Meneladani Hubungan Persaudaraan Putra-putra Ayodya

Dilihat 1872 kali

KISAH Wayang Ramayana, lekat sekali dengan cerita percintaan Ramawijaya dan Dewi Sinta yang penuh masalah, akibat penculikan berencana yang dilakukan raja raksasa Alengka, Rahwana atau Dasamuka. Hampir semua orang, khususnya suku Jawa, paham dengan cerita tersebut, yang menonjolkan kesetiaan Sinta akan suaminya yang tak pernah goyah. Meski jauh terpisah selama bertahun-tahun dan disekap dalam kemewahan istana Alengka, cintanya tak berpindah sama sekali. Rayuan Rahwana sedikitpun tak membuatnya terpikat.

Ramawijaya adalah putra mahkota Raja Dasarata dari Ayodya, sedangkan Sinta adalah putri raja Janaka dari negeri Mantili. Keduanya anak raja yang seharusnya tinggal bergelimang kemewahan di istana. Akan tetapi karena peristiwa Dewi Kekayi yang menagih janji Prabu Dasarata di masa lampau, memaksa mereka harus pergi dari istana. Merekapun diasingkan dari negeri Ayodya dan mengembara selama tiga belas tahun lamanya.

Janji Yang Membawa Malapetaka

Penderitaan hidup Rama dan istrinya, Sinta, berawal justru pada saat penobatannya sebagai putra mahkota Ayodya. Setelah memenangkan sayembara negeri Mantili dan berhasil memboyong Sinta ke Ayodya, Prabu Dasarata menobatkannya sebagai putra mahkota. Rama merupakan putra sulung Prabu Dasarata dari istri pertamanya, Dewi Sukasalya, yang juga pewaris tahta Ayodya. Maka sudah selayaknyalah Rama dinobatkan menjadi putra mahkota, dan kemudian kelak menggantikan tahta ayahandanya menjadi raja Ayodya.

Karena kebahagiaan yang meluap, tampaknya membuat Prabu Dasarata lupa akan janjinya di masa lalu kepada istri keduanya, Kekayi, yang menyebabkan malapetaka itu terjadi. Dahulu, selama bertahun-tahun Prabu Dasarata tak kunjung memiliki putra. Atas saran permaisuri Sukasalya, ia mengambil dua istri lagi, yakni Kekayi dan Sumitra. Kepada Kekayi ia telanjur berjanji akan memberikan tahta jika lahir anak dari rahimnya.

Ternyata takdir berkata lain, ketika ternyata ketiga istri sang prabu akhirnya mengandung dan memiliki anak dalam waktu hampir bersamaan. Dari Sukasalya, lahir putra pertama, yakni Rama. Kemudian dari Kekayi, lahir putra kedua yakni Bharata. Dari Sumitra lahir putra ketiga dan keempat, yakni Laksmana dan Satrugna.

Karena Rama adalah anak sulung dari istri pertama, dialah yang selanjutnya menjadi putra mahkota. Inilah yang kemudian membuat Kekayi menagih janji prabu Dasarata di masa lalu. Celakanya, janji itu ditagihnya ketika pelantikan putra mahkota. Hal ini sangat mengejutkan hati Prabu Dasarata.

Tak hanya meminta tahta, Kekayi pun menuntut agar Rama diasingkan dari istana selama 13 tahun. Hal ini jelas membuat Prabu Dasarata menjadi sangat berduka. Dengan sangat berat hati, ia terpaksa menuruti tuntutan Kekayi. Dengan penuh penyesalan, ia meminta maaf sebesar-besarnya kepada Rama.

Namun Ramawijaya tiada berkeberatan sama sekali. Ia ikhlas meninggalkan istana dan menanggalkan segala kemewahan demi menegakkan janji seorang raja, yang harus ditepati demi tegaknya sendi hukum negara. Dengan diiringi adiknya, Laksamana dan istrinya, Sinta, ia segera meninggalkan Ayodya. Mereka mengembara memasuki hutan belantara, dengan berniat ngangsu kawruh di pertapaan tempat para brahmana bermukim.

Sepeninggal Rama, Prabu Dasarata jatuh sakit dan mangkat secara tiba-tiba. Manakala mengetahui sebab ayahnya mangkat, Bharata menjadi sangat murka dan menyalahkan ibunya, Kekayi. Dia menyatakan tak menginginkan tahta. Setelah proses pemakaman ayahnya, ia memutuskan menyusul kakandanya, Ramawijaya.

Teladan dari Putra-putra Ayodya

Kisah ini memerlihatkan hubungan persaudaraan putra-putra Ayodya yang begitu rukun , damai dan saling menyayangi satu sama lain. Mereka semua memiliki watak andhap asor atau rendah hati. Rama sebagai anak sulung diceritakan sebagai sosok yang penuh kasih kepada adik-adiknya, serta pantas menjadi teladan yang baik dengan segala perilakunya. Dia juga teramat ikhlas dan tulus menanggalkan dan meninggalkan segala kemewahan istana, demi menepati ucapan seorang raja, untuk menegakkan hukum negara yang harus dipatuhi.

Selanjutnya digambarkan pula, betapa Bharata sangat marah manakala mengetahui pembatalan penobatan Rama sebagai putra mahkota dan sekaligus pengasingan selama 13 tahun yang dilakukan ibunya sendiri. Ia memutuskan memilih menyusul kakaknya, merayunya untuk kembali ke istana untuk menduduki tahta sebagai raja. Dengan menangis pilu, ia mengaku, betapa ia tak sanggup menduduki tahta. Ia merasa tak pantas memimpin negara, terlebih tahta Ayodya adalah milik leluhur Dewi Sukasalya, ibunda Rama.

Namun Rama tidak akan mengingkari janji ayahnya yang telah telanjur terucap. Ia membesarkan hati adiknya, bahkan memberinya ajaran tentang pedoman seorang raja yang terkenal dengan sebutan Asta brata. Demi meluluhkan keteguhan hati Bharata yang enggan menduduki tahta, Rama sampai menyerahkan terumpahnya untuk diletakkan di atas tahta, seolah ia sendiri yang berada di atasnya. Rama berpesan kepada segenap prajurit pengawal Bharata untuk setia dan berbakti kepada Bharata, karena ia tak ubah dengan dirinya.  

Cerminan kerukunan yang penuh kasih sayang yang teramat indah antara kakak beradik, meski berbeda ibu, nyata terlihat. Bukan kisah perebutan kekuasaan dan harta yang sering kita saksikan dalam berbagai macam cerita. Namun cerita tentang kasih sayang, tidak gila harta, rasa hormat dan keteguhan memegang ucapan, terutama bagi seorang raja, yang harus memegang teguh ucapannya. Sabda pandhita ratu, tan kena wola wali.

Laksmana, adik Rama yang juga berbeda ibu, merupakan cerminan seorang adik yang setia pula, taat dan sayang kepada kakaknya. Dia rela meninggalkan istana untuk ikut mengembara, menanggalkan segala kemewahan demi mengiringkan kakak yang sangat dia sayangi. Dalam pengembaraan mereka berdua berjuang, tak terpisahkan. Bersama menjalani cobaan berat, saling menguatkan, hingga terlibat dalam pertempuran besar di negeri Alengka, sampai akhirnya memenangkannya

Sebuah pelajaran yang sangat berharga tentang sumpah dan janji. Kita diingatkan, jangan sampai terlalu mudah berjanji, terlebih bersumpah tanpa pertimbangan yang matang. Janji dan sumpah itu ibarat membuang ludah, yang amat hina jika harus dijilat kembali. Janji apalagi sumpah yang dilakukan dengan terburu-buru, terkadang akan menimbulkan malapetaka yang mencelakakan dan merugikan diri sendiri, bahkan keluarga atau orang lain.


*)Penulis adalah Pengolah Informasi Media pada Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar