Nilai Karakter Pencak Silat

Dilihat 1656 kali
Pencak silat dengan beberapa aspek teknisnya dapat menjadikan pesilat memiliki nilai karakter dan jati diri bangsa yang kokoh. Penyajian pencak silat dalam rangka karnaval budaya di Desa Jogonegoro, Mertoyudan, Kabupaten Magelang bulan Agustus 2023 lalu.

Apabila melihat seni bela diri pencak silat, rasanya semua orang dikembalikan pada masa-masa lampau sejak zaman feodal. Sebut saja, dalam cerita fiksi yang tertuang dalam buku-buku legendaris seperti Pelangi di Langit Singasari, Istana Yang Suram, Nagasasra Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh karya penulis kenamaan Singgih Hadi Mintardja, selalu menyisipkan teknis pencak silat dari masing-masing tokoh-tokohnya. Kreativitas sang penulis dengan gaya yang khas dapat memantik imajinasi pembaca mengikuti alur naratif dalam buku berseri tersebut.


Pada saat ini, di semua daerah, pada umumnya sudah memiliki perguruan pencak silat. Mulai dari anak-anak sampai remaja banyak yang berminat pada olahraga ini. Hal itu sebagai penanda bahwa keinginan mereka untuk menekuni olahraga warisan para leluhur ini termasuk tinggi. Minat dilandasi kemauan dan tekad untuk terus mengasah diri merupakan kunci meraih kesuksesan. Melihat gerak mereka yang serempak dibarengi dengan detail gerak masing-masing anggota tubuh, ketika memukul, menangkis, menghindari serangan, meloncat sambil melakukan serangan balik, menjadikan pencak silat bukan hanya sekadar olahraga namun menjadi olah seni yang dapat menjadi media seni pertunjukan menarik.


Hasil Budaya Nusantara


Pencak silat merupakan seni bela diri tradisional karya putra-putra Nusantara yang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi dan integritasnya terhadap lingkungan alam dan sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna meningkatkan iman dan ketakwaan seluruh umat manusia kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta (Mulyana, 2013).


Jejak historis pencak silat di Nusantara yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Hindu Buddha menandakan bahwa olahraga bela diri ini menjadi parameter atau wujud unggulan kejayaan dari suatu kerajaan. Pada zaman keemasan kerajaan-kerajaan di Nusantara, pencak silat dijadikan sebagai media untuk mencapai stratifikasi sosial. Seseorang yang mencapai kemahiran bela diri pencak silat disegani oleh masyarakat dan dapat mencapai otoritas politik.


Keterampilan dan filosofis pencak silat diajarkan kepada masyarakat dan prajurit kerajaan sebagai materi pelajaran khusus difasilitasi oleh padepokan atau lembaga keprajuritan istana. Di sini pencak silat menjadi sistem beladiri yang efisien, praktis, dan pragmatis berlandaskan kematangan sikap mental yang meliputi keberanian, disiplin, kesetiaan, jiwa pengabdian dan rasa tanggung jawab.


Elaborasi pencak silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum penyebar agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara. Pada waktu itu pelajaran pencak silat dintepretasikan dengan materi pelajaran religius baik di padepokan, surau, atau pesantren. Di samping untuk menggembleng fisik, pencak silat juga menjadi bagian dari latihan spiritual.


Menyadari pentingnya untuk mengelaborasikan peranan pencak silat dengan segala dinamikanya, maka dirasa perlu adanya organisasi pencak silat yang bersifat nasional, yang dapat pula mengikat aliran-aliran pencak silat di seluruh Indonesia. Tepat pada 18 Mei 1948, obsesi tersebut dapat terwujud dengan ditandai berdirinya organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).


Para tokoh pencak silat berkomitmen untuk menjadikan wadah tersebut sebagai alat perjuangan. Adapun tujuan yang elementer yaitu mempersatukan dan melakukan pendampingan seluruh perguruan pencak silat di seluruh Indonesia sebagai sarana untuk memperkuat nilai-nilai perjuangan dan pembangunan karakter bangsa.


Dalam berlatih pencak silat terdapat beberapa tahap atau tingkat kemahiran yang harus diikuti dalam beberapa tahapan. Pemula merupakan latihan dasar. Tahap berikutnya masuk ke tahap menengah yang akan mempelajari gerak dasar beserta variasinya. Level setelah menengah adalah pelatih yang akan diberikan materi teknik-teknik dari perguruan tersebut. Pada level ini hanya akan diberikan kepada orang yang memang sudah dipercaya dan dianggap mampu. Tahap terakhir masuk ke level pendekar yang diakui oleh para sesepuh perguruan telah memiliki tataran kesempurnaan dalam ilmu pencak silat.


Secara substansial pelajaran pencak silat terdiri dari beberapa aspek yang saling terkait satu sama lain. Pertama, aspek mental spiritual. Dalam pencak silat bertujuan untuk membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Dalam proses perjalanan waktu, para pendekar dan maha guru pencak silat zaman dahulu seringkali harus melewati tahapan meditasi, bertapa, atau aspek kebatinan lain.


Kedua, aspek estetika. Dalam hal ini pencak silat tidak bisa dipisahkan dengan aspek keindahan atau estetika yang mengiringi dalam setiap dinamika geraknya. Sebagai suatu sajian agar enak dilihat, tentunya membutuhkan penataan, keserampakan gerak, pengolahan komposisi formasi, juga penguasaan ruang. Masing-masing pesilat perlu menerapkan nilai estitika ini, agar setiap gerakan yang dilakukan membumi dengan jiwanya. 


Ketiga, aspek bela diri. Aspek ini lebih menekankan pada kepercayaan dan ketekunan diri sebagai suatu kata kunci yang sangat penting dalam menguasai ilmu bela diri pencak silat. Ketekunan dalam mempelajari detail gerak secara jeli, mulai dari tingkat dasar sampai level puncak menjadi indikator untuk mencapai suatu kematangan dan keberhasilan


Keempat, aspek olahraga. Pada aspek ini menitikberatkan bahwa aspek fisik dalam pencak silat merupakan hal yang sangat dominan. Pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh. Aspek olahraga dalam pencak silat meliputi pertandingan dan demonstrasi bentuk-bentuk jurus, baik untuk tunggal, ganda, atau kelompok. Aspek olahraga ini menjadi parameter, pesilat memiliki ketangguhan atau tidak dalam menjalankan komitmennya.

 

Karakter Positif


Selain dapat berprestasi dan memperoleh manfaat kebugaran, pesilat yang belajar pencak silat ditanamkan nilai karakter positif antara lain disiplin, cinta tanah air, iman dan taqwa, berjiwa kemanusiaan, saling menghormati, berbakti kepada orang tua dan guru, dan sebagainya. Penanaman sportivitas menjadi komitmen awal dalam pencak silat ini. Hasilnya dari pertandingan atau laga akan diterima dengan lapang dada. Pertandingan bukan hanya sekadar meraih prestasi, namun yang lebih penting adalah menjalin relasi dan persahabatan sebanyak mungkin.  


Belajar pencak silat selain mendapatkan nilai karakter positif dalam pola pikir dan pola tindak, juga dapat menjadi penguat jati diri bangsa. Mengingat pencak silat merupakan warisan budaya pendahulu yang sudah turun temurun dari beberapa generasi, maka untuk melakukan revitalisasi secara utuh, kiranya perlu bisa ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.


Dengan merebaknya perguruan pencak silat di berbagai daerah merupakan langkah positif dan menjadi indikator bahwa nilai karakter sebagai jati diri bangsa sudah bertumbuh seiring dengan tanda-tanda zaman. Kiranya langkah positif tersebut, perlu mendapat apresiasi dan dukungan semua pihak agar kegiatan yang berlangsung bisa langgeng, berkelanjutan, dan memberikan kontibusi positif bagi lingkungannya.  

 

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar