Kepemimpinan Berbasis Nilai Kultural

Dilihat 692 kali
Sri Rama memberikan ajaran Hasta Brata kepada Bharata ketika akan menduduki tahta Kerajaan Ayodyapala. Suatu ajaran kepemimpinan sarat nilai moral dan kultural yang masih aktual diimplementasikan sampai saat ini hingga kepemimpinan masa depan. Ft- kbk.com

AJANG kontestasi demokrasi yang akan berlangsung pada bulan Februari 2024, bangsa Indonesia akan memilih pemimpin yang diharapkan dapat menahkodai perjalanan bangsa  ini dalam proses perjalanananya. Suatu momentum yang sangat menentukan, dengan harapan pemimpin nasional yang terpilih nantinya dapat melanjutkan tongkat estafet kepememimpinan sebelumnya, sehingga kontinuitasnya tidak terputus di tengah jalan.

Pada dasarnya kepemimpinan dalam suatu kekuasasan perlu memberikan manfaat kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kekuasan oleh para pemimpim harus dipakai untuk memberikan kesejahteraan umum (bonum publicum). Untuk itulah tidak semua orang berhasil ketika diberi kekuasaan. Bahkan seringkali kekuasan itu hanya dinikmati  untuk kepentingannya sendiri. Dengan kekuasaan itu banyak orang yang lupa diri dan merasa menjadi orang yang tak tertandingi.

Oleh karena itu, pemimpin masa depan, kiranya perlu juga memaknai kepememimpinan berbasis nilai-nili kultural budaya yang mendasari kebijakannya. Dalam tataran praksisnya, pola pikir dan pola tindakannya perlu dikorelasikan dengan makna dan hakikat budaya bangsa Indonesia yang sudah mengakar berabab-abad. Dengan memaknai perspektif nilai kultural tersebut, akan menjadikan suatu refleksi dan melihat jati diri bangsa Indonesia secara lebih komprehensif dalam menyongsong masa depan yang penuh dinamika.

Sifat Kepemimpinan

Salah satu alternatif untuk mengemban pemimpin berbasis nilai kultural yang mengakomodasi semua kepentingan hendaknya para pengambil kebijakan perlu memegang sifat kepemimpinan yang dikenal dengan Hasta Brata. Hasta mengandung pengertian delapan. Brata artinya perilaku atau sifat. Sifat kepemimpinan ini dilakukan ketika Sri Rama mengangkat Bharata menjadi raja di Ayodyapala dalam epos Ramayana karya Valmiki yang sangat melegenda. Kedelapan sifat kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Sifat Matahari (Mahambeg Mring Surya). Makna seorang pemimpin bersifat seperti matahari adalah agar setiap pemimpin perlu mampu memberi motivasi, spirit, daya hidup, dan memberi kekuatan kepada seluruh anak buah yang dipimpinnya.

Kedua, Sifat Bulan (Mahambeg Mring Candra). Bila diamati bulan itu bentuknya bulat indah dan menarik hati siapa saja yang melihat. Seorang pemimpin perlu memiliki sifat bulan,  dengan maksud agar setiap pemimpin perlu dapat menyenangkan, menarik hati dan memberi terang dalam kegelapan kepada semua anak buah yang dipimpinnya.

Ketiga, Sifat Bintang (Mahambeg Mring Kartika). Bintang mempunyai bentuk yang sangat eksotis dan menjadi hiasan langit di waktu malam serta  dapat menjadi petunjuk arah (kompas) bagi mereka yang kehilangan arah. Jadi seorang pemimpin perlu dapat berfungsi seperti bintang, maksudnya bahwa seorang pemimpin dapat memberi petunjuk, memberi arahan, dan bimbingan agar anak buahnya mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bintang sebagai lambang bahwa semua orang harus senantiasa ingat pada Tuhan. Oleh karena itu seorang pemimpin harus bertaqwa kepada Tuhan Sang Pemberi Hidup.

Keempat, Sifat Angin (Mahambeg Mring Maruta). Seperti diketahui angin mempunyai sifat dapat mengisi setiap ruangan yang kosong walaupun di ruangan yang kecil sekalipun. Seorang pemimpin perlu dapat berfungsi seperti angin, maksudnya agar setiap pemimpin dapat bertindak dengan cermat dan teliti serta tidak segan-segan terjun langsung ke masyarakat agar mengetahui kondisi yang sebenarnya. Sebagaimana angin segar, seorang pemimpin harus mampu membawa suasana yang menyenangkan.

Kelima, Sifat Api (Mahambeg Mring Agni). Bila diamati api sifatnya dapat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya dan tegas. Jadi seorang pemimpin perlu memiliki kababilitas bertindak seperti api artinya harus tegas dan adil tanpa pandang bulu. Di samping tegas seorang pemimipin perlu mempunyai prinsip yang konsisten serta dapat menahan emosi  atau mengendalikan diri.

Keenam, Sifat Air (Mahambeg Mring Warih). Seorang pemimpin perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan siapapun termasuk pengikutnya (adaptif). Air selalu mengalir ke bawah, artinya pemimpin perlu memperhatikan potensi, kebutuhan dan kepentingan pengikutnya, bukan mengikuti kebutuhan atasannya. Pemimpin juga harus menjadi sosok yang membuka mata dan pikiran secara luas. Seorang pemimpin perlu bersedia menerima pendapat dari bawahan dan memikirkan baik-baik semua pendapat yang ada.

Ketujuh, Sifat Samudra (Mahambeg Mring Samudra). Bentangan samudra luas dapat menampung apa saja yang akan masuk ke dalamnya. Di samping itu sifatnya juga rata. Jadi seorang pemimpin perlu berfungsi seperti samudra yaitu mempunyai pandangan luas, merata, sanggup, mampu menerima berbagai macam persoalan serta tidak boleh pilih kasih dan membenci  terhadap golongan apa pun. Di samping itu seorang pemimpin  perlu mimiliki  jiwa besar, yaitu mau memaafkan kesalahan orang lain.

Kedelapan, Sifat bumi (Mahambeg Mring Kisma). Bumi mempunyai sifat teguh atau sentosa dan apa yang ditanam di bumi akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat  untuk kehidupan. Kiranya seorang pemimpin harus dapat bersifat seperti bumi yaitu berteguh hati dan selalu mampu memberi anugrah terhadap siapa saja yang berjasa terhadap nusa dan bangsa.

Pegangan normatif

Dengan memahami dan mengaplikasikan ajaran Hasta Brata tersebut, paling tidak dapat sebagai media kontrol diri para pemimpin dalam menjalankan kinerjanya. Rasanya juga masih relevan beberapa ungkapan Jawa seperti sabda pandhita ratu dan berbudi bawalaksana untuk menjadi pegangan normatif bagi para pemimpin. Seperti yang ditulis Thomas Wiyasa Bratawijaya dalama bukunya Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa (1997) menjelaskan sabda pandhita ratu mengandung makna apa yang telah diajarkan oleh para pandhita dan diucapkan oleh raja tidak boleh diubah kembali. Makna semiotika  tersebut memberi ajaran bahwa pemimpin harus konsisten, yaitu dapat mengimplementasikan apa yang telah diucapkan.

Kata-kata dan perbuatan harus selaras, tidak perlu ragu-ragu dan tidak terpengaruh oleh perasaan saja. Karena bila seorang pemimpin sudah terpengaruh perasaan maka mudah lupa apa saja  yang telah diucapkan. Sedangkan berbudi bawa laksana mengandung implikasi seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dalam tata nilai, moral, berbudi luhur, dan murah hati. Dalam tataran praksis sifat ini bisa diketahui pada pola tindak para pemimpin yang mempunyai empati atau kepedulian dan senang memberi bantuan pada anak buahnya yang mengalami kesulitan.

Rasanya mewujudkan kepemimpinan berbasis nilai kultural di setiap lini, memang menjadi suatu hal mendesak yang perlu segera diimplementasikan. Sebagaimana ajaran Tri Sakti yang digagas Presiden RI pertama Sukarno, salah satu di antaranya menegaskan bahwa berkepribadian dalam berkebudayaan harus menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia di tengah percaturan dunia.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar