Melatih Kemandirian Anak dalam Keluarga

Dilihat 38 kali

Di zaman yang serba cepat perubahannya ini, semua orang seperti berlomba meningkatkan taraf hidupnya. Suami istri sibuk bekerja, sedang anak ditinggal bersama pengasuh di rumah. Anak selalu dilayani pengasuh ketika mandi, makan, berpakaian, mengerjakan tugas dari sekolah, bahkan berbagai hal sepele lainnya. Benarkah semua itu menjadikan anak tidak mandiri?


Ketidakmandirian seorang anak baru akan dirasakan orang tua manakala pengasuhnya terpaksa libur melayani, misalnya karena mudik saat lebaran. Kalau sudah begitu, biasanya orang tua hanya bisa mengeluh, mengapa anaknya harus serba dibantu untuk mengurus dirinya sendiri.


Ketidakmandirian memang ditandai dengan ketidakmampuan anak untuk mengurus dirinya sendiri (ketidakmandirian fisik). Namun, bisa berwujud ketidakmampuan anak untuk membuat keputusan (ketidakmandirian psikologis). Akibatnya, ia sering jadi merepotkan, juga mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ketidakmampuan membuat keputusan juga membuatnya jadi kurang percaya diri, ia tampak cenderung bergantung pada orang lain. Tak heran bila ia terkesan mudah dipengaruhi karena sering ragu untuk memutuskan.


Dari hubungan sebab-akibat tersebut, kasat mata benar betapa kemandirian berperan penting untuk membangun rasa percaya diri dan harga diri. Selanjutnya, kedua hal tersebut berdampak pada kemampuan bersosialisasi, hasrat berprestasi, dan daya saing anak di masa depan.


Pengaruh bawaan dan lingkungan


Sebenarnya kemandirian anak salah satunya ditentukan oleh faktor bawaan. Biasanya seorang ibu mandiri akan melahirkan anak mandiri, sedangkan anak tidak mandiri berasal dari ibu tidak mandiri. Artinya, ada anak berpembawaan memang mandiri, ada juga yang memang suka dan menikmati jika dibantu oleh orang lain.


Sedangkan faktor yang berpengaruh lainnya adalah lingkungan, terutama lingkungan terdekat, yakni keluarga. Seorang anak yang menurut segi bawaannya mandiri, kalau dibiasakan selalu dibantu dan dilayani oleh keluarganya maka dapat saja berubah menjadi tidak mandiri.


Namun, orang tua yang selalu membantu anaknya umumnya bukan tanpa pertimbangan. Seorang anak yang lahir dengan kondisi fisik lemah akan lebih sering dibantu dibandingkan dengan anak yang lahir sehat. Tindakan serupa akan dilakukan pada anak kurang cerdas atau terkena penyakit bawaan seperti penyakit asma atau jantung.


Belajar untuk mandiri


Pada usia 1-3 tahun anak mulai belajar untuk mandiri. Pada rentang usia ini, anak sudah dapat membuat alternatif pilihan. Pada saat menginginkan sesuatu, ia akan berusaha mengendalikan diri guna mencapai keinginannya tersebut. Namun, anak yang tidak bisa mandiri pada rentang waktu ini, akan tumbuh menjadi pemalu dan tidak percaya diri.


Rupanya demikian penting pembelajaran tentang kemandirian pada kurun usia tersebut. Artinya, orang tua harus memanfaatkan masa batita (bawah tiga tahun) sebaik mungkin dengan melatih anak untuk membuat keputusan sendiri. Tujuannya tak lain agar ia terbiasa berpikir kritis.


Pada kesempatan belajar pertama, mungkin anak akan sulit melakukannya. Di sinilah orang tua berperan. Caranya dengan memberikan latihan berbentuk alternatif pilihan. Contoh, anak biasanya akan kesulitan untuk memilih pakaian dari sekian banyak yang dimilikinya di lemari. Maka lebih baik apabila orang tua sudah menentukan tiga pakaian, lalu biarlah anak memilih dari hanya tiga pilihan yang ada.


Latihan mengambil keputusan membuat anak belajar bertanggung jawab. Hal itu membuatnya merasa kompeten untuk memilih sehingga ia merasa percaya diri.


Menegur dengan sabar


Namanya juga anak-anak, sekali-sekali bisa saja mereka membangkang. Satu kata sebagai kunci utamanya yakni sabar dan tidak melakukan pemaksaan. Selanjutnya, jalin komunikasi yang membuat anak tidak merasa dipaksa jadi mandiri.


Dengan air muka ramah, ucapkan kalimat dengan lembut dan gunakan kata-kata membujuk. Tentu saja semua itu disesuaikan dengan tingkat usia dan kondisi fisik anak.


Sayangnya pada waktu tertentu bujukan pun tidak mempan untuk mengingatkan anak melaksanakan tugasnya. Anak-anak justru lebih memilih untuk asyik bermain. Lalu bagaimana?


Selain sabar, orang tua tidak kemudian membiarkan dirinya atau orang lain mengambil alih mengerjakan tugas si anak. Begitu anak bosan dengan permainannya, ia dapat diingatkan kembali untuk menyelesaikan tugasnya. Bahkan kalau ia juga masih menolak, latihan bisa dilanjutkan lain kali. Sabar bukan berarti tidak melakukan teguran sama sekali. Teguran perlu disampaikan bila anak keliru mengerjakan tugasnya. Tentunya teguran tersebut tidak bernada marah, apalagi dengan membentak-bentak. Tetapi lebih berupa penggunaan kalimat-kalimat yang membesarkan hati anak.


Pada sisi sebaliknya, yakni bila anak mau dan berhasil melakukan tugasnya tak ada salahnya ia mendapatkan hadiah (reward). Tujuannya tak lain agar ia lebih termotivasi dalam berlatih.


Reward bisa berupa perkataan seperti pujian, pelukan atau ciuman, yang membuat anak merasa senang. Perkataan seperti itu juga akan membuat anak lebih percaya diri dan akhirnya anak akan menjadi mandiri. Semoga.


Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar