Membangun Mentalitas Budaya Melalui Pendidikan

Dilihat 2620 kali
ilusrtrasi : https://www.freepik.com/vectors/education

Oleh : P. Budi Winarto, S.Pd *)


Pendidikan tak hanya berbicara tentang mengejar ketertinggalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tetapi yang semestinya petama-tama dibicarakan dalam dunia pendidikan adalah bagaimana menciptakan dan mengembangkan mentalitas budaya yang humanis dan demokratis sehingga dapat tumbuh manusia-manusia Indonesia yang mempunyai persepsi dan kesadaran tentang keadilan dan kemanusiaan sebagai norma dasar kebudayaan bangsa.

Untuk sebuah character building seperti itu sudah semestinya disiapkan secara bertahap dan sistematis suatu konsep pendidikan yang akan membentuk anak didik/manusia yang selain mempunyai kemampuan intelektual tinggi juga memiliki budaya kritis. Dengan begitu kemampuan intelektual mampu bertindak sebagai kontrol dari kebenaran yang sering hanya semata-mata dilegitimasi oleh kekuasaan.

Pendidikan kita saat ini masih terlalu berorientasi pada hal-hal yang bersifat pragmatis. Meskipun berbagai regulasi yang telah dibuat telah memberikan amanat yang sangat ideal, namun pola-pola pendidikan secara principal masih mangacu pada hegemoni kekuasaan politik maupun ekonomi yang bersifat indoktriner. Akibatnya kepentingan pendidikan sering ditumpangi secara semena-mena oleh kepentingan-kepentingan yang sebenarnya di luar kepentingan pendidikan itu sendiri.

Sungguh suatu hal yang sangat ironis, di bawah naungan konstitusi yang mengharuskan proses pencerdasan bangsa dan terjadinya demokratisasi pendidikan, ternyata pendidikan kita masih sering menjadi korban monopoli kebenaran ideologis bahkan empiris. Sehingga proses pendidikan sosial, politik, dan budaya yang sedang berlangsung masih sebatas mereduksi anggota masyarakat untuk semata-mata memperkuat sistem yang sudah ada tanpa diimbangi sikap kritis dan selektif.

Selama ini pendidikan kita secara praktis menerapkan tiga konsep pembelajaran yakni read (membaca), write (menulis), dan aritmethic (menghitung). Namun tiga konsep pembelajaran ini belum mampu mencapai sasaran atau target. Mestinya dalam konsep membaca dan menulis dapat dicapai tataran masyarakat pembaca, suatu tataran di mana budaya membaca menjadi suatu tradisi di segala lapisan masyarakat. Selanjutnya budaya ini mampu membentuk budaya berpikir di masyarakat kita.

Selama ini konsep membaca dan menulis masih sebatas pada hal-hal yang bersifat pragmatis dan kuantitatif, hanya berhenti pada sasaran bebas buta aksara. Akibatnya kondisi anak didik/masyarakat masih tetap berada pada tataran budaya oral (lisan). Sedangkan di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak pernah berhenti. Budaya oral itu sendiri di masyarakat tidak saja berupa oral primer, tetapi oral sekunder. Menjamurnya kegandrungan akan media sosial (medsos) serta bentuk-bentuk budaya popular (budaya massa) lainnya merupakan contoh nyata dari budaya oral sekunder. Hal ini apabila tak diimbangi dengan kematangan intelektual dan spiritual akan menyebabkan degradasi moral, terutama di kalangan generasi muda.

Tiga konsep pembelajaran di atas selain harus dipertajam dan dipertegas sasarannya, agar lebih sempurna perlu ditambahkan tiga konsep pembelajaran lain yakni art (seni) gymnastic (olah raga), dan humanistic (religi, etika/budi pekerti, dan kemanusiaan).

Pendidikan seni dibutuhkan untuk menumbuhkan kepekaan emosi, kehaluan rasa, daya nalar dan tenggang rasa. Selama ini di sekolah-sekolah umum baik SMP maupun SMA/SMK, pelajaran seni hadir tak lebih sebagai pelengkap belaka. Pendidikan olah raga perlu ditumbuhkan secara serius sehingga dapat menumbuhkan jiwa  sportivitas dan semangat kompetitif yang jujur dan sehat. Sedangkan pengajaran humanistik akan dapat menumbuhkan kesadaran tentang keadilan dan penghargaan terhadap kemanusiaan, penanaman etika/budi pekerti dan tenggang rasa.

Dengan keenam konsep pembelajaran di atas diharapkan pendidikan kita dapat sampai pada pengembangan integral, dapat melatih perpaduan cara berpikir linier dan lateral. Siswa/masyarakat dapat diajak untuk bersikap realistis menjalani kehidupan yang heterogen. Mesyarakat dapat diajak menghargai kebhinekaan yang saling nelengkapi dan tidak berjalan dalam kekangan yang indoktriner.

Pendidikan juga harus memberikan porsi yang lebih pada pembinaan jiwa eksploratif. Pendidikan kita harus mengubah pendapat yang salah kaprah bahwa tolok ukur anak yang pandai adalah anak yang mampu menjawab semua atau banyak pertanyaan. Justru sebenarnya anak yang pandai adalah anak yang mampu dan berani mengajukan pertanyaan cerdas dari lubuk pribadinya yang diungkapkan dalam bahasa yang baik dan komunikatif. Apabila anak sudah terbiasa bertanya maka ia akan mempunyai semangat untuk mencari, menyelidiki, meneliti, dan berkreasi. Dengan begitu maka perlahan-lahan budaya kritis di masyarakat kita akan terbuka.

Dan yang paling mendasar, perlu ditumbuhkan kesadaran bersama bahwa karena pendidikan berada  pada posisi paling depan dalam pembangunan mental budaya bangsa, sudah sewajarnya bila pendidikan mendapat porsi yang lebih dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Pembangunan yang selama ini dikembangkan terlalu berorientasi kepada pembangunan ekonomi dan fisik.

Karena itu mestinya di Negara kita ini pembangunan bidang ekonomi  dan fisik harus berbagi secara seimbang dengan bidang pendidikan. Membangun manusia memang tak dapat dilihat secara fisik dan serta merta seperti membangun jalan tol, pabrik, maupun jembatan layang. Membangun mental, intelektual, dan kepribadian manusia memiliki kesulitan yang berlipat-lipat dibandingkan dengan pembangunan fisik. Karena itu sebenarnya sesuatu yang teramat wajar dan bisa ditoleransi jika pembangunan bidang pendidikan mendapat perhatian yang lebih dari bidang-bidang yang lain. Semoga.


*) Penulis Guru SMP Pendowo Ngablak

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar