Mendidik Anak Dengan Hati

Dilihat 668 kali

DUNIA anak-anak dari dulu hingga saat ini selalu diwarnai kekerasan, entah kekerasan fisik maupun kekerasan mental, seperti  pengakuan dan penghargaan terhadap kemampuan dan prestasi anak yang minim. Meskipun berbagai pemahaman tentang anak dan dunianya menjadi topik menarik untuk dibicarakan dan disikapi, demi mengurangi tindakan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi tetap saja kekerasan ini ada. Bahkan kekerasan itu dilakukan oleh guru atau orang tua yang konon paling tahu dan paham bagaimana menghadapi anak dan dunia serta kehidupannya.

Anak tidak lagi dipromosikan daya eksplorasinya, daya ciptanya, daya kreatifnya dan daya aksinya yang memekarkan kepekaan soaial dalam menjembatani kemajemukan dan keragaman masyarakat bangsa. Yang ada hanya sejumlah tuntutan untuk harus ini dan harus itu, mengikuti kemauan guru atau orang tua. Hal ini jelas terbaca dalam berbagai berita seputar kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh guru atau orang tua gara-gara anak tidak mengikuti kemauan atau perintah guru dan orang tua.

Kenyataan ini melahirkan satu pertanyaan mendasar untuk direnungkan, jujur dan tuluskah kita menghargai anak sebagai pribadi yang dapat mengembangkan diri secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya? Barangkali itu masih jauh dari pemikiran atau kebijakan kita sehingga perlakuan kita terhadap anak tetap saja semena-mena. Perhatian kita terhadap dunia anak tidak serius dan merasa tidak penting. Bahkan kita sering memperlakukan anak sebagai orang dewasa mini yang harus mengikuti kemauan kita tanpa mempertimbangkan dunia mereka yang masih serba polos, bebas, dan perlu diisi dengan kegiatan yang menyenangkan untuk mengembangkan kreativitas dan jiwa eksplorasinya.

Bicara tentang anak dan dunianya, hati dan pikiran kita tertuju kepada masa dimana terciptanya suasana yang paling menyenangkan.  Namun kenyataan yang terjadi, sebagian besar anak-anak di tanah air ternyata tidak mengalami indah dan menyenangkan masa kanak-kanak itu. Berbagai perlakuan buruk kepada anak selalu terjadi. Ada tindakan pemerkosaan, eksploitasi, pembunuhan, penyiksaan, perdagangan anak, dan pekerja anak.  Selain itu masalah gizi buruk dan kemiskinan membuat anak menderita dan tidak dapat menikmati dunianya yang menyenangkan. Padahal anak adalah generasi masa depan bangsa, masa depan kehidupan, Maka merenung tentang anak dan dunianya artinya kita harus mengakui betapa besar pesan anak dalam kehidupan kita.

Anak dan Orientasi Masa Depan Kehidupan

Memandang anak dan dunianya sama artinya membuka ruang dalam kehidupan ini untuk ditempati sebuah kesediaan, keterbukaan hati dan kesiapan kita untuk selalu tulus ikhlas mendidik – mendampingi anak dengan mempertimbangkan demikian dekatnya jarak antara anak dan kebebasan, ketulusan, dan kesederhanaan hati. Anak dan dunianya adalah sebuah kepolosan tanpa sekat pembatas, yang terus-menerus mempertontonkan tentang kenyataan hari ini, esok, dan masa depan.

Ketika menyaksikan tayangan televisi, menyimak berita Koran, dan juga media sosial, yang berbicara seputar anak dan ragam persoalannya, jelaslah apa yang mau dibangun kembali. Kita memandang anak dan dunianya sebagai orientasi masa depan kehidupan, yakni terbukanya hati dan diri kita untuk mendidik anak dengan hati dimana masa depan anak-anak kita harus ditata sedemikian rupa sejak dini dengan mengacu pada kualitas generasi bangsa sebagai penerus kehidupan pada masa mendatang.

Pada saatnya nanti anak-anak kita dapat meneruskan, menjaga, bahkan mampu menciptakan cara baru yang lebih bermutu, berdaya guna bagi kehidupan bersama yang lahir dari jiwa eksploratif yang senang meniru, bertanya, meneliti, punya daya juang yang tinggi, serta lahir dari dunia kreatif yang selalu ingin tahu, berani menanggung resiko, punya imajinasi yang tinggi, bebas dalam berpikir atau senang pada hal-hal baru yang lebih membangun.

Orientasi masa depan seperti ini perlu mendapat dukungan dari orang tua, pendidik dan segenap lapisan masyarakat melalui keteladanan hidup dan contoh sikap tentang kebaikan, termasuk prilaku kreatif dan bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru. Bila dukungan ini yang diberikan kepada mereka, maka masa depan bangsa ini akan menjadi lebih baik dari sekarang karena kita sudah menyiapkan satu generasi yang berkualitas dan berjiwa membangun untuk kepentingan bersama.

Menuju terwujudnya cita-cita ini, Irwanto menegaskan: Anak dan dunianyamemang bukan sekadar isu dengan berbagai kepentingan tetapi merupakan prioritas perhatian kita bila kita tidak mau kehilangan satu generasi yang siap membangun bangsa ini dengan kejujuran dan ketulusan hati karena anak adalah subjek yang membawa arah hidupnya sendiri sehingga orang tua dan masyarakat harus tidak memandang mereka sebagai properti tetapi sebagai pemiliki masa depan yang perlu diberi kepercayaan, dihargai pendangannya dan difasilitasi kebutuhan dasar mereka (Seandainya Aku Bukan Anakmu, 2016)

Pendidkkan Demi Perkembangan Anak

Dr. Seto Mulyadi, Psikolog dan pemerhati pendidikan anak mengatakan: Keberhasilan suatu pendidikan sering dikaitkan dengan kemampuan para orang tua dan guru dalam hal memahami anak sebagai individu yang unik, dimana setiap anak dilihat sebagai individu yang memiliki potensi-potensi yang berbeda satu sama lain namun saling melengkapi dan berharga. (Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita, 2016)

Apa yang dilontarkan Kak Seto sesuai dengan apa yang diharpakan oleh seluruh masyarakat bangsa di tanah air, dimana pendidikan semestinya lebih memperhatikan, perkembangan anak dan hati menjadi tangga dasar proses berlangsung dan berhasilnya pendidikan.

Pada konteks pendidkan model ini, hati memegang peranan kunci dalam mempersiapkan hari depan anak-anak bangsa menjadi generasi yang siap membangun bangsa menuju Indonesia yang sejahtera. Berhadapan dengan tugas penting ini, penyelenggara pendidikan dapat membangun jejaring dengan pemerintah, orang tua, masyarakat luas, LSM, organisasi masyarakat untuk bersma-sama menemukan cara mendidik dan mempersiapkan anak dalam menyambut hari depan dengan penuh harapan. Anak dipersiapkan untuk membuka hati, membuka diri terhadap berbagai perubahan. Karena itu hati menjadi tangga dasar yang senantiasa terbuka dan tanggap terhadap keinginan anak sesuai perkembangan usia maupun kemampuan intelegensi dan emosionalnya.

Usaha ini dapat menjawab apa yang menjadi kebutuhan dasar anak dalam perkembangannya yakni ingin tahu dan mencoba terlebih yang berkaitan dengan kecerdasan ganda yang dikemukakan Howard Garner dalam bukunya Multiple Intelligences.

Membiarkan anak untuk berkembang penuh kebebasan bukan hanya tugas dan tanggung jawab pendidik atau orang tua, tetapi merupakan sebuah tuntutan kultural dari bangsa ini yang harus ditegakkan. Karena kebudayaan yang berkembang selaras zaman pun tidak bakal maju bila kita tidak berani memandang anak dan dunianya sebagai kekuatan besar untuk kemajuan bangsa. Ketika hati kita tergerak untuk senantiasa memandang anak dan dunianya berarti kitapun tergerak untuk menghormati anak karena dengan itu kita turut menyelamatkan masa depan mereka yang adalah juga masa depan kehidupan. Semoga.


*)Penulis : P. Budi Winarto, S.Pd,  guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar