Kerusakan Lingkungan dan Potensi Kemunculan Bibit Siklon Tropis di Indonesia

Dilihat 106 kali
Pergerakan bibit siklon tropis 93S di Perairan Indonesia (sumber: BMKG)

Indonesia dikenal sebagai wilayah yang relatif aman dari pembentukan siklon tropis. Letaknya yang berada tepat di sekitar garis khatulistiwa membuat gaya Coriolis (gaya yang memicu pusaran angin) sangat lemah, sehingga secara teori siklon tropis sulit terbentuk di wilayah Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya beberapa bulan ini, masyarakat semakin sering mendengar istilah bibit siklon tropis muncul di sekitar Indonesia. Fenomena ini pun memunculkan pertanyaan: mengapa sesuatu yang seharusnya jarang terjadi kini justru menjadi hal yang familiar?

TCWC (Tropical Cyclone Warning Center) Jakarta memantau pergerakan Bibit Siklon Tropis 93S yang diprediksi akan meningkat statusnya menjadi Siklon Tropis Kategori 2 pada pertengahan Desember 2025. Peningkatan intensitas tersebut tidak hanya berdampak pada wilayah laut, tetapi juga memengaruhi kondisi atmosfer di daratan. Selain bibit siklon tropis 93S, BMKG juga memantau lahirnya Siklon Tropis GRANT pada 23 Desember 2025. Siklon ini merupakan penguatan dari Bibit Siklon Tropis 93S yang pertama kali teridentifikasi di Samudra Hindia selatan Jawa Timur sejak 11 Desember 2025 lalu.

BMKG menjelaskan bahwa meskipun pusat siklon tropis hampir tidak pernah terbentuk tepat di atas wilayah Indonesia, kondisi atmosfer dan laut di sekitarnya kerap menjadi 'ruang tumbuh' yang ideal bagi bibit siklon. Perairan hangat di Samudra Hindia dan Pasifik barat daya yang mengelilingi Indonesia menyediakan energi besar berupa uap air. Ketika suhu muka laut cukup tinggi, umumnya di atas 26-27 derajat celsius, udara hangat dan lembap naik dengan cepat, membentuk awan konvektif yang masif dan kemudian menjadi cikal bakal sistem badai tropis.

Faktor kunci lainnya adalah posisi geografis Indonesia yang berada di antara dua samudra dan dua benua. Pertemuan angin monsun Asia dan Australia menciptakan daerah perlambatan angin atau konvergensi. Di wilayah inilah sering muncul gangguan tekanan rendah yang kemudian berkembang menjadi bibit siklon. Ketika gangguan ini bergerak menjauhi khatulistiwa, misalnya ke selatan Jawa atau barat Sumatra, pengaruh gaya Coriolis menjadi lebih kuat, memungkinkan pusaran angin terbentuk secara lebih terorganisir.

Dalam konteks inilah, Indonesia kerap merasakan dampak siklon tropis meskipun pusat badai tidak berada di atas daratannya. Adanya cuaca ekstrem yang meliputi hujan lebat, angin kencang, gelombang tinggi, dan peningkatan risiko banjir serta longsor sering kali menjadi efek tidak langsung dari siklon yang tumbuh di perairan sekitar Indonesia. Dampak ini pun juga dirasakan di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk Kabupaten Magelang yang mengalami peningkatan kejadian cuaca ekstrem dalam beberapa bulan terakhir. Dengan kata lain, Indonesia mungkin bukan 'rumah' bagi siklon tropis, tetapi berada sangat dekat dengan jalur pertumbuhannya.

Selain karena faktor dinamika atmosfer, penyebab terjadinya siklon tropis ini adalah kerusakan lingkungan dan degradasi alam. Kerusakan lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan perubahan iklim global, berkontribusi terhadap peningkatan suhu muka laut. Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca menyebabkan laut menyimpan energi panas lebih besar dari kondisi normal. Laut yang lebih hangat menyediakan pasokan uap air dan energi yang melimpah bagi atmosfer. Kondisi ini membuat gangguan cuaca yang sebelumnya lemah menjadi lebih mudah berkembang dan bertahan lebih lama, termasuk bibit siklon tropis di wilayah sekitar khatulistiwa.

Selain pemanasan laut, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, seperti rusaknya terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove, turut memperburuk ketidakseimbangan sistem alam. Ekosistem ini sejatinya berperan sebagai penyangga alami yang membantu menjaga stabilitas iklim lokal dan siklus energi laut-atmosfer. Ketika fungsi alami tersebut melemah, sistem cuaca menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi ekstrem, termasuk pembentukan awan konvektif besar yang menjadi cikal bakal badai tropis.

Di daratan, deforestasi dan alih fungsi lahan juga memberi kontribusi tidak langsung. Hilangnya tutupan hutan mengubah pola penguapan, kelembapan udara, serta sirkulasi angin lokal. Perubahan ini dapat memperkuat ketidakstabilan atmosfer dan meningkatkan peluang terbentuknya sistem tekanan rendah. Jika kondisi tersebut berinteraksi dengan laut hangat dan dinamika atmosfer regional, maka potensi munculnya bibit siklon di sekitar wilayah Indonesia semakin besar.

Kerusakan alam juga berdampak pada pergeseran pola musim dan angin monsun. Ketidakstabilan iklim membuat pertemuan massa udara menjadi lebih intens dan tidak menentu. Daerah konvergensi yang semakin aktif dapat menjadi "tempat lahir" gangguan cuaca yang kemudian berkembang saat bergerak menjauhi khatulistiwa, di mana pengaruh gaya Coriolis mulai bekerja lebih kuat.

Meskipun demikian, kerusakan lingkungan bukan satu-satunya penyebab terbentuknya siklon tropis di sekitar khatulistiwa. Fenomena ini merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor alamiah dan aktivitas manusia. Namun, degradasi lingkungan jelas meningkatkan frekuensi, intensitas, dan dampak dari sistem cuaca ekstrem yang terjadi.

Melalui pemahaman ini, masyarakat dapat melihat bahwa upaya menjaga lingkungan bukan hanya soal kelestarian alam, tetapi juga bagian dari mitigasi bencana jangka panjang. Perlindungan ekosistem, pengurangan emisi, serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan merupakan langkah penting untuk menekan risiko cuaca ekstrem, termasuk dampak siklon tropis, di wilayah Indonesia yang berada di sekitar khatulistiwa.


Penulis: Larasati Puspitaningrum, Analis Kebencanaan pada BPBD Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar