Tahapan Pemilu 2024 tak terasa sudah sampai pada pendaftaran Bakal Calon Legislatif (Bacaleg), untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Tak heran, kini Parpol peserta Pemilu 2024 telah bersiap-siap mendaftarkan Bacalegnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut tahapan, pendaftaran Bacaleg sesuai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Kegiatan Pemilu 2024, dibuka mulai 1 Mei 2023 hingga selama 14 hari ke depan, atau hingga 14 Mei 2023.
Namun ada yang menarik dalam pendaftaran Bacaleg untuk Pemilu 2024 maupun Pemilu-Pemilu pasca Reformasi, yaitu setiap Partai Politik, harus menyertakan keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar Bacalegnya. Pertanyaan penulis selanjutnya, penyertaan 30 persen perempuan itu apakah kewajiban, tuntutan atau hanya sekedar formalitas semata?
Sebelumnya, menurut data tingkat proporsi perempuan di 193 negara di dunia yang dibuat oleh Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 105 dengan 21,5 persen perempuan di parlemen. Rwanda justru berada di peringkat teratas di mana jumlah perempuan yang menduduki parlemen mencapai 61,3 persen. Disusul Kuba dengan 53,4 persen, Nikaragua dengan 50,6 persen, serta Meksiko dan Uni Emirat Arab masing-masing 50 persen. IPU adalah suatu organisasi yang mewadahi parlemen atau badan legislatif di seluruh dunia untuk memberdayakan parlemen dan anggota-anggotanya, mendorong perdamaian, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan.
Sebenarnya sejak 2008, di Indonesia sudah ada kebijakan afirmasi atau kuota 30 persen untuk perempuan di Parlemen itu, tapi hingga saat ini representasi perempuan di DPR RI periode 2019 - 2024 saja, hanya 21,5 persen atau berarti hanya 121 dari 576 kursi di DPR. Dari data sebelumnya, pada Pemilu 2009 sampai dengan Pemilu 2019, terjadi tren peningkatan angka pencalonan perempuan. Pada Pemilu 2009, terdapat 31,8% perempuan yang terdaftar sebagai calon anggota DPR. Kemudian, meningkat pada Pemilu 2014 dari 12 partai politik peserta pemilu terdapat 2.061 orang atau 37,4%. Sedangkan di Pemilu 2019, tercatat sebanyak 3.200 orang atau 40% dari total keseluruhan calon anggota DPR adalah perempuan, namun yang berhasil terpilih hanya ada 121 orang dari 576 kursi atau 21,5 persen.
Untuk diketahui, sesuai regulasi mengenai dokumen persyaratan pendaftaran caleg, diatur dalam Surat Pengumuman KPU Nomor 19/PL.01.4-PU/05/2023 tentang Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR untuk Pemilu Serentak Tahun 2024. Surat itu ditandatangani Ketua KPU RI Hasyim Asyari pada 24 April 2023. Beberapa dokumen persyaratan yang harus dilengkapi partai politik untuk mendaftarkan anggotanya sebagai caleg Pemilu 2024 dapat diunduh pada laman https://silon.kpu.go.id.
Kembali soal kuota perempuan untuk Bacaleg di Pemilu 2024, menurut penulis, aturan ini masih sebatas untuk memenuhi regulasi saja (formalitas). Kenapa bisa terjadi, karena tidak ada sanksi tegas yang diatur dalam UU, sehingga setiap Parpol menjadi takut. Kalau misalnya dalam UU itu, parpol yang tidak bisa memenuhi kuota 30 % perempuan akan dikenai sanksi tidak bisa ikut jadi peserta pemilu misalnya, dipastikan akan banyak parpol berlomba-lomba memenuhinya. Dan kenyataannya, hal itu belum diatur dan tertulis. Dan realitas yang terjadi, meski hanya sebatas formalitas, tidak semua parpol dapat memenuhi kuota tersebut. Jangankan 30 persen, untuk bisa mencapai 10 atau 20 persen saja sangat sulit. Bahkan terkadang, beberapa parpol menyertakan bacaleg perempuan asal "comot" tanpa ada mekanisme pendampingan, pembekalan, pelatihan atau pengkaderan. Ironis memang, namun seperti itulah realita yang terjadi.
Menurut penulis, sebenarnya upaya pemerintah untuk menempatkan perempuan dalam dunia politik di negara ini sudah sangat bagus. Namun implementasinya masih hanya sekedar formalitas. Masih sebatas hanya untuk memenuhi proses dan mekanisme saja, tapi masih sedikit yang dilibatkan sedari awal dalam setiap prosesnya. Misalnya, dilibatkan dan mendudukan perempuan dalam struktural partai dan organisasi atau lembaga/institusi lain. Atau diberikannya kepercayaan pada jabatan-jabatan politik dan di pemerintahan. Padahal jika mereka dipercaya, penulis yakin banyak perempuan-perempuan hebat yang memiliki kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan serta wawasan yang bagus. Namun yang terjadi saat ini, belum banyak yang memberinya kepercayaan. Kalau pun ada, masih sekedar sebagai pelengkap atau formalitas untuk memenuhi regulasi saja.
(Oleh: Yohanes Bagyo Harsono, ST - Ketua PWI Kabupaten Magelang 2017 - 2021 dan 2021 - 2024)
0 Komentar