Merawat Bumi dalam Konteks Kultural

Dilihat 895 kali
Wayang orang sakral dari Padepokan Seni Tjipta Boedaja Tutup Ngisor Dukun Kabupaten Magelang dengan cerita Lumbung Tugu Emas yang dipentaskan setiap bulan Sura mengandung makna bahwa manusia dalam mengarungi hidupnya perlu senantiasa untuk selalu merawat dan menjaga keberlangsungan bumi dengan segala isinya.

Indonesia dengan berbagai ragam ekpresi kulturalnya memiliki potensi luar biasa yang dapat dikorelasikan dengan pelestarian alam. Sebagai negara agraris, tentunya potensi-potensi tersebut dapat dioptimalkan pemanfaatannya demi kemaslahatan bersama. Praktik-praktik dan aktivitas kebudayaan di tengah kemajuan globalisasi ini, perlu lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal. Konsistensi untuk tetap mempertahankan aspek-aspek budaya di tengah gempuran era digitalisasi perlu menjadi komitmen semua pihak agar nilai-nilai kebudayaan yang tumbuh di tengah-tengah komunitas tetap dapat membumi.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek mengkat tema Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan digelar. Di Indonesia banyak kebudayaan yang berorientasi pada alam sekitar. Tidak bisa dinafikan aspek-aspek kebudayaan dalam tataran praktisnya tersebut turut memberikan kontribusi dalam pelestarian bumi dan alam sekitarnya. Para pelaku budaya juga menyadari, bahwa berbicara tentang merawat budaya, juga bicara tentang etos dan nilai yang mengajarkan untuk merawat bumi sebagai satu-satunya rumah budaya tempat untuk mengekpresikan diri (Kompas, 6/9/2023).

 

Filosofis Lumbung

Tema PKN tahun ini juga diwujudkan dengan metode aksi lumbung. Metode ini digagas dengan dasar pemikiran bahwa lumbung dapat dimaknai sebagai wadah kolektif. Apabila ditelisik lebih jauh makna filosofis lumbung tersebut dapat dieksplanasikan sebagai suatu tempat semua potensi maupun sumber daya yang dimiliki banyak kalangan dapat disimpan dan dikelola. Implikasinya lumbung dapat menjadi kekuatan pemantik dan stimulasi yang mendasari kerja bersama, termasuk mengelola sumber daya tersebut secara konsisten dan berkelanjutan.  

Dalam jagat pewayangan, baik dalam epos Ramayana maupun Mahabharata, lumbung juga dapat dimaknai sebagai pengungkapan simbol kesuburan bagi budaya kaum agraris, yang digunakan untuk tempat bersemayamnya Dewi Sri sebagai bidadari padi. Para petani sangat menghormati Dewi Sri sebagai simbol kesuburan, yang secara realitas diimplementasikan dalam perilaku budaya oleh berbagai komunitas dengan berolah seni.

Di Kabupaten Magelang, tepatnya di Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, setiap bulan Sura pasti mementaskan wayang orang sakral dengan cerita Lumbung Tugu Emas yang diambil dari epos Mahabharata. Pementasan ini merupakan wujud doa syukur kepada Sang Pencita Semesta yang dilambangkan dengan Dewi Sri karena memberikan kesuburan atas bumi Merapi. Di dalam pementasan tersebut terdapat peristiwa kesenian yang menarik terutama pada adegan wejangan (nasihat). Lumbung Tugu Emas sendiri memiliki arti kemakmuran menimbulkan kekuatan untuk menghamba pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu maestro pedalangan dan karawitan dari Jawa Tengah almarhum Ki Narto Sabdo pernah menciptakan tembang Ketawang Ibu Pertiwi. Makna tembang tersebut sangat mendalam dan tetap melegenda sampai sekarang. Ibu Pertiwi dapat diandaikan dengan bumi tempat manusia hidup dan berpijak. Jika kita mau merawat bumi dengan baik, sebagai manusia yang berbakti, niscaya bumi juga akan memberi manusia kebahagiaan.

Makna ungkapan tradisional tersebut, ternyata juga masih relevan diterapkan di era digital ini. Karena disadari perilaku budaya dengan segala pemaknaannya akan selalu dinamis dan dapat diaplikasikan di sepanjang zaman. Dengan makna filosofis tersebut, semua pihak perlu disadarkan, bahwa bumi tempat kita berpijak perlu dirawat dengan sebaik-baiknya, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Di tengah gempuran era digital ini, keinginan manusia untuk mengeksploitasi alam cenderung lebih besar ketimbang merawat. Mereka ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya, tanpa memperhitungkan dampak dari ekploitasi tersebut. Dari banyak penelitian menjukkan fakta bahwa aktivitas dan konsumsi umat manusia telah menghasilkan kerusakan ekosistem, dikarenakan orientasinya hanya ekploitasi bukannya perawatan bumi untuk masa depan generasi berikutnya. Bencana longsor, banjir, perubahan iklim secara ekstrem dan berbagai gejala lainnya adalah dampak perusakan lingkungan secara besar-besaran. Menariknya, bencana kerap tak dipandang sebagai pertanda bahaya, agar perlu mengubah perilaku kehidupan masyarakat.  Malahan tak sedikit dari kita yang percaya bahwa  peristiwa ini terlepas dari kita sebagai individu. Terlebih lagi, jika kita tidak merasakan langsung dampak dari bencana atau kerusakan lingkungan tersebut. 

Seharusnya manusia perlu berterima kasih pada bumi yang telah memberi keberlimpahan bahan pangan yang dibutuhkan. Bumi dengan tulus, sebenarnya telah menjadi penopang umat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup untuk saat ini maupun masa depan. Namun, dalam dinamika perjalanan waktu, rasanya rasa keterikatan dan keintiman antara bumi dan manusia kian memudar. Dalam elaborasi sejarah manusia, bumi yang sebelumnya dipandang sakral saat ini kerap dipandang sebagai objek pemenuhan kebutuhan manusia belaka. Kontribusi balik untuk menghargai bumi porsinya terasa belum sebanding.

 

Menyapih Kebudayaan Lama

Pada saat ini, komunitas hidup dalam akar budaya modern  yang cenderung menyapih kebudayaan lama. Hal ini menyababkan kerugian besar, salah satunya krisis alam, karena manusia cenderung tidak memanfaatkan seperlunya, namun hanya mengeksploitasi. Melalui potensi keberagaman budaya dan ekologi diharapkan dapat mereduksi praktik-praktik eksploitasi tersebut.

Pada saat ini banyak muncul kegiatan-kegiatan budaya yang ikut membantu terciptanya pelestarian alam dan bumi tersebut. Sebut saja Festival Lima Gunung, Ruwat Rawat Borobudur, Wayang Sakral Merapi, Tradisi Sungkem Tlompak di Pakis, dan lain-lain. Aktivitas budaya yang sudah berlangsung puluhan tahun secara turun temurun di Magelang, telah memberikan kontribusi dan ajakan moral agar masyarakat dapat memanfaatkan alam dan menjaga kelestariannya.

Kegiatan PKN tahun 2023 tersebut perlu diapresiasi karena di dalamnya menyandang misi humaniora yang mengingatkan masyarakat bahwa kebudayaan turun berperan dalam memberikan kontribusi dan berperan dalam menciptakan masa depan bumi yang berkelanjutan. Semua pihak harus memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk senantiasa melastarikan dan merawat bumi dari ancaman kerusakan baik secara internal maupuan eksternal. Komitmen untuk merasa memiliki menjadi tanggung jawab moral yang tumbuh dalam ranah kesadaran personal atau kelompok untuk senantiasa merawat bumi secara berkelanjutan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar