Membumikan Literasi Sastra Kepada Peserta Didik

Dilihat 2058 kali
Pemahaman budaya anak lewat karya sastra dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri, dan rasa ikut memiliki.

Oleh: P. Budi Winarto, S.Pd*)


LITERASI sastra merupakan dimensi literasi bidang kajian yang memiliki cakupan pemberdayaan masyarakat baca dalam mencintai sastra agar nilai-nilai etika, estetika, dan moral terserap secara luas (Wikipedia.org). Di era implementasi kurikulum merdeka saat ini sangat penting membumikan literasi sastra kepada peserta didik karena melalui pengajaran sastra, peserta didik belajar mengembangkan aspek religius, humanistik, kultural, kesusilaan, keterampilan berbahasa dan sebagainya. Aspek humanistik dapat dikembangkan melalui pembelajaran sastra karena dalam sastra diketengahkan cara manusia berhubungan dengan sesamanya sebagai makhluk sosial. Di dalam karya sastra dipaparkan bagaimana manusia yang mengarungi lautan hidup ini. Bagaimana manusia yang berbudi baik dan berbudi buruk sama-sama mencari penghidupan. Dari aspek religiusitas, sastra memberikan cermin tentang renungan-renungan hidup, tentang nilai-nilai kebenaran hakiki yang berhubungan dengan Tuhan. Pada aspek kultural, sastra memungkinkan anak melihat sejauh mana perkembangan kebudayaan yang lampau sampai dengan masa sekarang. Karya sastra dapat menampilkan fakta-fakta kehidupan secara objektif.

Pemahaman budaya anak lewat karya sastra dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri, dan rasa ikut memiliki. Selain itu, sastra sering berfungsi pula untuk mempertipis kesenjangan pengetahuan budaya dari sumber yang berbeda dan menggalangnya menjadi suatu gambaran yang lebih berarti.

Sastra adalah penjelmaan keindahan melalui medium bahasa, mengutarakan pesan verbal bagi pembaca. Dengan demikian, pembelajaran sastra di sekolah akan membantu siswa berlatih keterampilan berbahasa seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, selain kemampuan estetika. Dari mendengarkan pembacaan cerita atau puisi, keterampilan menyimak anak dapat meningkat. Melalui teks sastra yang dibacanya, siswa terlatih memahami bacaan. Keterampilan berbicara anak dapat ditingkatkan dengan bermain drama atau mendiskusikan teks sastra. Dan melalui reproduksi tulis dari teks sastra yang dibaca atau didengarnya, anak dapat meningkatkan kemampuan menulisnya.

Sentuhan-sentuhan pengalaman dalam mempelajari sastra itu memang tidak selalu membawa kegunaan praktis yang langsung. Pengalaman-pengalaman sastra tidak menjadikan seorang siswa terampil dan dapat menerapkan pengalaman barunya beberapa saat setelah berkenalan dengannya. Sebagai totalitas suatu karya seni, manfaat sastra dalam pengajaran adalah menyajikan kemungkinan pengembangan berbagai aspek kehidupan manusia seperti tersebut di atas sebagaimana direka oleh pengarangnya. Sastra menyajikan sebuah pengalaman kepada siswa yang sama, yang mirip, yang berbeda, yang baru, sejumlah situasi dan sejumlah pelaku dan jalinan yang terjadi serta yang mungkin terjadi.

Potensi-potensi sastra itu akan menyentuh peserta didik, apabila proses pembelajaran sastra dilakukan dalam format yang kreatif dan reflektif dan dengan meningkatkan serta membumikan literasi sastra di kalangan peserta didik. Membumikan literasi sastra di sekolah dapat dilakukan sebagai berikut:

Pertama, belajar sastra adalah belajar mengapresiasi seni. Hal ini karena sastra adalah seni. Belajar tentang seni berarti belajar tentang apa dan bagaimanakah kehidupan itu. Jadi, tujuan pembelajaran sastra di sekolah adalah agar anak mampu mengapresiasi karya sastra sebagai seni demi pemenuhan dan pengembangan kebutuhan rohani. Hal ini mengandaikan bahwa membelajarkan sastra pada anak berarti menghadapkan anak untuk belajar tentang apa dan bagaimana kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang harus dilihat secara integral, bukan hanya dilihat dengan otak tetapi juga dengan hati. Ini berarti juga bahwa membelajarkan sastra pada anak adalah untuk memberi kesempatan pada anak mendekati realitas dengan segala fenomenanya tanpa mengambil jarak, tanpa membuat jarak antara peneliti dan objek seperti dalam pendekatan ilmiah.

Dengan demikian, dalam pembelajaran guru hendaknya memberi ruang kebebasan kepada anak untuk terhanyut dalam wacana sastra itu. Guru membiarkan anak menarik napas panjang, tertawa terpingkal-pingkal, menangis tersedu-sedu, atau mengumpat menghentakkan kaki karena karakter tokoh dan alur peristiwa yang disajikan pengarang. Situasi ini akan terjadi apabila sebelumnya guru tidak terlalu membebani anak dengan hal-hal yang bersifat teoritis, seperti mengharuskan anak menskemakan alur, latar, sudut pandang penceritaan, dan tetekbengek prasyarat sejenisnya. Teori sastra diberikan sejauh mendukung berapresiasi anak terhadap karya sastra.

Kedua, dalam pembelajaran sastra guru lebih berperan sebagai fasilitator, motivator, dan evaluator. Jadi, dalam pembelajaran sastra siswalah yang menjadi aktor aktif. Sedangkan guru adalah orang yang memberi fasilitas agar siswa menjadi aktif dan asyik. Fasilitas yang diberikan oleh guru dapat berupa objek apresiasi, misalnya teks sastra (cerpen, puisi, naskah drama) dan video rekaman ekspresi sastra.

Sebagai motivator, guru berperan menjadi perangsang agar siswa memiliki selera bicara terhadap karya sastra. Guru akan mampu memotivasi anak untuk berselera membaca karya sastra apabila guru itu memiliki kekayaan pengalaman yang cukup tentang sastra. Kekayaan ini hanya dimiliki oleh guru yang cinta dan gemar membaca hasil-hasil karya sastra serta guru yang mampu berapresiasi dan berekspresi sastra dengan baik. Guru yang dapat memengaruhi anak untuk berminat membaca adalah guru yang mempunyai semangat untuk mengajarkan sastra, karena ia sadar bahwa sastra merupakan sumber kenikmatan atau santapan rohani yang bermanfaat bagi siswa.

Sebagai evaluator, hendaknya guru mampu menjelajahi sampai sejauh mana karya sastra itu dapat berbicara sendiri pada anak dan seberapa jauh anak terlibat atau hanyut dalam karya sastra yang dibacanya. Selain itu guru mampu memberikan umpan balik dan sekadar arahan kepada anak akan proses dan hasil apresiasinya agar menjadi lebih baik. Di sini guru tidak berperan sebagai hakim dengan kata salah, jelek, dan bodoh, melainkan lebih sebagai pembimbing yang menguatkan sekaligus teman diskusi atau teman belajar.

Ketiga, sekolah adalah lingkungan pendidikan yang terprogram. Program pendidikan yang direncanakan dapat dilakukan di dalam sekolah, yaitu acara kurikuler dan klasikal, maupun yang di luar sekolah, yaitu acara ekstrakurikuler. Adanya program ekstrakurikuler itu memberi peluang bagi guru untuk merencanakan adanya berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran sastra, sekaligus merupakan cara nyata dan terjangkau untuk mengatasi minimnya alokasi waktu pembelajaran sastra dalam kurikulum. Dibentuknya komunitas sastra siswa atau sanggar sastra siswa dapat menjadi wadah yang dapat menciptakan iklim berapresiasi siswa terhadap sastra.

Dari uraian di atas, dapat ditegaskan lagi bahwa sastra merupakan sumber daya yang sangat berharga dalam usaha pemenuhan kebutuhan dan pengembangan rohani peserta didik. Sastra sebagai sumber daya dalam ikhtiar pendidikan akan membuka dan memperluas wawasan peserta didik tentang hidup dan kehidupan. Untuk itu, sangat perlu upaya untuk meningkatkan dan membumikan literasi sastra kepada peserta didik di sekolah dengan cara mencari format baru yang lebih kreatif, konkret, mudah, menarik, dan efektif. Hal ini akan terwujud apabila terdapat kesadaran dan tindakan nyata dari berbagai pihak, baik pihak sekolah, pemerintah, sastrawan, dan para pecinta sastra. Semoga.


*)Penulis adalah guru SMP Pendowo Ngablak kabupaten Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar