Anakku Sahabatku

Dilihat 500 kali
Ajari aku kesponan, dibalik kata "ora ilok"

Ndhuk, aja sok ngadeg ning tengah lawang, ora ilok. 

(Nak, jangan berdiri di tengah pintu, tidak elok)

Aja sok maem telampikkan swiwi, ora ilok, ndak ditampik.

(Jangan suka makan telampikkan sayap ayam, tidak elok, nanti ditampik)

Nek maem kudu dientekke, ora ilok, ndak pitikke mati.

(Kalau makan harus dihabiskan, tidak elok, nanti pitiknya mati)

Sebagai orang  yang mengalami hidup sebelum zaman milenial, setidaknya pada zaman Orde Baru, sering kita dengar orang tua menasihati anak-anak mereka dengan perkataan perkataan seperti di atas. Kata-kata "ora ilok" seakan menjadi senjata ampuh untuk melarang anak-anak melakukan tindakan yang tidak baik. Harapannya, anak akan langsung mematuhi apa yang diperintahkan oleh orang tua, tanpa banyak membantah. Orang tua juga hanya melarang, tanpa menjelaskan mengapa hal-hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Pola pendidikan anak di masa lalu, memang sepertinya menutup peluang bagi anak dan orang tua untuk berdiskusi dan saling menyampaikan argumen. Teringat ketika masih remaja, saya pernah menanyakan apa yang menjadi alasan larangan larangan dengan kata-kata "ora ilok" tersebut. Hal ini memang menjadikan penasaran dan menimbulkan keingintahuan yang besar pada diri saya. Ada apa sebenarnya dengan larangan "ora ilok" tersebut, sehingga menjadi sesuatu hal yang tabu bagi anak untuk melakukannya.

Namun, apa dikata jawabnya "Pokokke ora ilok". Ketika terus meminta penjelasan dan alasan yang jelas, jawabnya lebih sadis "Bocah dikandhani kok ming mangsuli wae" (Anak diberi tahu kok menjawab terus).  Timbullah banyak pertanyaan tentang stampel "ora ilok"  tersebut, tanpa ada jawaban pasti yang memuaskan. Lama kelamaan kata "ora ilok" menjadi terasa begitu menjengkelkan bagi saya, karena hanya sebatas kata larangan tanpa penjelasan yang bisa diterima akal pikiran.

Karakter Anak Zaman Milenial

Semua orang tua, tentunya menginginkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang secara normal serta memiliki akhlak dan budi pekerti yang baik. Namun, kadang para orang tua kurang menyadari, bahwa untuk membentuk anak menjadi seperti yang diinginkan tersebut, tidaklah terjadi begitu saja. Perlu ilmu dan pendekatan yang tepat, agar pribadi anak terbentuk sesuai harapan. Selain itu, perlu proses yang tidak sebentar, agar tujuan yang dimaksud dapat tercapai.

Saat ini sudah banyak kesempatan bagi orang tua untuk belajar berbagai macam pola asuh anak yang sesuai dengan kebutuhan masa sekarang ini. Bahkan, ada kalanya, sekolah tempat anak-anak belajar, mengundang orang tua murid untuk berbagi dan bersama-sama bersinergi mendidik dan membentuk karakter anak bersama para guru. Tujuannya tentu saja agar anak-anak terdidik dan terbentuk menjadi pribadi yang tak hanya pandai dan trampil, namun juga berakhlak baik dan berbudi pekerti luhur. Pertemuan demikian , biasa kita kenal dengan acara parenting.

Istilah parenting, merujuk pada hal yang berkaitan dengan peran sebagai orang tua. Dari laman www,sehatq.com, secara harfiah, arti parenting adalah pengasuhan anak. Tujuannya untuk  memastikan keselamatan dan kesehatan anak, memersiapkan anak untuk menjalani masa depan agar kelak menjadi orang dewasa yang produktif. Masih dari laman yang sama, menurut  Gunarsa Singgih, dalam bukunya, Psikologi Remaja, parenting didefinisikan sebagai sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda, termasuk anak, supaya bisa mengambil keputusan dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari bergantung kepada orang tua, menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab.

Dulu saya sering mendengar kisah orang-orang sukses yang berasal dari sebuah keluarga dengan didikan yang amat keras dan disiplin. Kedua orang tua sangat keras dan saklek menerapkan aturan dan anak-anak sangat mematuhi aturan tersebut. Pola didikan keras dan disiplin tersebut, akhirnya berbuah manis, dengan menghasilkan anak-anak yang sukses menempuh pendidikan, meniti karir dan menjalani kehidupan. Timbullah pendapat bahwa jika anak ingin berhasil, maka harus selalu mematuhi aturan dan didikan yang diterapkan orang tua, yang menerapkan pola parenting otoriter, tanpa ada bantahan sama sekali.

Namun kini, karakter anak dan kondisi kehidupan, telah berubah.  Anak yang semula hanya "sendika dhawuh" (sepenuhnya patuh pada perintah) kepada orang tua, kini sudah menjadi lebih kritis. Seperti ketika timbul pertanyaan kepada orang tua mengenai alasan larangan "ora ilok" itu menunjukkan adanya keingintahuan mengapa kita dilarang melakukan hal tersebut. Terlebih, di zaman milenial seperti saat ini, anak-anak sangat membutuhkan jawaban yang tepat untuk dapat memuaskan keingintahuan mereka.

Pola Asuh Masa Kini

Sebagai orang tua yang hidup di zaman milenial, kita tentunya bisa merasakan, bahwa pola asuh atau parenting style orang tua di masa lalu yang cenderung otoriter, tampaknya sudah tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi saat ini. Pemikiran anak, kini semakin kritis serta mereka dibanjiri informasi yang diperoleh dari media massa. Hal ini banyak memengaruhi  karakter anak masa kini. Berempati pada posisi sebagai anak, yang membutuhkan perhatian, kasih sayang serta jawaban yang tepat atas pertanyaan yang muncul dalam pikiran, bisa menjadi cara yang baik untuk menjalin kedekatan dengan anak.

Ada kalanya, orang tua perlu menempatkan diri sebagai sahabat bagi anak, meski si anak masih berusia balita. Mengajak berdiskusi, tanpa kesan terlalu menggurui, akan menimbulkan kenyamanan bagi anak untuk banyak bercerita, bertanya dan meminta pendapat. Hal ini akan menjadi cara yang ampuh untuk mengambil hati anak. Sehingga ketika mereka memiliki masalah, akan langsung mendekat kepada orang tua sendiri, bukan kepada orang lain.

Pola didik yang keras, justru akan membuat anak ketakutan menyampaikan masalah yang mereka hadapi kepada orang tua. Hal ini berpotensi membuat anak mencari orang lain untuk mencurahkan permasalahannya. Yang dikhawatirkan, mereka akan mendapatkan masukan dan nasihat yang salah, sehingga membuahkan tindakan yang keliru pula dalam mengambil keputusan. Dengan pola asuh yang lebih demokratis dan sejalan dengan kemauan dan karakter anak, tujuan yang diharapkan  anak dan orang tua, akan dapat tercapai.

Sungguh menyenangkan, ketika seorang ibu dengan anak gadisnya, saling bertukar pikiran ketika ingin berbelanja kosmetik, atau membuat menu masakan bersama. Begitu juga ketika si anak menceritakan pengalaman belajar dan bergaulnya di sekolah dan orang tua menjadi pendengar setia. Cara pendekatan seperti ini, justru akan mengena di hati dan pikiran si anak, karena orang tua dapat menjadi tempat curhat yang nyaman bagi mereka. Orang tua tetap dihormati, namun ada kedekatan dan kenyamanan, serta bebas dari ketakutan ketika anak ingin menceritakan apapun yang dia alami.


Penulis: Widia Himawan, Pengolah Informasi Media pada Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Magelang 

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar