Bulan puasa atau Ramadan 1443 Hijriah telah tiba. Kaum muslim dimanapun sudah pasti menunggu hari yang penuh suka cita ini. Pasalnya, bulan puasa atau pasa diyakini sebagai bulan penuh berkah, sekaligus memiliki keistimewaan tersendiri. Juga lantaran filosofi luhur tradisi orang Jawa yang menyatakan puasa sebagai sarana menggembleng jiwa, raga, mempertajam rasa batin, olahrasa, serta menyucikan hati dan pikiran.
Ramadan adalah bulan yang penuh dengan pendidikan, kepedulian sosial dan bulan yang penuh dengan kepekaan diri seorang hamba atas intruksi Allah Swt. Ramadan juga identik dengan puasa dan merupakan jargon utama dari aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan oleh seorang hamba Allah Swt. Oleh karena itu, puasa akan memberikan pendidikan, kepedulian sosial, dan jalan menuju kedekatan diri seorang hamba kepada Allah Swt, melalui kepekaannya dalam menghubungkan makna ibadah yang telah dilakukannya dengan kondisi perbuatan individu dan sosialnya sehari-hari.
Dalam Serat Wedhatama, sebuah karya sastra yang konon berisikan rahasia spiritual tingkat tinggi raja-raja Mataram, yang ditulis KGPAA Sri Mangkunegara IV mengisyaratkan hal tersebut. Pada bait pertama pupuh 33, diantaranya ditulis secara jelas, bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Artinya, ilmu itu baru bermanfaat atau ada manfaatnya bila telah dilaksanakan.
Dalam pandangan keilmuan, laku (pola tindak) yang dimaksud bisa juga berarti proses spiritual. Dalam hal ini puasa itu sendiri banyak dianggap sebagai bagian dari laku atau lelaku dalam rangka mendapatkan aji jaya kawijayan, kanuragan (ilmu kesaktian lahir dan batin), pencapaian harapan, dan sebagainya.
Puasa dalam Kakawin
Berdasarkan makna harfiahnya, puasa diyakini sebagai cara pengendalian dari segala nafsu, bentuk penyucian, sekaligus sarana mendekatkan diri kepada Sang Hakikat Tertinggi. Bentuknya bisa dengan tidak makan-minum, tak melakukan hubungan seksual, atau dengan melakukan tapa. Puasa dilakukan untuk mencapai tujuan yang sifatnya sangat suci.
Pada zaman Jawa Kuno puasa juga sudah menjadi tindakan yang membudaya dan melekat erat dengan kehidupan komunitasnya. Momentum puasa tersebut banyak ditulis para pujangga dalam bentuk kakawin. Adapun kakawin merupakan puisi yang dibuat atau disusun dengan menggunankan bahasa Jawa Kuno.
Banyak kakawin di era Jawa Kuno yang menggambarkan konsep pengendalian diri atau pengekangan agar bisa manunggal (menyatu) dengan Tuhan. Kakawin yang paling populer adalah Arjunawiwaha, yang diubah Mpu Kanwa pada 1028-1035. Teks ini merupakan tonggak awal sastra kakawin Jawa Kuno. Syair yang lahir pada masa Raja Airlangga tersebut mengisahkan Arjuna dalam mencari anugrah dari Sang Pencipta (Zoetmulder, 1983).
Untuk mendapatkan anugerah itu Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila. Dalam bertapanya ia dihadapkan banyak ujian. Godaan hawa nafsu yang disimbolkan oleh para bidadari cantik. Ujian melepaskan keduniawian yang digambarkan dalam perbincangan falsafi dengan Batara Indra. Cobaan melawan keserakahan diri yang disiratkan dalam pertarungan dengan binatang buas. Uji mental dalam melawan rasa iri dan dengki yang dikisahkan melalui pertarungan ular berkepala dua. Pengekangan rasa amarah dalam diri yang dilambangkan dengan pertempuran melawan raksasa.
Seorang kawi atau penyusun kakawin memulai proses kreatif menulisnya (yoga sastra) dengan melakukan puja kepada Istadewata yang digambarkan sebagai dewa keindahan. Puja itu tergambar dalam manggala atau bait-bait pembuka kakawin. Selama melakukan yoga sastra seorang kawi mengatasi segala nafsu dan godaan duniawi dengan berpuasa dan bertapa. Batin seorang pujanggga harus berkonsentrasi hingga hatinya dipenuhi gambaran murni sebagai wujud persembahan kepada Sang Pencipta. Setelah kesadaran diri mulai hilang, seluruh pribadinya terserap oleh Sang Penguasa Alam. Titik inilah yang disebut sebagai samadhi.
Praktik yang sama dalam Islam dikenal sebagai suluk (pelakunya disebut salik), upaya hamba untuk menjadi pribadi sempurna (insan al-kamil) di hadapan Allah SWT. Praktik ini lazim dilakukan penganut tarekat. Seorang salik melakukan berbagai bentuk ibadah, seperti puasa, memperbanyak zikir, atau metode lain yang diarahkan mursyid, dengan tujuan untuk menyucikan diri hingga akhirnya bisa tersingkap hijab antara dirinya dan Yang Maha Tunggal. Tahapannya kurang lebih sama dengan yoga: membersihkan jiwa (takhalli), memperindah diri (tahalli), dan menghadirkan Allah Azza Wajalla dalam setiap tarikan napas dan aktivitas atau tajalli (https://gusdurian.net).
Menahan Diri
Saat puasa, kita merasakan keadaan dimana harus menunda keinginan untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan, seperti makan, minum, gosip, mengumpat, atau ekspresi marah lainnya. Proses menahan diri itu pun dapat menyebabkan munculnya perasaan kesal, stres, atau tidak sabar.
Akan tetapi, puasa melatih kita untuk mengendalikan keadaan tersebut dengan lebih baik dan membuatnya menjadi hal yang biasa. Kita tidak semudah itu untuk mengekspresikan amarah, tidak semudah itu untuk langsung mengonsumsi makanan atau minuman yang diinginkan.
Ketika berhasil menahan diri, ada beberapa pengaruh baik yang dapat kita rasakan antara lain, lebih menghargai diri, lebih mensyukuri keadaan, menikmati kesenangan secara sederhana, mengurangi perasaan berasalah dan meningkatkan kemampuan mengendalikan emosi.
Dengan demikian hakikat puasa yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Jawa Kuno tersebut memiliki makna yang sangat komprehensif. Sebagai wujud kebudayaan perilaku kehidupan manusia, budaya puasa dapat menjadikan refleksi untuk dapat mengekang diri dari segala keinginan duniawi. Di samping itu, juga dapat menjadikan manusia untuk ikhlas menerima kenyataan hidupnya, kedamaian hati, juga mendalami fitrahnya sebagai makhluk sosial.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar