Kreativitas Perempuan Berkesenian

Dilihat 2710 kali
Nirmala Candrawati, dari Sanggar Nirwana Panca Arga 3 Mertoyudan Magelang menciptakan Tari Muhasabah. Sosok koreografer perempuan dari Kabupaten Magelang yang karya tarinya sudah taraf nasional

Berbicara mengenai perempuan secara lahiriah bila dikomparasikan dengan keadaan laki-laki, maka eksistensi sosok perempuan dapat divisualisasikan bahwa penampilan mereka lembut, gemulai, feminin, dan sensitif. Keadaan perbedaan biologis ini telah memberikan pandangan tertentu tentang kedudukan seorang perempuan dalam aktivitasnya pada bidang tertentu.


Dalam konteks seni pertunjukan yang menyajikan berbagai aspek, baik itu seni tari, musik, teater, dan sebagainya peran perempuan bisa dikatakan menonjol dalam ranah seni tersebut. Bisa juga dikatakan, sosok perempuan merupakan pelaku seni. Sedangkan seni pertunjukan merupakan wadah yang sekaligus merupakan lingkup aktivitas para pelaku berolah seni.


Sejak zaman feodal sampai sekarang, realitanya perempuan itu sering dipuja bagai bulan bersinar, juga disanjung bagai sekuntum bunga, gemulai saat menari bagai para hapsari dari kahyangan. Realita ini tidak berhenti hanya pada zaman kedewataan yang mendudukkan perempuan sebagai semiotika estetis, namun sampai saat ini masih abadi dan tak akan lekang dalam pusaran waktu.


Pencitraan Perempuan


Di masa lalu, pencitraan perempuan diberikan kaum laki-laki, tepatnya oleh sistem kultur patriarki, yaitu sistem yang mengedepankan laki-laki sebagai penguasa dan penentu semua kebijakan. Termasuk penguasa menentukan segala hal, diantaranya menguasai perempuan untuk segala bidang.


Dalam proses perjalanan waktu, posisi perempuan dalam seni pertunjukan semisal seni tari memegang posisi strategis, seperti penari tayub, ronggeng, jaipongan, dan lain-lain. Eksistensinya selalu tersanjung atas prestasi dan daya tarik mereka dalam menunjukkan ekspresinya saat pentas.


Kondisi alamiah yang merupakan wujud kodrati itu menjadikan kondisi kultural. Bahkan perempuan dikedepankan sebagai sebuah pendukung prestisius dari jabatan, kekayaan, dan juga kekuasaan. Tidak hanya para penguasa di muka bumi saja yang tertarik pada eksotika perempuan, namun menurut legenda disebutkan bahwa para dewa dalam mitologi Hindu juga mengagumi para bidadari-bidadari yang menari dengan gemulai penuh aura, seperti Bidadari Supraba, Dersanala, Wilutama, dan sebagainya. Kondisi demikian itu menjadi sorotan dari gerakan feminisme strukturalis, dengan tujuan  perempuan dapat didorong untuk lebih progresif,yang pada akhirnya dapat memunculkan gerakan gender yang kini senantiasa aktual untuk diwacanakan.


Pada banyak jenis kesenian tradisional, perempuan masih semata-mata ditempatkan sebagai daya tarik utama (center of interest) agar mata penonton terpikat atau bahkan terlibat dalam pertunjukan itu. Lengger di Banyumas, tayub di Blora,Gandrung dari Banyuwangi,dan lain-lain adalah beberapa contoh kesenian tradisional yang memosisikan perempuan sebagai obyek pemikat perhatian komunitas penonton (Endang Caturwati,  2009).


Peran Perempuan


Namun saat ini, secara faktual bisa dicermati, bahwa peran perempuan dalam jagat kesenian secara kuantitatif menunjukkan posisi dominan. Berbagai sanggar seni, sebagian besar murid dan pimpinannya adalah perempuan. Demikian juga pada berbagai bentuk seni pertunjukan, baik yang berasal dari lingkungan istana maupun rakyat, perempuan masih menunjukan peran signifikan. Tari bedaya, srimpi, golek, dan lain-lain yang ada di keraton Yogya atau Surakarta adalah repertoar khusus ditarikan oleh perempuan.


Sebaliknya, di lingkungan seni rakyat belakangan ini muncul fenomena di mana peran tertentu yang dulu dimainkan oleh laki-laki, sekarang justru banyak diperankan oleh perempuan. Diantaranya Soreng dari lereng Merbabu Magelang, Wayang Topeng dari Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor Dukun Magelang, Lengger di Banyumas, Dolalak di Purworejo, dan berbagai jenis kesenian rakyat lainnya yang tumbuh dan berkembang di beberapa daerah.

 

Bila ditelisik lebih jauh, Kabupaten Magelang banyak memiliki potensi sumber daya perempuan yang patut dibanggakan. Sebut saja Dr.Dra.Wenti Nuryani, M.Pd., dari Dusun Tambakan, Desa Sedayu, Muntilan, Kabupaten Magelang. Di samping seorang akademisi Dosen Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta, beberapa karya koreografinya sudah diperhitungkan di ranah publik. Seperti koreografi bertajuk Sumur, Dapur, dan Kasur (2009) yang didedikasikan untuk para perempuan agar tidak gampang putus asa.


Ada juga Nirmala Candrawati, S.Sn.,Ketua Sanggar Nirwana Panca Arga 3 Mertoyudan Kabupaten Magelang yang sudah malang melintang dalam berkarya. Salah satunya menciptakan Tari Muhasabah (2021) yang dipentaskan dalam Gelar Mutiara Jawa di Taman Budaya Surakarta. Tari ini mengisahkan upaya manusia untuk selalu introspeksi diri selama menjalani kehidupannya. Di samping itu, alumni ISI Yogyakarta jurusan seni tari tersebut telah menciptakan puluhan tari tunggal dan kelompok sebagai wujud konkret proses kreatifnya.


Dua sosok perempuan tersebut paling tidak sudah mewakili dari para kreator seni lainnya dari Kabupaten Magelang. Bukti konkret tersebut menunjukkan bahwa proses kreatif berkesenian sudah tidak ada batas atau subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki kesempatan sama dalam berkarya.


Dengan demikian kedudukan perempuan dalam berkesenian yang ingin memposisikan kesetaraan gender perlu terus diperjuangkan. Tentunya ada kiat dari semua pihak yang menguatkan bahwa citra perempuan dalam ranah seni adalah wujud dari komitmen mereka akan revitalisasi seni yang selalu berjalan dinamis.  


Terlebih sekarang ini, kita hidup di era digital, maka perjuangan perempuan semakin kompleks. Kehidupan sekarang ini dikelilingi dalam kompleksitas media. Konsekuensinya tidak hanya mampu membaca, namun perlu memahami sampai kedalaman substansinya, agar perempuan bisa membekali dirinya dengan pengetahuan yang bermanfaat dari semua aspek termasuk dalam berkesenian.


Selamat Hari Kartini 2022.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar