Puasa Menyehatkan Fisik, Mental, dan Sosial

Dilihat 129 kali
Foto ilustrasi salat tarawih di Masjid Istiqlal Jakarta (Photo by Mohammed Alim: https://www.pexels.com/photo/muslim-congregation-praying-inside-jakarta-mosque-30956657/).

Bulan ini umat muslim kembali memasuki bulan suci Ramadan. Bulan penuh berkah manakala ibadah puasa yang wajib hukumnya ditunaikan. Bulan penuh perenungan untuk lebih mendekatkan kepada-Nya. Sembari mengevaluasi diri demi meningkatkan kualitas pribadi sebagai individu maupun sosial. Di bulan ramadan ini kaum muslimin dan muslimat berusaha meraih sebanyak mungkin keridaan Allah dengan menjalankan ibadah puasa.


Berbicara tentang puasa, ternyata puasa sudah ada sejak zaman prasejarah. Manfaatnya diakui oleh semua agama samawi. Bahkan kini, beberapa klinik medis di Eropa dan Amerika Serikat mengakuinya sebagai sarana untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit.


Puasa juga merupakan terapi yang baik untuk menekan penyakit yang timbul sebagai dampak modernisasi. Orang yang tidak dapat beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat, sekaligus tidak menjalankan agamanya, akan diserang bukan hanya penyakit fisik dan mental, tetapi juga penyakit sosial. Sementara penyakit sosial berakar dari kondisi kesehatan masing-masing orang. Oleh sebab itu, WHO menilai status kesehatan seseorang meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial.


Pengalaman ibadah, terutama puasa di bulan ramadan bukan hanya akan mencekal berbagai penyakit yang dipicu oleh stress lepas kendali, tetapi juga dapat memperbaiki kondisi kesehatan sosial seseorang. Sebab, kalau ibadah yang satu ini diamalkan dengan penuh keimanan dan ketulusan hati, otomatis akan menggugah altruisme atau rasa cinta kasih yang tanpa pamrih terhadap sesama.


Pada dasarnya ibadah puasa adalah strategi pengendalian berbagai bentuk nafsu. Menurut Imam Ghazali, seorang sufi besar pada zamannya, sejak awal manusia tinggal di bumi ini, Allah telah melengkapinya dengan empat macam nafsu. Tiga di antaranya bersifat keduniaan, sehingga mutlak harus kita kendalikan, yaitu nafsu sufiah (senang berfoya-foya), jawamah (suka agresif), dan amarah (nafsu merusak). Yang keempat ialah nafsu muthmainnah, yakni bentuk nafsu yang diridai Allah. Dengan berpuasa, tiga nafsu yang pertama tadi diharapkan dapat dikendalikan secara maksimal, agar nafsu muthmainnah bisa mendominasi akal budi manusia dalam menunaikan tugas-tugas duniawi dan rohaninya sehari-hari.


Kemajuan pesat yang diraih manusia di bidang sains dan teknologi sekarang ini memang telah memberikan kesenangan dan kenyamanan hidup yang diidamkan orang. Namun, karena nafsu inderawi sering lepas kendali, orang jadi sulit mencapai ketenangan diri. Pada gilirannya, ketidaktenangan ini membuat orang mudah terjebak ke dalam berbagai bentuk gangguan emosi seperti stress, depresi, frustasi, cemas, dan marah-marah yang tak jelas ujung pangkalnya. 


Berpuasa dengan motivasi keimanan dan ketulusan hati, lantaran dijamin bisa memenangkan nafsu muthmainnah atas nafsu-nafsu lainnya, sebenarnya potensial buat mengendalikan berbagai macam nafsu atau bahkan menetralisasi setiap bentuk emosi yang bersifat destruktif.


Seorang pakar di bidang psikologi, Sigmund Freud, telah menganalisis jiwa manusia atas tiga elemen, yaitu id, ego, superego. Id (naluri) merupakan bagian jiwa yang memberi motivasi alamiah pada perilaku manusia. Id terletak di alam tak sadar. Ego atau keakuan kita merupakan bagian mental yang setia melakukan perintah Id. Letak ego di alam sadar. Sementara superego (hati nurani) terbentuk setelah manusia berkembang mental dan moralnya melalui studi ilmu pengetahuan atau agamanya.


Jadi, orang yang berpuasa berarti memberikan kekuatan konstruktif untuk dirinya sendiri. Mengendalikan nafsu sepanjang siang hari dari makan dan minum, yang sasarannya tak lain menenangkan superego atas kecenderungan id dan ego yang bisa melampaui batas. Latihan spiritual berpuasa itu merekayasa jiwa sedemikian rupa agar kondisi kehidupan kita menjadi proposional, sehingga kepentingan lahiriah kita tak lagi bertentangan dengan hati nurani.


Media Introspeksi


Oleh sebab itulah, ibadah puasa boleh dikatakan sebagai ibadah introspeksi. Misalnya sebagai pegawai atau aparatur pemerintah, bisa mempertanyakan pada diri sendiri. Apakah diriku sudah benar-benar bekerja dengan disipin, jujur dan berintegritas? Sebagai pedagang yang maunya untung besar mempertanyakan, apakah diriku tidak seenaknya menaikkan harga barang untuk menghadapi lebaran? Sebagai wakil rakyat, mengintrospeksi diri, apakah diriku sudah benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat?


Setiap ibadah yang diwajibkan agama islam (salat, puasa, zakat, haji) semuanya sarat dengan dimensi sosial. Bahkan ditegaskan bahwa ibadah yang dilakukan tidak berpahala jika mengabaikan kemanusiaan. Salat, misalnya, baru bernilai jika mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar.


Sehat dan Sukses


Menurut sebuah riset di Amerika Serikat, dengan berpuasa terjadi semacam proses pencucian zat-zat sisa hasil proses metabolisme (ureum, radikal bebas, dan sebagainya). Dengan demikian puasa dapat menyehatkan fisik maupun mental. Membuat seseorang terlihat dan merasa lebih muda, membersihkan badan, menurunkan tekanan darah dan kadar lemak, lebih mampu mengendalikan seks, mengendurkan ketegangan pikiran, menajamkan fungsi indrawi, memperoleh kemampuan mengendalikan diri, dan memperlambat proses penuaan.


Jadi, berpuasa di bulan ramadan, bulan 1.000 bulan yang istimewa ini, bukan hanya akan mencekal timbulnya berbagai penyakit ekses modernisasi (khususnya penyakit fisik, mental dan sosial), tetapi juga membangkitkan energi mental yang dapat membuat kita pantang mundur, serta selalu terpacu untuk mencapai prestasi atau kesuksesan yang diridai Allah. Semoga.


Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar