Tak bisa dipungkiri walaupun Ki Dalang Manteb Sedharsono telah meninggalkan kita semua pada tanggal 2 Juli 2021, namanya tetap akan dikenang sebagai sosok yang sangat fenomenal dalam jagat pedalangan di tengah era milenium saat ini.
Di era sebelum tahun 1990, waktu itu awal mulainya Ki Manteb menanjak kariernya sebagai dalang, penulis sempat menyaksikan sendiri pentas di Taman Budaya Yogyakarta. Pengunjung pun membludag. Baik dari masyarakat umum, mahasiswa, ilmuwan, sampai kalangan akar rumput komunitas.
Kemampuan sabet (cara memainkan wayang) memang luar biasa. Dengan dua tangannya mampu menggerakkan berbagai tokoh wayang dalam berbagai atraksi, baik saat perang, berbaris, ataupun adegan ilustrasi.
Di samping itu, iringan yang dipakai walaupun masih berpijak pada tradisi, namun sudah digarap dengan garapan inovasi yang membuat penonton bisa masuk dalam adegan tersebut. Adapun kepiawaian beliau mampu mengubah struktur adegan sehingga dapat diterima oleh penonton. Misalnya adegan pertama bukan jejeran (adegan pertemuan besar di kerajaan), melainkan langsung masuk pada substansi cerita. Waktu itu ceritanya Banjaran Bisma, adegan pertama yang dipakai adalah sayembara di Kerajaan Kasindra yang dimenangkan oleh Bhisma.
Sampai saat ini, inovasi dari struktur narasi yang dipakai Ki Manteb menginspirasi penulis dan beberapa koreografer lain apabila akan membuat karya koreografi yang berpijak pada cerita tradisi. Fenomena tersebut menandakan Ki Manteb mampu menjadi inpirator dalam lintas disiplin.
Dalang Ternama
Ki Manteb Soedharsono adalah seorang dalang wayang kulit ternama lahir di Sukoharjo Jawa Tengah tahun 1948. Keterampilannya dalam menggerakkan wayang sangat piawai. Ia pun dikenal sebagai Dalang Setan. Julukan itu diberikan oleh mantan Menteri Penerangan di zaman Orde Baru, Boediardjo, karena melihat begitu terampilnya Ki Manteb Soedarsono memainkan sabet wayang pada saat adegan perang.
Di kala masyarakat sedang gandrung-gandrungnya dengan suara merdu Ki Dalang Anom Suroto, terutama lewat siaran-siaran radio dan rekaman kaset (pita) komersial, Ki Manteb justru melakukan terobosan inovasi yang lebih memanjakan sisi visual untuk penonton.
Puncak ketenaran Manteb Soedharsono diawali pada tahun 1988 saat dirinya diminta Sudarko Prawiroyudo, anggota DPR-RI untuk mementaskan pagelaran wayang kulit dengan serial Bima di Jakarta. Cerita yang dibawakan tersebut mengisahkan perjuangan Bima, ksatria panengah Pandawa dalam mengarungi dinamika hidup di mayapada ini dari mulai lahir sampai meninggal atau muksa (Aris Setiawan, 2019).
Konsep Pakeliran Padat
Manteb juga termasuk dalang yang cukup berani melakukan konsep pakeliran padat, yang pada waktu itu ditentang oleh para dalang senior. Manteb mulai memahami bahwa pakeliran padat dalam dunia pewayangan tidak semata memendekkan durasi pementasan alias meringkas dari panjang menjadi pendek. Namun pakeliran padat lebih dimanai sebagai kiat untuk menggali kreativitas lewat sajian yang bernas, segar, tidak bertele-tele langsung pada inti cerita.
Dengan kata lain, bagaimana jika dalam pertunjukan wayang kulit diisi dengan kumpulan cerita pendek lakon wayang, bukan satu sajian lakon (novel) yang utuh. Hal itu membuat pertunjukan Ki Manteb Soedharsono menjadi semacam bunga rampai dari kisah-kisah wayang.
Manteb berusaha agar sajian wayangnya menjangkau seluruh lapisan komunitas, baik tua maupun muda dengan membuat pagelaran semenarik mungkin. Dalam satu pentas wayang, ia pernah menggunakan aliran listrik agar senjata yang beradu dapat memunculkan efek percikan api. Tak kalah menariknya, ketika adegan perang kembang yaitu perang antara ksatria dengan raksasasa Cakil, tokoh antagonis Cakil dimainkan lebih dari satu dengan gerakan serempak dan variatif yang bikin decak kagum penonton.
Ki Manteb Soedharsono, di samping Anom Suroto adalah dalang yang meraih popularis tertinggi. Beliau pernah mendapat banyak penghargaan di antaranya, memecahkan rekor Muri mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat pada tahun 2004. Menerima anugrah Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto, tahun 1995. Sedangkan pada tahun 2010 menerima Nikkei Asia Prize untuk bidang Kebudayaan dari penerbitan Jepang.
Ki Manteb selama mendedikasikan sebagai seniman telah melakukan terobosan dalam upaya menjaga denyut hidup wayang kulit tetap berdetak. Ia tidak saja mewariskan tentang pertunjukan visual yang piawai, namun juga kreativitas berupa temuan-temuan monumental dalam semangat menolak kemonotonan dan kebekuan pertunjukan wayang kulit. Maka layak padanya dijuluki maestro pedalangan karena berani melakukan inovasi agar wayang tidak ditinggalkan publik.
Selamat jalan Sang Maestro. Karya dan dedikasimu akan selalu abadi dan menjadi inspirasi pencerahan bagi kami yang tak akan lekang dimakan waktu.
(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar