Menghidupkan Wayang Topeng

Dilihat 1219 kali
Wayang topeng merupakan seni pertunjukan yang narasinya diambil dari cerita Panji. Sampai saat ini pertunjukan tersebut masih eksis di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang yang sudah berlangsung turun temurun.

Sebagai suatu produk budaya, wayang telah mengalami dinamika perjalanan hidup dari generasi ke generasi. Walaupun sudah mengalami pergantian berbagai generasi, wayang sampai saat ini masih tetap eksis dan menjadi seni pertunjukan yang diminati oleh berbagai kalangan. Hal itu bisa terjadi, karena nilai keutamaan yang terdapat dalam seni pertunjukan wayang tersebut dapat menjadi tuntutunan pembelajaran kehidupan.


Di antara sekian banyak jenis wayang, sampai saat ini wayang topeng jarang ditemui. Di Kabupaten Magelang, jenis wayang topeng hanya ditemui di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun. Itu pun tidak setiap saat dipentaskan. Hanya di bulan-bulan khusus, seperti bulan Sura jenis seni pertunjukan tersebut dipentaskan.


Mengamati fenomena kelangkaan jenis seni pertunjukan wayang topeng ini, kiranya perlu menjadi perhatian bersama, bahwa seni tradisional yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi tersebut perlu dihidupkan kembali dan sebarannya bisa diperluas, tidak hanya di Kecamatan Dukun, namun perlu merambah ke daerah-daerah lain. Dengan sebaran yang merata ke beberapa simpul-simpul kantong budaya, diharapkan wayang topeng akan bisa hidup dan kontinuitasnya akan mengalami elaborasi selaras dengan tanda-tanda zaman.


Perpaduan Harmonis


Pada dasarnya wayang topeng merupakan seni pertunjukan tradisional dalam bentuk dramatari berdialog yang di dalamnya terdapat perpaduan harmonis antara iringan, seni tari, dialog, dan tata panggung. Adapun para pemainnya menggunakan topeng sebagai manifestasi dari karakter yang dibawakan.


Di Jawa Tengah seni pertunjukan tradisional tersebut sering mendapat sebutan wayang topeng. Untuk di daerah lain sebutan topeng menyertai lokus tempat asalnya, seperti topeng dheleng di Madura, topeng dhalang di Jawa Barat, atau topeng malangan di Malang, Jawa Timur. Adapun sumber cerita dari wayang topeng tersebut yaitu siklus cerita panji, yang mengisahkan Raden Panji Inu Kertapati dari kerajaan Jenggala dalam pengembaraannya untuk mendapatkan cinta sejati kekasihnya, Dewi Candrakirana.


Di Jawa, fungsi topeng sebagai seni pertunjukan sudah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dengan istilah raket. Menurut catatan dari Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, Raja Hayam Wuruk sebagai penguasa tertinggi kerajaan Majapahit ikut menjadi penari topeng yang cukup piawai. Suatu peristiwa budaya yang luar biasa, seorang raja besar ikut menari dalam suatu pertunjukan istana.


Oleh Mpu Prapanca sebagai pujangga besar Kerajaan Majapahit juga disebutkan dalam wayang topeng dijumpai karakter shori (karakter pria), tekes (wanita), dan gitada (penyanyi) yang dapat diidentikkan dengan tokoh Panji, Canrakirana, dan beberapa tokoh pembantu (Soedarsono, 1999).


Elaborasi wayang topeng berlanjut sampai kerajaan Demak, sebagai perintis kerajaan Islam di Jawa. Tradisi wayang topeng pada masa ini, dikenal sebagai tradisi Sunan Kalijaga yang dikenal di kalangan seniman Jawa disebut Pangeran Pedhalangan. Sebutan itu tidak berlebihan, karena selain sebagai wali dalam kapasitasnya sebagai penyebar agama Islam, juga memiliki keahlian sebagai dalang. Dalam penyajiannya, walaupun alur ceritanya hampir sama dengan tradisi ketika masa kerajaan Majapahit, di dalamnya diinterpolasikan dengan ajaran agama Islam, seperti filosofis dalam rukun Islam.


Karakterisasi tokoh dalam wayang topeng masih berpijak pada karakter pada wayang kulit atau wayang orang, seperti  tokoh Panji identik dengan Rama, Candrakirana identik dengan Sinta, Klana Sewandana hampir sama dengan Rahwana, dan sebagainya. Sedangkan dialog masig-masing tokohnya tidak ada bedanya dengan wayang kulit.


Dalam setiap geraknya, para penari perlu menyesuaikan dengan topeng yang dipakai sebagai manifestasi dari karakternya. Sebagai misal, untuk karakter Klana dengan figur topeng antagonis, gerak yang dilakukan harus gagah dan berwibawa dengan menunjukkan arogansinya sebagai penguasa. Lain lagi dengan Panji Inukertapati dengan topeng protagonis, gerak tarinya tentu halus, lembut, mengalir, selaras dengan jiwa kesatriaannya.


Sedangkan pewarnaan juga memiliki simbol-simbol karakter tertentu. Untuk tokoh Klana Sewandana dengan karakterisasi putra gagah warna topengnya cenderung merah. Sementara itu untuk karakter Candrakirana dengan warna putih, Panji lebih dominan warna kuning, sesuai dengan karakterisasinya.


Pemakaian topeng dalam suatu tarian memang memerlukan teknik-teknis gerak tertentu agar seorang penari tetap dapat menguasai dan menampilkan kemampuan geraknya secara optimal. Bagaimanapun menari dengan menggunakan topeng merupakan hal yang berbeda dibanding tanpa menggunakan topeng, terutama pada posisi torso (tubuh) dan gerak kaki agar bisa menjaga keseimbangan dan stamina. Perlu diketahui, menari dengan menggunakan topeng agar topeng tersebut bisa hidup, bukan pekerjaan ringan.


Hal itu pernah penulis alami ketika menjadi penari Klana Topeng. Untuk bisa menjaga stamina dan keseimbangan, tiap pagi harus berlatih menari serius dengan mengenakan topeng dan melakukan gerakan tayungan (gerak berjalan dalam menari tari dengan angkatan kaki tinggi) mengelilingi pendapa minimal 20 kali. Setelah berjalan rutin selama satu bulan penuh, baru karakter dan koordinasi seluruh organ tubuh bisa dikuasai.


Adapun alur cerita atau plot dalam wayang topeng mengacu pada pertunjukan wayang orang atau wayang kulit, seperti adegan jejeran (adegan awal biasanya adegan istana), paseban njawi (adegan di luar istana), budhalan (pasukan berangkat ke medan perang), perang kembang (perang antara tokoh protagonis dan antagonis), perang brubuh (perang habis-habisan sampai musnahnya angkara murka), serta tancep kayon (adegan penutup). Masing-masing adegan terpola pada struktur penyajian yang merupakan pedoman baku dalam penyajian wayang sebagai suatu seni pertunjukan. Setting atau latar kerajaan yang diceritakan pada umumnya berkisar di Kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan, Singasari, dan Bantarangin.


Revitalisasi


Mengingat keunikan dan kelangkaan dari seni pertunjukan wayang topeng tersebut, sudah saatnya untuk menjadi bahan pemikiran agar seni pertunjukan tersebut tetap dapat hidup. Alternatif yang dilakukan adalah dilakukan revitalisasi, yaitu pelestarian dan pengembangan seni pertunjukan tersebut agar terus hidup secara berkelanjutan.


Implementasi faktualnya, semua pihak dapat bekerja sama secara sinergis, dengan cara melakukan pelatihan wayang topeng kepada semua organisasi kesenian di wilayah tersebut. Dinas Pendikan dan Kebudayaan dapat memfasilitasi pelatihan baik teknis maupun non teknis yang pesertanya berasal dari berbagai organisasi kesenian, dibantu para seniman dengan tujuan agar wayang topeng tersebut sebarannya lebih merata.


Sampai saat ini wayang topeng di Kabupaten Magelang yang masih eksis hanya dapat dijumpai di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Dukun. Sebagai parameter bahan pelatihan, bisa diambil sampel dari kelompok kesenian tersebut. Sedangkan Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga dapat memromosikan seni pertunjukan dari hasil pelatihan tersebut selaras dengan standar seni wisata.


Apabila kolaborasi sinergis dapat terbangun, dapat diyakini bahwa revitalisasi, pengembangan, dan nafas kehidupan seni pertunjukan tersebut akan dapat terus hidup dan menghidupi komunitas penyangga dan pendukungnya.   


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar