Budayawan Sucoro Konsisten Ingatkan Nilai Spiritual Candi Borobudur

Dilihat 496 kali
Budayawan Sucoro (berbaju batik) bersama Pj Bupati Magelang Sepyo Achanto dan Forkopimda

BERITAMAGELANG.ID - Budayawan Sucoro konsisten mengingatkan pentingnya mendalami nilai-nilai spiritual dan budaya Candi Borobudur.

Melalui berbagai jalan, dia ingin memastikan agar Candi Borobudur tak hanya menjadi objek wisata yang bersifat komersial, namun juga memiliki nilai spiritual dan intelektual.

"Nilai-nilai Candi Borobudur di era sekarang meliputi nilai spiritual, nilai intelektual, dan nilai komersial. Nilai nilai itu berujung untuk pemberdayaan masyarakat," kata Sucoro di kediamannya Jalan Modangkamolan Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, pekan ini.

Disampaikan Sucoro, Borobudur tidak hanya relevan untuk umat Buddha, namun juga semua wisatawan yang mencari pengalaman spiritual sekaligus budaya. Candi Buddha terbesar di dunia dengan nilai sejarah dan spiritual yang luar biasa. Nilai-nilai universal tentang kebajikan dan filosofi kehidupan yang terukir dalam relief dan arsitektur candi Borobudur.

Menurutnya, Borobudur (kini) sudah berubah fungsi yang tadinya sebagai tempat ibadah atau pemujaan dalam pengertian agama Budha, serta merupakan tempat kontemplasi bagi pengertian orang Jawa.

Sucoro menceritakan pada awal 1980 kala itu, dia harus mengikhlaskan tempat tinggalnya di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, untuk pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur. Padahal, jauh di lubuk hatinya, Sucoro amat ingin mempertahankan tanahnya tersebut.

"Sebuah perubahan, sebuah paradigma baru (saat itu) yang sama sekali masyarakat tidak pernah mengenal, sama sekali masyarakat tidak tahu apalagi paham yang namanya kehidupan pariwisata," kenang Sucoro.

Dikatan Sucoro, 44 tahun wisata Candi Borobudur dikelola dengan memajukan  pariwisata yang memanfaatkan keindahannya. Tapi hasilnya masyarakat belum merasakan manfaatnya secara maksimal. Ketika Pemerintah mengubah strategi pengelolaan dengan akan mengedepankan atau meletakkan Borobudur sebagai tempat wisata religi maka ini menjadi sah dan lebih bermakna.

"Memang itu tidak seperti membalikan tangan begitu saja, lambat laun itu harus dibenahi mengubah stategi bahwa Borobudur jangan dijual murah keindahannya saja tapi juga kearifan budaya nilai nilai spiritualnya," paparnya.

Pergeseran di tahun 1980 itu menjadi moment awal perjuangan Sucoro. Jalan berliku dilakoni budayawan kelahiran 28 september 1951 ini lewat sejumlah aktifitas budaya berbasis kearifan lokal pedusunan.

Sementara, untuk menopang hidup Sucoro menjadi loper koran terbesar di wilayah Borobudur. Membaca berbagai media nasional saat itu menjadi menu Sucoro setiap hari. Aktifitas loper dan membaca itu di kemudian hari menuntunya menulis dan mencetak buku.

Diungkapkan Sucoro sebanyak 10 buku buah pemikiran dan pendapat Sucoro tercetak. Menariknya untuk biaya cetak semua buku itu berasal dari usaha sewa kamar mandi bagi wisatawan. Usaha beberapa petak kamar mandi di pekarangan rumah itu juga menjadi inspirasi untuk buku berjudul Dari Luar Pagar Taman Borobudur yang cerita tentang diri kehidupan Sucoro sendiri.

"Paling fenomenal dan laku keras itu ada Pustaka Aksara Borobudur yang berisi rangkuman pendapat dari kompetisi opini yang berakhir dengan kongres Borobudur," jelasnya.

Lebih dari dua dekade, Sucoro memilih jalan budaya untuk memastikan nilai spiritual Borobudur terjaga. Dalam usia 73 tahun, ia masih aktif menyampaikan pendapat terkait budaya sekitar Borobudur, baik melalui media sosial, maupun menjadi pembicara di sejumlah seminar.

Sedangkan guna mendukung langkah kongkrit pelestarian nilai spiritual Borobudur, Sucoro membentuk Komunitas Brayat Panangkaran dengan pagelaran tahunan Ruwat Rawat Borobudur.

"Sekarang ini saja banyak orang yang tahu saya yang membuat event Ruwat Rawat Borobudur sudah 23 tahun. Artinya kalau dibilang saya tahu persis persoalan Borobudur ya saya tahu persis," tegasnya.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar