu memperluas penggunaan aplikasi pelaporan berbasis digital, yang memungkinkan masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran secara cepat dan aman. Sistem pemantauan berbasis big data juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tren pelanggaran dan potensi konflik di wilayah-wilayah rawan.


Kolaborasi dengan Masyarakat Sipil. Pengawasan partisipatif merupakan kunci dalam menjaga integritas Pilkada. Masyarakat sipil, termasuk Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) dan organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan. Mereka bisa menjadi mitra Bawaslu dalam memberikan edukasi kepada masyarakat serta memantau secara langsung proses pemilihan di lapangan.


Perlindungan Terhadap Pengawas. Tidak jarang jajaran pengawas di lapangan menjadi korban intimidasi atau bahkan kekerasan. Bawaslu senantiasa memastikan bahwa pengawas di setiap daerah mendapatkan perlindungan yang memadai dari ancaman fisik maupun non-fisik. Ini termasuk pemberian pelatihan kepada pengawas mengenai cara menghadapi situasi berisiko tinggi.


Akhirul kalam, Pilkada 2024 akan menjadi ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Dengan tingkat kerawanan yang teridentifikasi oleh Bawaslu, tantangan yang dihadapi pengawas pemilu jelas tidak ringan. Namun, dengan pendekatan yang strategis, berbasis data, serta kolaborasi yang kuat dengan masyarakat sipil, potensi pelanggaran dan konflik bisa diminimalisir. 


Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang diawasi dengan cermat. Peta kerawanan yang ada bukanlah alasan untuk pesimis, melainkan peluang untuk memperkuat demokrasi dan mewujudkan Pilkada yang bersih, adil, dan damai.


Selamat berkompetisi secara fair para kandidat kepala daerah di seluruh nusantara. Siapapun peraih suara terbanyak, pemenangnya adalah rakyat Indonesia. 


Selamat menunaikan tugas rekan-rekan penyelenggara, semoga senantiasa sehat wal afiat serta dalam naungan hidayat, rahmat, dan ridho-Nya, aamiin.


Wallahu a'lam bish-shawab.


Penulis: Muhammad Hafidh, Koordinator Divisi (Kordiv) SDM, Diklat dan Organisasi Bawaslu Kabupaten Magelang.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar