Nyadran di Nangka Growong Peninggalan Ki Ajar Windusana

Dilihat 561 kali
Suasana Nyadran di Nangka Growong dusun Kadisono desa Gantang Kecamatan Sawangan.

BERITAMAGELANG.ID-Ada sebuah pohon nangka tua masih tumbuh subur di tengah tegalan di dusun Kadisana desa Gantang Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, kaki barat Gunung Merbabu. Di tengah batangnya growong (berongga) berbentuk lekukan memanjang dari batang bagian bawah sampai bagian atas. Menurut ceritera legenda yang dilestarikan secara tutur tinular dari generasi ke generasi, pohon nangka growong itu semula adalah sebuah lesung, piranti petani untuk menumbuk padi. Komposisi pohon nangka ini juga tidak lumrah, dari batang yang besar itu tumbuh ranting-ranting, tanpa dahan besar. Biasanya pohon ini berbuah lebat yang bergelantungan di batang dan ranting-ranting pohonnya. Tetapi kini, mungkin karena musim kemarau panjang beberapa waktu yang lalu menyebabkan pohon yang telah berusia ratusan tahun ini tampak mengering dan tidak berbuah.


Menurut mantan Kepala Desa Gantang, Muhyad S.Sn atau Mas Ngabehi Muhyad Adicarita, pohon nangka tua ini sudah berumur enam ratus tahun dan sampai kini masih dirawat dan dilestarikan bahkan "dikeramatkan" oleh warga setempat. Konon lesung dari kayu pohon nangka ini dulu merupakan senjata ampuh Ki Ajar Windusana, seorang tokoh ulama penyebar agama Islam di daerah ini, ketika beradu kesaktian dengan Aki Dalem, seorang tokoh dan penyebar agama Hindu yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Mereka bertemu di kawasan kaki Gunung Merbabu ini pada masa peralihan jaman kejayaan agama Hindu ke jaman Islam, sekitar abad ke 14 Masehi. Ketika masa surutnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Buddha, mulai muncul kerajaan yang berlandaskan agama Islam di Tanah Jawa. Kedua tokoh agama yang masing-masing mempunyai misi untuk mempertahankan dan menyebarkan agamanya itu bertemu di kawasan kaki barat Gunung Merbabu yang kala itu berupa Bumi Perdikan "Ratawun".


Ki Ajar Windusana, oleh warga dusun setempat tidak diketahui siapa sebenarnya dan dari mana asal muasalnya. Namun menurut kisahnya, dia pernah berguru untuk memperdalam ilmu agama Islam kepada Syech Abdul Khodir Jaelani di negeri Baghdad bersama 13 orang lainnya. Mereka yang berguru bersama Ki Ajar Windusana antara lain, Kyai Syarif yang makamnya di puncak Gunung Merbabu, Kyai Saloka yang makamnya di Selo, Ki Ajar Daka yang makamnya di Dakan Pakis, Ki Ajar Salokantoro yang pusaranya ada di Getasan dan Ki Ajar-Ki Ajar yang lain yang makamnya berada di Kebumen, Banten, Madura dan Cirebon. Di antara ulama-ulama itu yang dituakan sebagai sesepuhnya adalah Ki Ajar Windusana. Oleh para Ajar tersebut, dialah yang diberi kekuasaan untuk menata tanah perdikan di kawasan Gunung Merbabu yaitu bumi Ratawun. Padahal Tanah Perdikan Ratawun ada Aki Dalem, tokoh agama Hindu yang kala itu sangat dihormati dan disegani warga di kawasan ini.


Kehadiran Ki Ajar Windusana di Tanah Perdikan Ratawun ini menimbulkan perebutan pengaruh dengan Aki Dalem. Dan terjadilah perebutan pengaruh dan kepentingan yang berujung pada adu kesaktian antara keduanya. Pertikaian itu semula hanya adu mulut dan saling "pethenthang-pethentheng" dan tempat dimana mereka saling "pethenthengan" itu kini bernama dusun Panthengan. Pada puncak kemarahannya, Aki Dalem dengan kesaktiannya mengeluarkan senjata ampuh berupa lesung batu, lumpang batu dan gandhik (alat penumbuk) juga dibuat dari batu. Untuk menandingi senjata lawannya itu, Ki Ajar Windusana dengan kesaktiannya juga mengeluarkan senjatanya berupa lesung kayu nangka dan alu kayu nangka.


Pertarungan sengit kedua jenis senjata itu berlangsung seru di angkasa yang disaksikan warga dusun setempat. Suara beradunya kedua jenis lesung sakti itu berdentang-dentang ("pating klonthang" bhs. Jawa), sehingga tempat beradu senjata itu kini bernama desa "Gantang". Beradunya dua jenis lesung dan lumpang dari batu dan kayu di angkasa menimbulkan asap putih seperti kabut atau pedhut. Dan tempat terjadinya pedhut itu kini disebut dusun Pedhutan di desa Gantang.


Karena sama-sama sakti, dalam pertarungan seru dengan kekuatan-kekuatan yang dahsyat, akibat benturan keras kedua senjata itu akhirnya terpental dan jatuh ke tanah. Lesung, lumpang dan gandhik batu milik Aki Dalem jatuh ke tempat semula di dusun yang kini bernama Panthengan Kalas. Tetapi batang gandhiknya patah. Sedangkan lesung kayu nangka juga kembali dan jatuh di dusun Kadisana, di mana kala itu Ki Ajar Windusana bermukim. Lesung kayu nangka itu jatuh dengan posisi menancap menghadap ke utara (lubang lesung mengarah ke utara). Dan alunya jatuh di dusun Banyuurip, juga dengan posisi menancap.


Pada akhir pertarungan, Ki Ajar Windusana berkata kepada Aki Dalem, ini sebagai tanda bila agama yang hidup tersebar itu agamaku atau agamamu. Bila lesung dan alu kayu nangka ini hidup dan tumbuh, berarti yang akan merata di bumi Jawa agama Rasul yaitu agama Islam. Dan atas ijin dan perkenan Allah SWT, seketika lesung dan alu kayu nangka itu bersemi dan tumbuh menjadi pohon nangka, meski batang pohon nangka itu sudah dibuat lesung. Lesung itu terus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pohon nangka yang besar, sampai sekarang.


Melihat kenyataan lesung kayu nangka itu tumbuh dan mendengar pernyataan Ki Ajar Windusana, kemudian Aki Dalem menjawab, memang yang akan tersebar di Tanah Jawa agamamu. Namun, agamaku tidak akan hilang atau busuk selamanya seperti lumpang batu senjataku.


Sampai kini benda-benda yang bermakna sejarah terkait dengan perjuangan Ki Ajar Windusana dalam penyebaran agama Islam di wilayah Gunung Merbabu itu masih utuh dan dirawat oleh warga desa Gantang. Baik itu lumpang batu, lesung batu, gandhik batu mau pun pohon nangka yang masih tumbuh subur di tengah tegalan dusun Kadisana. Bahkan benda-benda peninggalan kuna itu dianggap memiliki tuah dan berdaya magis, bagi mereka yang percaya. Di lokasi "pohon nangka lesung semi" ini Muhyad dan warga desa setempat, berhasil membangun sebuah pendapa untuk tempat acara ritual Nyadran yang setiap tahun pada bulan Ruwah diselenggarakan di sini. Tempat ini diberi nama "Padepokan Ki Ajar Windusana".


Sadranan Agung Ki Ajar Windusana tahun ini diselenggarakan pada hari Rabu Kliwon, tanggal 28 Pebruari 2024 atau 18 Ruwah 1957 Jimawal, dengan membaca doa Tahlil yang dipimpin oleh Kaum Warsidi. Dalam sambutannya, Muhyad mengharapkan agar acara Nyadran ini dilestarikan untuk menghormati cikal bakal desa dan mengirim doa kepada arwah para leluhur. Disamping itu, sebagai ajang silaturahmi dan memupuk rasa persaudaraan dan semangat gotong royong masyarakat. Pada acara Nyadran ini digelar wayang kulit sehari semalam yang membeberkan lakon 8 (delapan) seri dari Kisah Wiracarita Bharatayudha dengan dalang Mas Ngabehi Muhyad Adicarita.***

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar