Mbah Kasrin Jlogro, Pemahat Batu Pertama Muntilan

Dilihat 83 kali
Kasrin Endro Prayono, pemahat batu yang mengawali pembuatan patung Buddha di Prumpung Muntilan Kabupaten Magelang

BERITAMAGELANG.ID - Tangannya tak lagi memahat batu, tapi generasinya lestari di wilayah Muntilan. Itulah Kasrin Endro Prayono, pria kelahiran 1941 di Prumpung, Tamanagung Muntilan Kabupaten Magelang yang merupakan Sang Jlogro perintis awal usaha pahat batu di wilayah lereng barat Gunung Merapi. 


Energinya tak sekuat dulu, tapi proses sejarah pahat batu masih lekat di ingatan Kasrin. Baginya, Jlogro merupakan profesi mulia, sebutan bagi pemahat batu Merapi yang menjadi ciri khas di wilayah Muntilan Kabupaten Magelang.


Sejak dahulu, menurut Kasrin, Jlogro memang menjadi sumber ekonomi warga Tamanagung. Mereka ahli membuat ompak (batu penyangga tiang rumah Jawa), kijing, dan berbagai perabot dapur dari batu Merapi yang keras.


Ia masih ingat patung pertama yang dibuat tahun 1964 yakni karakter topeng Pentul dan Tembem yang memang terkenal di era itu. Tak diduga kedua patung eksperimen itu laku, dibeli saudagar dari Aceh. 


Sang pembeli bahkan memesan patung kepala Buddha, yang beberapa pekan kemudian Kasrin buat dan laku kembali. Dari pengalaman itu Kasrin terus memahat batu berkarakter Sang Gautama dan mengajarkannya ke warga sekitar.


"Dahulu awalnya anak-anak nyantrik sekolah memahat kepada saya. Awal membentuk katak pakai sketsa kapur dan membuat patung Buddha," kenangnya.


Kasrin tumbuh dari keluarga pemahat tradisional. Ia memiliki karakter berbeda setelah perjalanan hidup mencari makna Mustika Batu di alur Sungai Pabelan yang berhulu di Gunung Merapi. 


Kasrin mengatakan, mendiang bapak saya, selalu berkata, uripmu (hidupmu) akan bermakna jika sudah menemukan mustika ning watu (mustikanya batu). Baru sekarang paham, batu hasil erupsi diantaranya sudah terpendam itu yang menjadi mustika batu bagi hidup saya dan pemahat lainnya. 


"Di sini dahulu kampung miskin, sekarang berkecukupan dari pahat batu Merapi itu," kata Kasrin penuh kebanggaan.


Dari naluri, keberanian, dan kesetiaan itu karya Kasrin tersebar di berbagai daerah dan luar negeri. 


Kasrin percaya jika para Jlogro Tamanagung Muntilan merupakan generasi lanjutan dari para ahli, pemahat batu di pembangunan Candi Borobudur abad ke 7 Masehi oleh Dinasti Syailendra.


"Ini harus dirintis terus sebab kaitan dengan candi Borobudur karya besar yang adiluhung perlu dilestarikan. Orang muda harus melestarikan itu sesuai pakem jangan sembrono," pesannya. 


Salah satu generasi pemahat batu Muntilan, Yoga Budhi Wantoro menilai keberadaan pemahat batu Prumpung Tamanagung Muntilan merupakan warisan budaya tak benda. Dalam aktivitas itu ada pemikiran kreativitas perenungan dan kesetiaan.


Menurutnya, garis imajiner antara Merapi-Dusun Prumpung dan Borobudur merupakan sebuah produk keberlanjutan dari pembangunan Borobudur. Ditarik garis lurus menjadi spiritual pemahat. 


Kaitan Merapi, perajin dan Borobudur itu, lanjut Yoga, dimungkinkan abad 7 di Prumpung menjadi lokasi transit pengambilan batu bahan Candi Borobudur. 


Dijelaskan Yoga, ketika nenek moyang sudah selesai membangun candi Borobudur pada abad ke 7 Masehi daerah Prumpung konon menjadi daerah transit untuk pengolah membuat patung untuk dipasang di Candi Borobudur. Itu karena di wilayah Borobudur tidak ditemukan residu atau sisa sehingga dimungkinkan dikerjakan di tempat lain.


"Merapi bahan baku, Borobudur jadi inspirasi tak ada habis habisnya. Permintaan patung ada kaitan dengan Candi Borobudur," katanya.


Sedangkan Mbah Kasrin penerus dari Wangsa Syailendra yang mengawali perkembangan pahat batu di wilayah Prumpung Muntilan.


Di sini, perajin juga masih mempertahankan model klasik. Di situ, ada naluri dan pengalaman memahat bentuk percandian dengan batu khas Merapi warna hitam keabu-abuan dan ke biru buruan.


"Kini pemahat berkembang, beberapa memanfaatkan mesin modern untuk memudahkan. Tapi tetap pada pakemnya, proses manual menjadi penentu kesempurnaan hasilnya," jelas pemahat yang juga menjadi pengajar di ISI Yogyakarta.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar