Pengelolaan Kelas Yang Humanis

Dilihat 822 kali

PENDEKATAN pengelolaan kelas yang humanis menekankan keunikan dan martabat setiap individu peserta didik. Penekanan lebih pada kemampuan pembelajar siswa yang tinggi dari pada berpusat pada guru. Dalam pendekatan ini disarankan sedikit mungkin intervensi dalam kelas, partisipasi aktif siswa, dan menolong agar siswa dapat mengembangkan dirinya.

Pendekatan pengelolaan kelas yang humanis ini telah digagas oleh Carl Rogers dan Michael marland. Tujuan dari pendekatan humanis menurut Rogers 9roger 7 Freiberg, 1994) adalah mengembangkan disiplin diri setiap siswa. Disiplin diri adalah pengetahuan tentang diri sendiri dan membutuhkan tindakan untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Secara sederhana hal ini dapat dilakukan dengan mengelola dengan tidak banyak memberi instruksi kepada siswa. Ia berkeyakinan bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan dasar untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi. Idealnya bahwa peran guru dan orang tua menciptakan lingkungan yang diterima oleh siswa dan bermakna bagi mereka, dan membantu perkembangan mereka. Guru lebih menjadi fasilitator dari pada sebagai seorang yang memberi perintah, dan aktivitas siswa sangat penting keterlibatannya dalam proses pembelajaran.

Sekolah yang menerapkan pendekatan pengelolaan kelas yang humanis menitikberatkan pada pusat belajar adalah siswa. Dalam model ini seorang guru tidak lagi memberikan petunjuk/ceramah dalam pembelajaran. Secara spesifik, guru yang demikian adalah guru yang:

  • Reflektif. Guru harus merefleksikan perilaku pembelajar dan berbicara untuk mendorong mereka berpikir tentang pemikirannya. Misalnya: Apa yang saya rasakan ketika kamu sedang berbicara?
  • Mendukung siswa. Komunikasi dengan memberi salam dan dukungan.
  • Mendorong siswa untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya: Menurutmu apa yang kamu rasakan dengan perbuatanmu?
  • Mengembangkan tanggung jawab siswa. Apa yang Anda pikir tentang apa yang anda buat?
  • Membantu perkembangan aktualisasi diri. Memberikan tempat yang baik untuk belajar dan tumbuh. Mendorong siswa untuk berkembang sesuai dengan talenta yang ia miliki.

Pengelolaan kelas yang humanis tidak terlepas dari seorang tokoh Michael Marland  (1975) yang menjelaskan berbagai macam strategi dan saran-saran. Beberapa hal yang ia sarankan adalah:

  1. Mengasuh anak. Guru harus membuat anak merasa dilindungi/diasuh/dirawat. Sebagai contoh guru harus mengenal nama setiap siswa dan mengetahui sifat dan kebiasaannya.
  2. Mengatur aturan-aturan. Misalnya memberikan pujian kepeda siswa yang berhasil. Pujian merupakan alat bagi guru yang sangat berdaya guna. Pujian akan membuat siswa lebih memiliki harga diri dan citra diri yang positif di depan teman-temannya. Sebaliknya kritikan yang diungkapkan secara terbuka akan merusak harga diri anak. Kritikan sebaiknya diberikan secara pribadi.
  3. Membentuk kelas sebagai lingkungan belajar. Diharapkan kelas menciptakan suasana yang kondusif untuk menghindari masalah pengelolaan dan pada tingkat yang tinggi melibatkan siswa dalam pembelajaran. Sebagai contoh, kenyataan yang sering kita jumpai adalah pengelolaan kelas secara tradisional, meja guru di depan kelas, hal ini memang sangat memudahkan murid untuk melihat guru dan guru menjadi pusat perhatian siswa. Ada satu percobaan dimana guru menggeser mejanya ke belakang, dengan tujuan agar guru dapat melihat seluruh perilaku setiap anak, terutama kecurangan-kecurangan atau perilaku yang buruk yang siswa lakukan.

Marland memberikan saran-saran agar lingkungan pembelajaran menjadi lebih perhatian pada pribadi siswa, sehingga komposisi meja hendaknya disusun supaya lebih menjangkau setiap siswa. Selain itu perlu juga dekorasi kelas yang diambil dari karya-karya siswa: poster, gambar anak, puisi, kartu-kartu, dan lain-lain.

Paradigma modifikasi lingkungan belajar yang berpusat pada siswa menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut (Parke, 1989):

  1. Siswa adalah partner dalam membuat keputusan tentang kurikulum. Misalnya: bagaimana menyusun waktu bersama dalam kegiatan belajar mengajar, seberapa besar kebutuhan waktu siswa untuk belajar mandiri.
  2. Pola duduk yang memudahkan belajar. Sirkulasi tempat duduk yang memudahkan siswa untuk bergerak. Pengelompokan tempat duduk sehingga siswa dapat mudah untuk belajar kelompok. Di kelas disediakan tempat duduk untuk belajar mandiri.
  3. Kegiatan dan kesibukan siswa. Hal ini patut diperhatikan agar kegiatan di dalam kelas tidak mengganggu belajar siswa. Desain tempat yang membuat siswa belajar bagaimana berpindah-pindah tempat dan bagaimana berbicara dan berdiskusi tanpa mengganggu teman lainnya.
  4. Lingkungan belajar yang mempertimbangkan kebutuhan belajar individual, maka harus dikembangkan rencana belajar yang diindividualkan (individualized learning plans), atau kontrak belajar untuk semua siswa. Perlu dipertimbangkan kemampuan, tingkat prestasi, dan minat siswa.
  5. Jika mungkin keputusan dibuat dan disepakati oleh guru dan siswa. Kemandirian diperlukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka. Misalnya dengan membuat aturan kelas bersama, penentuan kegiatan belajar, waktu dan kecapatan belajar, dan evaluasi belajar. Semoga


*)Penulis : P. Budi Winarto, S.Pd  guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar