Wayang Gunungan Sarat Nilai Filosofis

Dilihat 3877 kali
Wayang gunungan di balik nilai keindahannya terdapat muatan yang sarat akan nilai filosofis sebagai tuntutan kehidupan manusia - Sumber foto: Pojok Seni, 2021

Wayang gunungan pada saat ini, sering digunakan sebagai properti dalam seni pertunjukan baik itu teater, seni tari, seni musik, bahkan berbagai event seremonial. Tentunya penggunaan wayang gunungan tersebut, bukan hanya sekadar sebagai properti atau keindahan saja, di dalamnya pasti memiliki makna yang komprehensif.


Dalam setiap pertunjukan wayang baik itu wayang kulit ataupun wayang golek selalu diawali dan diakhiri dengan munculnya wayang jenis gunungan. Penggunaan media gunungan yang dilakukan oleh Ki Dalang bukannya tanpa maksud. Apabila dikaji dari perspektif fungsi dan pemaknaannya terkandung filosofis yang sangat mendalam.


Dalam wayang gunungan terdapat beberapa fungsi yang menjadi tolok ukur. Diantaranya gunungan dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan cerita atau lakon wayang, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas teater.


Adapun fungsi lainnya gunungan memiliki multi fungsi. Salah satunya sebagai indikator pergantian adegan maupun sebagai visualisasi fenomena alam seperti prahara, samudera, gunung, juga halilintar. Sedangkan fungsi lain yang tak kalah uniknya dapat membantu menciptakan efek tertentu seperti tokoh yang menghilang, berubah bentuk, atau suasana hati sampai adegan yang spesifik dari penyajian wayang tersebut (Muhajirin, 2010).

 

Lambang Dunia


Sosok visualisasi gunungan pada dasarnya merupakan wayang berbentuk gambar gunung beserta Deret paling bawah terdapat dua pasang raksasa sebagai penjaga gerbang istana. Di sebelah atas gunung terdapat pohon kayu yang dibelit oleh seekor ular naga besar yang terasa mengerikan. Dalam gunungan tersebut terdapat juga gambar berbagai binatang hutan atau satwa. Visualisasi secara keseluruhan menggambarkan keadaan di dalam hutan belantara.


Gunungan melambangkan keadaan dunia beserta isinya. Sebelum wayang dimainkan, gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum terbentuk. Kemudian setelah dimainkan oleh Ki Dalang, gunungan dicabut dari posisinya, selanjutnya dijajarkan di sebelah kanan sebagai wujud gambaran protagonis.


Gunungan dapat dipakai juga sebagai tanda akan bergantinya lakon/tahapan cerita. Visualiasinya gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri. Selain itu, gunungan digunakan juga untuk melambangkan api atau angin sebagai fenomena alam. Visualisasi di balik gunungan, terdapat gambar cat berwarna merah darah. Warna inilah yang melambangkan api.


Api dapat memvisualisasikan suatu bentuk penerangan batin untuk semua pihak. Dalam malam gelap gulita, pikiran sedang bingung, manakala melihat setitik api, semua dapat tercerahkan. Dalam dunia dewata, Dewa Brahma dikenal sebagai dewa penguasa api. Dewa Brahma memiliki kewajiban, untuk memberikan pencerahan kepada semua umat di mayapada yang sedang mendapatkan kegelapan.


Gunungan juga dapat berfungsi sebagai lambang hutan belantara, dan dimainkan pada waktu adegan rampogan atau pada saat pasukan siap berbaris dengan bermacam senjata untuk maju berperang. Sang Dalang berperan sebagai komunikator jalannya cerita. Setelah cerita selesai, gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar sebagai simbol narasi cerita telah paripurna sesuai yang direncanakan.


Apabila diamati dari klasifikasinya terdapat dua macam gunungan, yaitu gunungan blumbangan dan gunungan gapuran. Gunungan blumbangan atau gunungan perempuan ada sejak zaman Kerajaan Demak Bintoro. Kemudian pada zaman Mataram diubah dengan adanya gunungan gapuran atau gunungan laki-laki sebagai wujud kejantanan. Gunungan sering juga dikenal dengan nama kayon. Implikasi Kayon berasal dari kata kayun (bahasa Kawi). Gunungan mengandung filosofis tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan dan juga tuntutan moral yang sarat akan nilai humaniora sebagai pijakan hidup manusia.

 

Nilai Filosofis


Pada dasarnya gunungan merupakan simbol kehidupan manusia yang sarat akan nilai filosofis. Setiap gambar dalam ornamen di dalamnya melambangkan seluruh kehidupan mayapada mulai dari gradasi kehidupan manusia dengan segala karakternya. Bentuk gunungan yang meruncing menjulang tinggi ke atas melambangkan bahwa hidup manusia ini tujuan akhirnya akan menuju ke atas secara vertikal yaitu berserah kepada Tuhan sebagai wujud berserah hidup.


Adapun visualisasi gambar dalam gunungan mempunyai makna semiotika yang melambangkan dinamika kehidupan manusia. Diantaranya adalah gambar pohon yang melambangkan sumber hidup manusia. Dengan adanya pohon manusia dapat terlindungi dari sengatan matahari atau cobaan hidup. Berbagai macam gambar binatang yang beraneka ragam menggambarkan berbagai macam tingkatan yang terdapat di dunia ini.


Gambar lautan luas melambangkan alam pikiran manusia yang ingin selau menimba ilmu. Untuk mencari ilmu tidak mengenal batasan usia. Ornamen rumah berbentuk pendapa menggambarkan dan juga keinginan belajar yang tidak mengenal batasan usia sepertu luasnya samudra yang tiada bertepi. Ornamen gambar berbentuk rumah pendapa melambangkan tempat tinggal yang nyaman berteduh dan mengendapkan diri baik secara jasmani maupun spiritual.  


Wujud gambar dua raksasa penjaga pintu gerbang dapat diinterpretasikan melambangkan penjaga alam gelap maupun terang. Ornamen visualisasi pintu gerbang dengan gradasi bertingkat seperti punden berundak, melambangkan pintu masuk dari alam duniawi ke alam baka.


Jenjang bertingkat tersebut, dapat menjadi pengingat kepada semua umat manusia, bahwa pada akhirnya kita akan menuju ke alam keabadian. Hidup di dunia ibarat hanya sebatas transit, yang nantinya akan juga menuju ke akhir kehidupan yang abadi. Untuk itu selama transit di dunia ini, manusia hendaknya selalu mengedepankan nilai-nilai keutamaan.


Sedangkan jenjang bertingkat merupakan lambang jalan penuntun agar manusia menaati tuntunan agama sebagai pedomen kehidupan. Pada bagian atas wayang gunungan terdapat gambar mustika sebagai lambang puncak  tujuan kehidupan manusia yang paling hakiki.


Gunungan tersebut berbentuk segi tiga, seperti berbetuk kerucut dengan tiga sisi. Implikasinya adalah awal, pertengahan, dan akhir. Mengerucut ke atas seperti tumpeng menandakan semua isi dunia, termasuk perkara apa pun di dalamnya, semuanya akan ditujukan kepada satu titik yaitu Tuhan sebagai sumber segala kehidupan.


Dengan demikian lebih jauh dapt  dimaknai bahwa dalam wayang gunungan terdapat semiotika tuntunan moral manusia selama menjalani hidup di dunia. Di tengah euforia budaya digital saat ini, ternyata para pujangga di Nusantara pada masa lampu sudah mampu menciptakan pemaknaan ajaran kehidupan yang sampai saat ini masih tetap relevan untuk diimplementasikan pada semua lini kehidupan manusia.


Karya seni budaya Nusantara dapat menjadi peta jalan kehidupan sekarang ini yang perlu adanya keseimbangan dalam meniti roda kehidupan, baik dunia digital maupun nilai-nilai budaya yang sarat akan nilai humaniora sebagai tuntutan hidup.


Nilai-nilai budaya tersebut dapat dipastikan tidak akan lapuk dimakan usia, karena kandungan filosofisnya selalu dinamis dan dapat diintepretasikan selaras dengan tanda-tanda zaman.  


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar