Apabila masyarakat umum, melihat penyajian seni tari secara wantah mereka melihat suatu sajian dengan gerak yang indah, bagus, gemulai, terlebih penarinya cantik-cantik atau cakap-cakap. Banyak decak kekaguman keluar dari ekspresi mereka. Kekaguman tersebut menyiratkan bahwa penari-penari yang tampil dalam pementasan tersebut mampu menyedot energi kekaguman publik akan kepiawaian mereka.
Namun di balik keindahan visual yang dapat ditangkap penonton, ternyata untuk dapat menjadi penari mumpuni membutuhkan proses panjang. Seorang penari pada prinsipnya bukan hanya sekadar menggerakkan anggota tubuhnya dengan gerakan-gerakan estetis untuk memukau penonton, melainkan sedang meniti rasa, mencari jati diri, dan melakukan peziarahan. Dalam hal ini, penari melakukan pengolahan rasa yang dibingkai dengan gerakan-gerakan selaras dengan karakter yang dibawakan.
Dalam tari Jawa, untuk menjadi seorang penari membutuhkan beberapa tahapan gerak dasar tari. Untuk tahapan pertama penari harus menguasai materi tari Rantaya. Tari ini merupakan jenis tarian yang berisi rangkaian segmen tubuh terutama untuk membangun adeg (kesiapan dasar kaki pada saat mulai menari) sebagai konstruksi tubuh yang dipadu dengan gerak kepala, lengan, dan tungkai.
Apabila penari sudah dapat menguasai tari Rantaya, untuk menari ke jenjang tari-tari selanjutnya sudah tidak akan mengalami kesulitan karena dasarnya sudah dikuasai. Ibarat suatu bangunan gedung, apabila fondasinya kuat bangunan tersebut diyakini akan tetap kokoh berdiri. Perlunya penari memelajari tari Rantaya ini, muncul dalam pelatihan seni tari bertajuk Gulang Gelanggang Sinau Sareng Maestro Tari yang diinisiasi oleh Sanggar Nirwana Magelang dengan narasumber Dr. Daryono, S.Kar., M.Hum dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta pada hari Minggu (15/1/2023) bertempat di aula Ki Hadjar Dewantara Dinas Dikbud Kabupaten Magelang.
Penguasaan Dasar
Pada dasarnya pengertian seni tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan melalui gerak ritmis yang estetis. Dalam seni tari terkandung tiga aspek yaitu ekpresi, gerak, dan irama. Masing-masing aspek tersebut berkelindan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Dalam seni tari membutuhkankan tiga aspek tersebut agar ketika nanti disajikan memiliki aura dan menjadikan magnet bagi penonton. Untuk sampai ke arah bentuk ideal, dibutuhkan penguasaan materi yang betul-betul dapat menjadikan diri penari terbentuk. Salah satunya dengan penguasaan dasar seni tari yang dapat menjadi titik pijaknya. Salah satu tari dasar seni tari Jawa gaya Surakarta dikenal dengan tari Rantaya.
Dalam materi tari tersebut penari diharapkan mampu memahami dan mempraktikkan masing-masing detail geraknya. Tari ini merupakan perbendaharaan awal untuk dapat belajar seni tari. Contoh dalam tari Rantaya terdapat perbendaharaan gerak lumaksana (berjalan). Gerak tarinya mengalir seperti air mengalir, tanpa tekanan. Masing-masing gerak diatur sesuai norma iringan dengan tempo lambat mengalun, seperti dalam lantunan iringan gendhing ketawang ibu pertiwi yang sering digunakan untuk mengiringi tari Rantaya.
Penari perlu menjaga stamina dan pernapasannya agar dapat menyesuaikan dengan irama dan tidak melanggar kaidah yang sudah digariskan. Tentunya penari membutuhkan ketekunan dalam berlatih, agar norma-norma tersebut dapat terjaga. Pada umumnya, napas selalu menjadi kendala bagi seorang penari. Untuk itu, penari perlu mengkondisikan agar jangan dikendalikan oleh napas, namun penari sendiri yang harus menguasai napas tersebut. Napas diandaikan sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang akan dicapai.
Sebagai suatu karya seni, dalam hal ini seni tari memiliki satu kekuatan komunikatif yang terdapat di dalamnya. Hal ini dapat diketahui karena gerak manusia sebagai materi seni tari merupakan suatu esensi kehidupan. Seni tari tumbuh dari kehidupan untuk direfleksikan menjadi suatu karya yang komunikatif melalui simbol estetika gerak agar dapat memiliki kandungan rasa.
Rasa berkorelasi dengan jiwa dalam seni tersebut. Seorang penari bila menari secara total selaras dengan pengolahan rasanya akan menjadi tari yang dibawakan tersebut memiliki jiwa. Banyak penari yang hanya mengandalkan kemampuan teknis fisiknya, namun tidak diimbangi dengan pengolahan rasa, imbasnya menjadikan tari yang dibawakan hanya sekadar unjuk tampilan, bukan menari sesungguhnya.
Adapun konsep tari yang berhubungan dengan pengolahan rasa perlu mempertimbangan beberapa konsep. Pertama, sengguh, yaitu pemahaman dan kemampuan penari dalam menjiwai atau mengungkapkan rasa tari yang dibawakan.
Kedua, mungguh. Konsep ini merupakan pemahaman dan kapabilitas penari dalam menyesuaikan seni tari yang disajikan atau digarap dengan elemen-eleman lainnya seperti tema, iringan, karakter, rias, busana, dan sebagainya.
Ketiga, lungguh. Implikasi dari konsep lungguh merupakan pemahaman dan kemampuan penari dalam menentukan posisi ketika menyajikan seni tari. Misalnya lungguh tari Bedhaya yang memang berasal dari lingkungan istana akan berbeda dengan lungguh tari Gambyong yang sudah mengakar di lingkungan sosial luar istana (Wahyu Santoso P., 2002).
Untuk itu ketiga konsep pengolahan rasa tersebut sangat penting dipahami dan diaplikasikan bagi penari, agar tari yang dibawakan memiliki aura. Perlu juga disadari, bahwa menari bukan hanya bertujuan untuk kepuasan batin penarinya, tetapi harus dapat membahasakan gerak tubuhnya kepada penonton sehingga terbangun relasi komunikatif.
Menempa Diri
Kegiatan pelatihan belajar bersama maestro tari yang diinisiasi oleh Sanggar Nirwana Magelang pimpinan Nirmala Candrawati, S.Sn tersebut layak diapresiasi. Seniman tari maupun guru seni tari di sekolah perlu memahami makna dan hakikat seni tari tidak sekadar kulitnya saja, namun perlu menggali sampai kedalamannya.
Di samping itu, kegiatan tersebut merupakan ajang menempa diri. Tari Rantaya sebagai dasar seni tari perlu dikuasai agar bangunan kemampuan yang dimiliki masing-masing penari semakin kokoh. Namun yang perlu diingat, bahwa yang namanya seni, apapun aspeknya tidak hanya dapat dikuasai hanya dengan obsesi saja. Seni itu hakikatnya perlu ruang untuk melakukan tindakan praksis, seperti latihan rutin. Dengan latihan rutin, seorang penari akan dapat mengeksplorasi dirinya sendiri baik kelebihan maupun kekurangannya.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar