Peran Kebudayaan Tumbuhkan Spirit Kebangsaan

Dilihat 1229 kali
Sarasehan budaya yang dikemas menarik, konsisten, dan berkelanjutan akan dapat memberikan pencerahan faktual kepada masyarakat. Sarasehan budaya di Kampung Dolanan Nusantara Borobudur (16/9) dengan pembicara Prof. Dr. Sugiyarto, MSi, Rektor Universitas Tidar Magelang dan Dr. Ari Prasetiyo, SS, MSi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Diskusi tentang kebudayaan merupakan suatu peziarahan mentalitas masing-masing pribadi sebagai individu. Dapat diandaikan, baru saja kaki melangkah, mereka yang terlibat dalam diskusi sudah akan diajak berselancar memasuki suasana tukar pikiran dalam dialektika yang hangat dalam membedah topik diskusi. Terlebih lagi, kalau diskusi tersebut  menyentuh berbagai dimensi yang mengorelasikan makna kebudayaan dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat.


Keberagaman kebudayaan di Indonesia merupakan potensi yang luar biasa. Sebagaimana diketahui Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, 1.340 suku bangsa yang tersebar di 38 provinsi. Masing-masing suku bangsa tersebut tentu memiliki budaya daerah yang menjadikan ciri spesifiknya. Seperti di Bali ada upacara Ngaben, di Jawa ada tradisi Suran, di Aceh ada tari Saudati, Kalimantan Timur memiliki tradisi Erau atau upacara syukur karena hasil panen melimpah, dan masih banyak lagi keberagaman budaya di Nusantara yang dapat menjadi penanda bahwa Indonesia memiliki kebudayaan di masing-masing daerah yang diperhitungkan di kancah dunia.


Namun, tidak bisa dipungkiri, dalam dinamika perjalanan waktu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kebudayaan seperti perilaku, kesenian, dan logika berpikir saat ini mulai terreduksi. Seperti perilaku anak-anak yang tidak mengenal bahasa ibunya sendiri, kesenian yang inginnya berinovasi tetapi kebablasan, juga logika berpikir yang cenderung instan atau berpikir praktis.


Fenomena tersebut menjadi ajang diskusi menarik dalam sarasehan budaya di Kampung Dolanan Nusantara Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Borobudur, Kabupaten Magelang,  Sabtu (16/9/2023) yang mengambil tema Genetika Budaya Nusantara Untuk Memperkuat Spirit Kebangsaan dengan pembicara Prof. Dr. Sugiyarto, MSi,  Rektor Universitas Tidar Magelang dan Dr. Ari Prasetiyo, SS, MSi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.


Pencipta dan Pengguna Kebudayaan


Apabila ditelisik lebih jauh, manusia dalam hidup kesehariannya tidak akan mungkin lepas dari pola hidup kebudayaan, karena manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan itu sendiri. Manusia hidup karena adanya kebudayaan. Sementara itu, kebudayaan akan terus hidup dan berkembang manakala manusia mau merawat juga menghidupkan kebudayaan, dan bukan malahan merusak sendi-sendi kehidupan yang termuat dalam norma kebudayaan tersebut.


Pada dasarnya kebudayaan lahir juga karena proses kehidupan manusia selama menjalankan aktivitasnya. Sebagai suatu proses kehidupan, maka manusia dan kebudayaan senantiasa mengalami perubahan yang dinamis. Oleh karena itu, dalam pembicaraan yang berlangsung di ranah publik sering dikatakan bahwa perubahan merupakan pertanda kehidupan, yang menegaskan bahwa kebudayaan dalam proses perjalanan waktu akan mengalami elaborasi sesuai dengan dinamika zaman (Sumaryono, 2016).


Asumsi publik masih banyak mengklaim bahwa kebudayaan tersebut hanya identik dengan kesenian. Padahal dalam kebudayaan terkandung tujuh unsur utama yaitu, bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, serta kesenian.


Dari ketujuh unsur kebudayaan tesebut dapat diformulasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu pertama, wujud logika. Wujud logika ini merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, regulasi, atau aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.


Kedua, wujud etika. Dalam wujud yang kedua ini lebih menegaskan bahwa kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Tindakan atau perilaku manusia dalam masyarakat, seperti perilaku santun, mengedepankan etika dalam berkomunikasi, atau menerima keberagaman termasuk wujud etika yang harusnya terus dihidupkan dalam sendi-sendi kehidupan.


Ketiga, wujud estetika. Pada wujud estetika lebih mengedepankan kebudayaan sebagai bentuk benda-benda resultansi karya manusia yang dapat memberikan santapan rohani pada semua pihak. Bertolak dari ketujuh unsur dan ketiga wujud kebudayaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa kesenian berada pada konstelasi terakhir sebagai unsur kebudayaan.


Sebagai misal, bila melihat seni tari dengan berbagai jenisnya baik seni tari tradisional atau kreasi baru hanyalah satu cabang dari kesenian tersebut. Oleh karena itu, kalau ingin mengkaji seni tari dalam konteks kebudayaan, tentunya akan melibatkan unsur dari aspek-aspek kebudayaan yang begitu kompleks tersebut.


Pada saat ini, arus informasi tidak dapat dibendung lagi, baik lewat medsos, gawai, instagram, dan perangkat digitalisasi lainnya. Memang gelombang informasi tidak bisa dihindari, namun hendaknya masyarakat harus bisa memilih dan memilah, informasi yang paling tepat dan sesuai dengan nilai kultural bangsa Indonesia.


Dalam hal bahasa dan sastra daerah yang berkorelasi dengan etika, terreduksinya semakin tajam. Pembelajaran di sekolah, dirasa kurang cukup, karena alokasi waktunya juga terbatas. Untuk itu peran keluarga dan kantong-kantong budaya, sangat signifikan untuk memberikan pembelajaran, walaupun secara informal. Generasi sekarang sudah kebal dengan petuah-petuah. Mereka butuh contoh konkret dari orang tua dalam memberikan pencerahan. Misalnya, membetulkan ucapan-ucapan atau kata dalam komunikasi verbal yang dirasa tidak pada tempatnya.


Sedangkan dalam seni tradisional, perlu adanya kemasan-kemasan yang tetap berpijak pada pakem (aturan baku), namun tetap berinovasi agar layak dikonsumsi publik. Seperti dalam seni tari, perlu dikemas seni tari yang dibalut dengan narasi nilai-nilai karakter yang dapat memantik empati untuk mempelajari tingkat kedalamannya. Misalnya dalam materi tari Kridha Warastra, di dalamnya memiliki jiwa heroik dengan semangat nasionalisme. Di sini semangat nasionalisme tersebut perlu ditonjolkan serta dikorelasikan juga dengan nilai-nilai kebersamaan atau kekuatan tim kerja demi mendapatkan hasil kerja optimal.


Spirit Kebangsaan


Dengan mempelajari kebudayaan dengan pernik-perniknya sampai tingkat intensitasnya, ibaratnya mendapatkan oase di tengah padang gurun yang luas. Dari nilai-nilai kebudayaan didapatkan berbagai sumber pengetahuan yang tidak pernah kering digali sampai kedalamannnya. Dengan mempelajari kebudayaan, manusia dapat melihat jati dirinya, serta mendapatkan pencerahan untuk menyongsong masa depan.


Adapun, untuk memudahkan belajar kebudayaan, kiranya perlu mengosongkan semua pengetahun yang dimiliki. Ibaratnya kalau sebuah cangkir sudah terisi penuh, ditambah lagi air teh atau kopi tentunya akan membludak dan tidak ada manfaatnya. Namun apabila semua orang dapat mengosongkan pengetahuan dasar yang dimiliki, tentunya masukan-masukan baru akan mudah masuk dan mengkristal dalam dirinya, sehingga akan lebih mengokohkan jati dirinya.


Dengan mempelajari serta mendalami kebudayaan yang dimiliki, kiranya tidak berlebihan pada gilirannya akan dapat juga memperkuat spirit kebangsaan. Rasa bangga untuk memiliki, menggeluti, dan menghidupi kebudayaan yang dimiliki dalam tataran praksis akan memperkuat eksistensi dan keberlangsungan kebudayaan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menegaskan bahwa pemeliharaan objek pemajuan kebudayaan dapat dilakukan dengan cara menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan serta mewariskan pada generasi berikutnya.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar