Tidak bisa dinafikan, kehadiran seni pertunjukan, sebagai bagian dari aspek kebudayaan terkait erat dengan konteks kultur komunitasnya. Aktivitas budaya seperti kepercayaan, arisan, gotong royong, mapun siklus pertanian akan mewarnai sifat dan karakter keseniannya. Semua bentuk dan fungsi seni pertunjukannya akan tampak adanya korelasi antara seniman dan komunitasnya. Trikotomi antara seniman, masyarakat penyangga dan adat merupakan tiga pilar penyangga yang hingga kini dipandang cukup efektif untuk mempertahankan dan melangsungkan tradisi seni pertunjukan di daerah, seperti halnya pada aspek seni tari.
Oleh karena itu, kehadiran seni tari sebagai seni pertunjukan tidak hanya dipahami secara parsial atau hanya dipandang dari perspektif kesenian atau senimannya saja, melainkan sangat berkorelasi kuat dengan konteks kulturalnya. Dengan kata lain konteks kultural menjadi ikon terbentuknya ruang publik secara holistik. Dalam dunia seni tari, penulis sedikitnya dapat merekam seiring dengan pengalaman yang pernah penulis jalani sebagai penari.
Sekitar tahun 80-an, atmosfer seni tari di Kabupaten Magelang sudah menggeliat menunjukkan eksistensinya. Fenomena itu ditandai dengan munculnya banyak event-event baik itu dengan penyelenggara pemerintah ataupun swasta yang menyajikan pentas-pentas seni tari. Di samping itu para senimannya pun sangat kreatif dalam menciptakan repertoar tari yang merupakan maskot ciptaannya.
Sebut saja seniman Purwoko dengan karyanya Tari Setia Bakti, Sendratari Ken Arok-Ken Dedes, Begawan Ciptoning. Ibu Samirah dengan karya tari Golek Tidar. Dan juga Alit Maryono dengan karya tarinya Mahisa Jenar-Sima Rodra yang terinpirasi dari karya sastra monumentalnya SH Mintarja. Di samping itu penulis pernah membuat karya tari, seperti Dramatari Dyah Pitaloka, Prasasti Mantyasih, Sugriwo-Subali,Panji Semirang, Candradewa, Kasetyaning Pembayun, Senjakala di Kediri, Gatutkaca Kridha, dan beberapa karya tari lainnya.
Di samping itu, solidaritas antar seniman waktu itu sangat tinggi. Kebersamaan yang tumbuh di wilayah personal dapat merebak luas menjangkau wilayah yang lebih luas. Hal itu dikarenakan para seniman bisa mengendalikan egonya dan masing-masing pribadi bisa menghargai karya sesama seniman.
Relasi Akrab
Relasi akrab tersebut terrajut karena juga peran pemerintah waktu itu yang nota bene pejabat kebudayaannya mau srawung dengan seniman tanpa membedakan satu sama lain. Seperti Kamari yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Magelang mau dan mampu manjing ajur-ajer (terlibat secara intensif) bersama seniman. Beliau rela merogoh kocek pribadi untuk bisa melaksanakan event-event pentas kesenian bersama para seniman baik tua maupun muda.
Masih terekam di ingatan penulis yang kala itu sebagai penari. Melalui tangan beliau para seniman bisa eksis. Berbagai event-event pentas seni sering digelar yang melibatkan multi potensi yang ada di penjuru Magelang. Seperti ketika pembukaan Taman Rekreasi Mendut dan kunjungan beberapa tamu mancanegara di Candi Borobudur pada tahun 1982 para seniman seluruh Magelang bersatu padu membuat karya kolosal bertajuk sendratari Bhumi Sambhara Budhara yang mengisahkan berdirinya Candi Borobudur.
Namun ketika Kamari pensiun sebagai Kasi Kebudayaan Kabupaten Magelang, atmosfer tari di Magelang mulai memudar. Kalau toh ada, itu hanya untuk event-event rutin yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, seperti porseni atau pekan seni. Baru setelah tahun 1990 ketika Sutanto Mendut aktif menggiatkan studionya banyak para seniman yang dapat mengangtualisasikan ekspresi seninya termasuk seni tari. Sebut saja seperti Waskito dan Wenti dengan beberapa karya tarinya seperti Kinari-Kinari dan Vulva Gangga. Juga masih banyak para seniman tari yang menyemarakkan jagad tari di Magelang, seperti Eko Sunyoto, Sitras Anjilin, Lukman Fauzi, Nunung, dan beberapa seniman lainnya yang juga ikut andil di dalamnya secara intens.
Adapun yang kerap dipersoalkan sekarang ini, mereka sepertinya terbuai dengan wilayah personalnya masing-masing. Solidaritas antara seniman untuk menggalang kekuatan demi tetap eksisnya seni tari di Magelang kurang bisa optimal. Mereka seakan sudah puas dengan apa yang mereka capai selama ini. Alangkah idealnya kalau mereka itu bisa bersatu dan membentuk jejaring agar dunia seni budaya di Kabupaten Magelang diperhitungkan sehingga posisi tawarnya tinggi.
Taman Budaya
Bila mereka bisa saiyeg saeka kapti (bersatu dalam satu tekad) merapatkan barisan, tentunya job-job dari luar akan bisa diraih, bukannya malah menjadi penonton di kandang sendiri. Oleh karena itu, seyogyanya para seniman itu bisa mempunyai komitmen yang bulat untuk bisa memberikan kontribusi positif agar seni budaya tetap bisa progress.
Munculnya gagasan dari Komunitas Brayat Panangkaran Borobudur, yang telah dapat membentuk jaringan kerja seniman dengan anggota lebih dari 150 orang kiranya merupakan potensi luar biasa untuk segera melakukan langkah kerja, terutama melegalkan jaringan seniman tersebut dalam bentuk badan hukum yang keberadaannya secara yuridis formal dapat diakui, seperti halnnya sebagai sebuah Taman Budaya.
Dengan terbentuknya Taman Budaya dapat menjadi taman suatu etalase keberlangsungan peradaban kebudayaan, sesuai tugas pokok dan fungsinya merupakan lembaga pelestarian, pembinaan, pengembangan, pemanfatan dan penyebarluasan kebudayaan yang salah satunya adalah bidang kesenian (Taman Budaya Yogyakarta, 2017).
Taman Budaya dapat menjadi ajang seniman berekspresi dalam berbagai cabang seni, baik itu seni pertunjukan, seni rupa, seni media rekam, juga seni sastra. Tentunya terbentuknya Taman Budaya tersebut perlu dilakukan prosedural. Dengan difasilitasi pemerintah baik itu OPD (Organisasi Perangkat Daerah) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga dibantu orgasisasasi budaya, seniman, budayawan, dan beberapa tokoh masyarakat dapat bekerja sama merealisasikan terbentuknya Taman Budaya tersebut.
Adapun manfaat jangka panjangnya, Taman Budaya tersebut dapat menjadi oase para seniman atau guru seni budaya di masing-masing satuan pendidikan (sekolah) untuk mengoptimalkan ekspresinya. Di samping itu, seniman juga dapat merajut ikatan emosional seniman satu sama lain, sehingga jiwa kebersamaan, berkolaborasi, demi kemajuan kebudayaan di Kabupaten Magelang semakin membumi.
Dengan demikian, Taman Budaya tersebut dapat menjadi pemantik dan ajang saling berkreasi, sehingga para seniman dapat menghirup udara jagad kesenian di luar menara gadingnya. Bila hal itu bisa dilakukan, mereka akan dapat terasah. Adanya berbagai gesekan-gesekan konstruktif akan dapat membentuk tekad kemauan yang saling kompetitif.
Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang
0 Komentar