Mencegah Perundungan di Sekolah

Dilihat 3315 kali
Pendampingan guru secara personal dan familiar kepada peserta didik dapat merajut kontak emosional yang dapat mencegah terjadinya perundungan di sekolah.

Pada tahun 2023 ini, selama kurun waktu dari Januari-September 2023 berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi 10 kasus bunuh diri anak, meningkat 10 persen dikomparasikan dengan periode sama pada 2022. Lebih memprihatinkan lagi, 60 persen kasus bunuh diri tersebut merupakan korban perundungan.


Di samping itu, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, kekerasan terhadap anak di sekolah termasuk perundungan, meningkat, dari 7,6 persen dari total kasus kekerasan terhadap anak pada 2022 menjadi 8,7 persen pada Januari-Agustus 2023. Lonjakan kasus tersebut sangat memprihatinkan, sehingga perlu tindakan preventif untuk mencegah agar kasus serupa tidak terus berulang (Kompas, 30/9/2023).

 

Tindakan Intimidasi


Pada prinsipnya, perundungan merupakan perilaku atau tindakan intimidasi dengan pelaku pihak yang merasa kuat terhadap pihak yang dianggap tidak memiliki kekuatan. Perilaku atau tindakan penindasan ini dapat dikonotasikan sebagai penggunaan otoritas atau bentuk kekuatan untuk membuat tidak nyaman seseorang atau kolompok yang berdampak psikologis, korban trauma, tidak berdaya, dan tertekan.


Elaborasinya sampai saat ini menunjukkan bahwa perilaku perundungan dapat dilakukan melalui  berbagai cara secara terus menerus melalui berbagai media terhadap korban baik kelompok maupun personal. Tindakan perundungan dilakukan secara langsung dan sangat agresif dengan tujuan menyakiti korban, menimbulkan ketidaknyamanan, membuat korban tertekan, melukai dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada diri korban (Muhammad Hatta, 2017).


Perundungan ini dapat berupa kekerasan dalam berbagai bentuk, di antaranya bentuk perundugan fisik (menampar, memukul, menganiaya, memaki), verbal (mengejek, mengolok-olok, memaki), dan mental (memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan). Di sekolah, sampai saat ini penanganannya belum dapat maksimal,  terlebih yang berbentuk verbal, karena tidak dapat dilihat langsung baik kejadiannya maupun dampaknya. Di samping itu, korban juga sering tidak terbuka kepada pihak sekolah akan kejadian yang menimpanya.


Dalam hal ini perundungan fisik lebih sering dijumpai karena dampaknya secara visual atau langsung dapat diketahui dengan jelas. Namun sebaliknya untuk perundungan verbal, tidak mudah dilihat, kecuali oleh korban perundungan tersebut. Padahal efek perundungan verbal jauh lebih berbahaya terutama untuk jangka panjang bagi korbannya.


Di lingkungan sekolah, sering dijumpai perundungan verbal, namun mereka tidak menyadari bahwa dalam proses perjalanan waktu mereka pernah menjadi korban juga pelaku perundungan. Contoh perundungan ini seperti mengejek teman karena memiliki fisik yang terlalu gemuk atau terlalu kurus, diolok-olok karena kurang pintar, minoritas di kelas, dianggap aneh, mengolok-olok dan memanggil-manggil nama orang tua, dan lain sebagainya.


Masyarakat tak jarang menganggap biasa kasus perundungan, hanya sekadar olok-olok atau candaan. Padahal, sejatinya perundungan dampaknya dapat berakibat menghancurkan mental anak-anak yang menjadi korban. Perundungan juga berdampak buruk terhadap prestasi maupun masa depan mereka. Tidak hanya menyebabkan korban sulit berkonsentrasi atau membolos, namun dampaknya bahkan dapat putus sekolah atau mengalami depresi berkepanjangan.


Guru sebagai orang dewasa di lingkungan satuan pendidikan (sekolah) yang tugas utamanya tak lain adalah mendidik dan mengarahkan peserta didik untuk melakukan pencegahan terhadap perundungan tersebut. Adapun caranya dapat dilakukan dengan beberapa alternatif. 


Pertama, mengubah cara mendidik dan memperlakukan peserta didik. Jangan pernah mencela atau memberi stigma yang buruk terhadap peserta didik, walaupun mereka melakukan kesalahan yang berat sekalipun. Berilah pujian dan penghargaan kepada setiap usaha peserta didik. 


Kedua, membangun komunikasi yang aktif dengan orang tua. Guru perlu memberikan informasi mengenai perkembangan peserta didik di sekolah supaya terjadi kedekatan komunikasi antara orang tua dan anak-anak mereka. 


Ketiga, memberikan pemahaman tentang perundungan kepada semua warga sekolah dan orang tua. Keempat, deklarasikan kampanye anti perundungan yang melibatkan peran aktif semua unsur sekolah, baik guru, karyawan, peserta didik, dan orang tua. 


Kelima, sekolah menyediakan bullying center atau tim anti perundungan untuk menangani kasus perundungan yang terjadi di sekolah.


Sekolah Ramah Anak


Sebagaimana diketahui sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi peserta didik untuk menuntut ilmu sebagai bekal masa depannya, ternyata masih banyak ditemui berbagai perilaku yang membuat mereka tidak nyaman di sekolah, seperti kekerasan atau perundungan. Untuk itu kiranya kembali konsep pendidikan sekolah ramah anak perlu dioptimalkan kembali.


Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak 2015 telah membentuk Kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA), dengan maksud untuk menjamin hak-hak peserta didik selama di sekolah, sehingga keamanan dan kenyamanan mereka bisa selalu terjaga. 


Adapun definisi SRA merupakan satuan pendidikan formal, nonformal dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan melindungi mereka dari perilaku kekerasan, diskriminasi termasuk tindakan perundungan. SRA juga memberikan perlindungan bagi peserta didik terkait dengan pemenuhan hak mereka.


Konsep kebijakan SRA lebih merujuk sebagai program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya selama peserta didik belajar di sekolah.


Di samping itu, SRA juga mengkondisikan agar sekolah menjadi tempat belajar yang nyaman, serta memastikan sekolah memenuhi hak-hak peserta didik serta memberikan perlindungan secara optinal. Apabila hal tersebut dapat terealisasikan tentunya sekolah dapat menjadi rumah kedua yang nyaman bagi peserta didik untuk menuntuk ilmu.


Dengan mengoptimalkan SRA, ini anak-anak akan dapat belajar dengan nyaman, tanpa adanya tekanan yang menghambat tujuan belajarnya. Tentunya sekolah harus dapat menyikapi dengan bijak serta menindaklanjuti, apabila ada pengaduan dari anak-anak atau orang tua terkait dengan perilaku yang menyebabkan ketidaknyaman tersebut. 


Dengan adanya saling keterbukaan dan kerja sama terpadu, SRA akan dapat terwujud yang pada gilirannya akan dapat mencegah berbagai tindakan kekerasan atau perilaku lainnya yang menyebabkan peserta didik tidak kerasan dan juga tidak nyaman belajar di sekolah.


(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar