Nilai Spiritual Seni Tari

Dilihat 2883 kali
Sikap laku tari Pucang Kanginan diterapkan untuk tokoh putri halus seperti Dewi Galuh Candrakirana yang diambil dari Cerita Panji

Eksistensi seni tari dari dulu sampai saat ini telah melalui proses panjang dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan pelaku tari tersebut. Di samping itu, dinamika perjalanannya harmoni dengan nilai yang berlaku pada zamannya. Kehadiran seni tari bagi para seniman masa itu dan masyarakat dirasakan membawa makna yang sangat mendalam bagi kehidupan manusia.


Para maestro atau empu tari yang mewariskan tari kepada generasi penerusnya, secara sadar berpijak pada konsep-konsep seni yang selalu ada korelasinya dengan sosio kultural pada zamannya. Khusus untuk tari Jawa konsep-konsep tari yang tercipta tidak sekadar berkutat pada estetika, melainkan juga terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Hal tersebut manandakan para maestro tari pada waktu itu telah memiliki kemampuan berpikir melebihi zamannya, yaitu mampu memandang persoalan-persoalan estetis mencakup teba (jangkauan) wilayah kehidupan manusia secara holistik. Berbagai gagasan, pemikiran, dan pendekatan penciptaan karya yang kemudian berlanjut dan mewujud dalam karya nyata merupakan bukti luar biasa dan patut dibanggakan (Wahyu Santosa P., 2002).


Nilai Filosofis


Bila ditelisik lebih jauh para maestro tari dalam melakukan proses kreatif untuk menjabarkan makna dan detail gerak seni tari, di dalamnya telah mencakup kandungan nilai filosofis yang sarat makna. Mengacu pedoman Joget Mataram dari Kasultanan Yogyakarta terdapat makna filosofis seni tari sebagai berikut: sawiji (konsentrasi penuh tetapi tidak kerasukan), greged (energi dinamis tetapi tidak meniru), sengguh (percaya diri tapi tidak arogan), ora mingkuh (pantang mundur atau pantang menyerah).


Dari sisi spiritual sawiji punya makna filosofis selalu ingat kepada Yang Maha Kuasa. Greged mempunyai makna mampu menyalurkan semua aktivitas dan gairahnya melalui jalan Tuhan Yang Maha Agung. Sengguh mempuyai arti bangga ditakdirkan sebagai makhluk yang terhormat.


Adapun aspek ora mingkuh mempunyai makna tersendiri, karena sebagai suatu kode moral sekaligus teori pertunjukan yang menjabarkan makna seni tari sebagai suatu seni kebatinan. Seperti halnya para penari meskipun telah memeroleh kekuatan sosial, prestasi keanggunan di atas panggung, seharusnya dijauhkan dari hasrat atau pamrih sesaat. Dengan demikian penari tidak selayaknya langsung puas diri. Dia harus selalu berlatih dan terus berlatih untuk mencapai tataran kesempurnaan.


Lain halnya di Kasunanan Surakarta yang juga bagian dari Kerajaan Mataram. Para empu tari Jawa telah berhasil membuat konsep-konsep tari Jawa dalam bentuk standar yang tertuang dalam Serat Kridhwayangga. Eksplanasi dalam catatan kuno tersebut menegaskan, para empu tari juga telah mengelompokkan tari Jawa dalam beberapa patrap beksa (sikap laku tari), diantaranya pertama kukila tumiling (burung menggelengkan kepala), digunakan untuk tari halus berkarakter dinamis. Karakter halus ini digunakan dalam tokoh wayang, seperti Wibisana, Kresna, Adipati Karna, dan sebagainya.


Kedua, anggiri gora (gunung yang menakutkan/gemuruh yang menggemparkan), digunakan untuk tari gagah dengan karakter tenang, diam, tak banyak bergerak, dan kokohnya badan di dalam posisi berdiri bagaikan gunung yang menakutkan. Tokoh wayang dalam karakter ini bisa diambilkan contoh seperti Bima, Gatotkaca, Setyaki, Prabu Salya, dan tokoh-tokoh lainnya.


Ketiga, pucang kanginan (nyiur tertiup angin). Sikap laku tari ini digunakan untuk tari putri dengan gerak perlahan, lembut, dan mengalir atau mbanyu mili. Tokoh wayang yang melakukan patrap beksa ini antara lain Sinta, Sumbadra, Dersanala, Kunthi, Candrakirana, dan sebagainya.


Berpijak dari filosofis seni tari di atas, menandakan para empu tari tersebut dalam mengawali penciptaanya telah melakukan observasi yang luas dan mendalam dalam waktu relatif lama terhadap fenomena alam dan lingkungan. Mereka dengan cermat melakukan proses pengayaan dengan memerhatikan tubuh penari sebagai media ungkap.


Intuisi Gerak


Bila ditelisik lebih jauh, menari sesungguhnya merupakan usaha memelajari berbagai macam intuisi atau rasa gerak yang terbingkai dalam berbagai karakter yang ada dalam berbagai sumber cerita baik itu epos Mahabharata, Ramayana, cerita Panji, cerita rakyat dan sebagainya.


Seorang penari pada dasarnya bukanlah orang yang sekadar menggerakkan badannya untuk bergerak dalam pola gerakan-gerakan tertentu. Menari sesungguhnya sedang meniti rasa, menjalani pencarian, dan penemuan tentang jati dirinya untuk mencapai kesejatian hidup yang hakiki untuk bisa berbagi dengan publiknya.


Untuk itu, kiranya seorang penari apabila ingin mendalami tari secara intensif, perlu melakukan laku spiritual (askestik), seperti pengendapan emosional, penemuan jati diri, dan mendalami karakter tari yang akan dibawakan. Praksisnya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti mendalami karakter tokoh yang dibawakan dengan mencari kedalaman profil tokoh tersebut. Seumpama akan menarikan tokoh Adipati Karna, seyogianya bisa juga memahami karakternya dengan cara merasuk dan luluh dalam tokoh tersebut.


Idealnya apabila seorang akan menari tentunya jiwanya harus bisa berkelindan menyatu dengan karakter tokoh yang dibawakan lengkap dengan citra pribadinya. Bukan hanya sekadar memiliki kemampuan teknis yang hanya bisa dinikmati dari keindahan wadah (visualnya).


Dengan demikian dapat ditarik tautan benang merah, dalam seni tari terkandung makna yang sangat mendalam. Bukan hanya sekadar soal teknis gerak. Di balik teknis gerak tersebut terkandung filosofis kehidupan yang bisa dijabarkan dalam berbagai perspektif sampai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia baik fisik maupun kedalaman nilai spiritualnya.


Tentunya generasi milenial apabila akan mendalami seni tari secara intensif, di samping kapabilitas teknis juga dibutuhkan konsistensi dalam menjalankan laku spiritual agar sampai pada tataran taksu atau kesempurnaan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar