Beberapa tahun terakhir dunia animasi atau gambar yang digerakkan secara mekanik elektronis Indonesia menunjukkan geliatnya. Beberapa studio animasi mulai bermunculan mulai dari genre yang menimba ide di belantara tradisi, seperti Mahabharata, Ramayana. Legenda Timun Emas, Bawang Merah-Bawang Putih, Sangkuriang sampai era kekinian seperti Janus Prajurit Terakhir, Homeland, Keloloden, dan sebagainya.
Mengangkat cerita masa lampau yang bersumber dari legenda dan cerita rakyat untuk dihadirkan di masa kini tentu meniscayakan perubahan signifikan di segala sisi. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari upaya aktualisasi cerita di masa sekarang.
Film Mahabharata misalnya, tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak ada dalam komik RA Kosasih yang legendaris itu, dalam animasi mulai dibuat tokoh-tokoh fiksi yang dihadirkan agar suasana cerita menjadi semakin menarik bagi penonton sekarang, seperti munculnya tokoh Codot Ijo yang merupakan telik sandinya (mata-mata) Sengkuni. Codot Ijo divisualisasikan sebagai lelaki yang memakai ikat kepala, berkumis memanjang lancip dan berbaju rompi.
Di samping Codot Ijo, juga terdapat karakter tambahan seperti Raksasa Kribo yang digambarkan sebagai seorang banci yang memakai rambut palsu dengan tubuh tambun. Dalam animasi ini juga dijumpai tokoh Botho Bajang yang merupakan potret raksasa jelmaan aji Candrabirawa milik Raden Narasoma, pangeran dari Kerajaan Mandaraka saat bertanding dengan Pandu Dewanata, Raja Hastinapura dalam memerebutkan Dewi Kuntitalibrata dalam sayembara di Negeri Mandura.
Kerja Deformasi
Ilustrasi-ilustrasi dalam animasi tersebut pada dasarnya merupakan gambaran bahwa mengangkat cerita-cerita bernuansa tradisi bukanlah tanpa cakrawala inovasi. Kiat representasi merupakan kerja deformasi. Dengan kata lain, menghadirkan yang lama adalah juga menciptakan yang baru agar sajian menjadi menarik dan komunikatif serta tidak meninggalkan nilai edukasi.
Sebagai sebuah film yang diadopsi dari cerita oral di tengah komunitas, para animator tidak bisa tidak, harus menggunakan teknik bercerita yang berbeda. Bagaimanapun, transformasi cerita lisan ke gambar, selanjutnya ke animasi bukanlah proses yang sederhana. Oleh karena itu, para animator berusaha seoptimal mungkin untuk menggunakan beragam teknik dalam menyampaikan pesan yang dibawa untuk disampaikan kepada penonton secara menarik dan akrab dengan publik (Najib Kailani, 2006).
Tak bisa dinafikan, sampai saat ini film animasi di Indonesia telah dipercaya sebagai medium edukasi yang efektif bagi anak-anak. Dunia anak diandaikan sebagai gurun imajinasi yang membutuhkan katalisator yang sensitif dengan dunia mereka. Film animasi yang kaya bahasa visual dan mampu mencipta dunia utopia di luar dari dunia nyata telah ditahbiskan sebagai medium edukasi tersebut.
Asumsi dominan tersebut pada gilirannya mendorong para produser untuk mengangkat kisah-kisah dan legenda yang sarat muatan pendidikan untuk difilmkan. Film Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih, Petualangan si Kancil hingga Mahabharata, menjadi contoh dari cara pandang ini.
Sekilas nuansa edukasi terasa kental di film-film ini. Keragaman etnik dan kecerdasan seperti yang hadir di film Petualangan si Kancil, penghormatan orang tua di dalam film Malin Kundang dan perilaku terpuji di Bawang Merah dan Bawang Putih merupakan sebagian contoh dari gambaran ini.
Serbuan Animasi Impor
Yang masih menjadi persoalan sekarang ini adalah film animasi Indonesia sampai saat ini masih tertatih-tatih mengimbangi serbuan animasi dari film-film impor. Sebut saja film animasi produk Jepang dan Amerika. Bahasa visual dalam film impor ini menjadi satu-satunya teknik penceritaan yang ditampilkan, sehingga keliaran ranah imajinasi penonton diberi ruang yang luas.
Di samping itu film-film ini mengusung semangat having fun dan tidak menggurui. Beberapa film animasi Indonesia terkesan serius dan sangat menggurui sehingga kebanyakan anak-anak sekarang kurang begitu tertarik.
Di samping itu masalah distribusi untuk film animasi tradisi masih sangat terbatas, belum menjangkau publik dalam tataran yang lebih luas. Terlebih lagi hanya beberapa stasiun televisi yang membuka ruang animasi tradisi ini. Kebanyakan stasiun televisi lebih menyukai film-film animasi produk luar. Hal ini jelas terkait dengan aspek profit dan segmen industrial yang menjadi misi utama mereka, terutama untuk menggaet rating pemirsa.
Terlepas dari paradoks tersebut, masih ada terselip harapan di masa datang. Maraknya studio yang bergiat membuat film animasi Indonesia, di samping lahirnya banyak asosiasi yang konsen dengan animasi, maka jagat animasi Indonesia tentu akan berkembang dengan ragam yang luas.
Pada saatnya nanti film animasi tidak lagi semata dibuat sebagai tontonan anak-anak, melainkan juga untuk publik dari segala usia. Untuk itu sekarang ini komitmen dan kepedulian semua pihak ditantang untuk bisa lebih memberikan ruang hidup pada film-film animasi tradisi yang syarat akan nilai humaniora ini untuk bisa merambah ke semua kalangan agar seni tradisi tetap survive di tengah gempuran globalisasi. Kalau tidak kita yang peduli lantas siapa lagi? Sebuah ekspektasi yang tentunya tidak berlebihan.
Kontribusi semua kalangan sangatlah dibutuhkan agar komunitas negeri ini dapat menjadikan nilai seni tradisi sebagai pijakan dalam meniti ruang kehidupan yang normatif melalui berbagai media termasuk film animasi ini.
Animasi merupakan salah satu media yang diminati masyarakat. Oleh karenanya, sangat relevan apabila media animasi dijadikan sebagai salah satu media pelestarian budaya secara berkelanjutan.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar