Menulis Menjadi Parameter Keteladanan Guru

Dilihat 1330 kali
Sumber referensi yang relevan dapat menjadi pemantik untuk menuangkan ide melalui tulisan yang tajam, berbobot, dan berimbang

Dalam suatu kesempatan diskusi forum guru, penulis banyak mendapat pertanyan terkait dengan kiat menuangkan gagasan atau ide dalam tulisan agar tulisan tersebut dapat dikonsumsi publik. Penulis berusaha berbagi, bahwa menulis tersebut merupakan faktor pembiasaan yang terus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak mengenal putus asa.


Tak bisa dipungkiri, sampai saat ini komitmen guru untu menulis karya ilmiah baik di media massa ataupun jurnal masih belum menunjukkan hasil signifikan. Simak saja, berbagai opini pendidikan di berbagai media massa masih didominasi oleh dosen atau peneliti di perguruan tinggi. Kalaupun ada rubrik guru, penulisnya hanya sebagian guru yang sering muncul di berbagai media massa alias orangnya hanya itu-itu saja.


Padahal berdasarkan Permenpan RB Nomor 16 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) merupakan salah satu kegiatan yang dirancang untuk mewujudkan terbentuknya guru yang profesional. Unsur kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain memuat aspek publikasi ilmiah.


Proses Menuangkan Ide


Menulis pada dasarnya adalah sebuah aktivitas yang kompleks. Bukan hanya sekadar menggunakan  konstelasi kalimat, tetapi lebih daripada itu, menulis adalah proses menuangkan pikiran dan menyampaikannya kepada publik. Ide yang sudah  tertuang dalam tulisan, kelak memiliki kekuatan untuk menembus ruang dan waktu sehingga eksistensi ide atau gagasan tersebut akan abadi.


Pada dasarnya menulis membutuhkan tiga hal yang saling berkait, yaitu, Pertama, kemauan. Implikasi kemauan adalah dorongan dari dalam hati yang menggerakkan untuk bertindak. Kemauan atau keinginan menulis bisa disebabkan oleh  hal-hal yang berasal dari luar diri, karena ditugasi atau diwajibkan. Kemauan dari dalam diri sendiri bisa berupa  keinginan untuk aktualisasi diri agar diakui, atau agar dikenal oleh masyarakat. Ketika kemauan atau keingainan telah kuat, seseorang sudah dikatakan memiliki modal besar untuk menulis.


Kedua, pengetahuan. Pada prinsipnya pengetahuan merupakan kekayaan mengenai teknik tulis-menulis dan isi tulisan. Pengetahuan menulis seseorang  bisa diciptakan dengan banyak membaca, banyak berdiskusi, banyak melihat, mengamati, dan mendengar.


Ketiga, keterampilan. Pada dasarnya keterampilan menulis adalah penggabungan yang harmonis antara daya otak dan daya tangan. Dengan membiasakan diri untuk terus menulis, dengan sendirinya  kapabilitas menulis akan tergerak dengan baik. Keterampilan adalah aksi nyata seseorang yang mau bertindak dan tahu yang harus dilakukan, dan tahu cara melakukannya.


Berdasarkan kajian pengalaman, seorang penulis yang baik pasti periset yang baik pula. Ia akan terus menerus memperkaya pengetahuan, mendengarkan banyak informasi, mencatat berbagai pengalaman, dan mengelaborasi berbagai temuan. Banyak membaca dan terus menambah wawasan. Dengan demikian, semakin lama semakin peka. Selalu antusias dengan setiap hal yang berkait dengan minatnya, adalah contoh sikap yang  mendukung.


Konsistensi Tulisan


Selama proses menulis, ada baiknya tetap dijaga konsisitensinya, agar tetap tajam, berbobot, dan berimbang. Tulisan tajam merupakan tulisan yang membahas persoalan tanpa berbelit-belit, ditulis dengan sederhana, lugas, tidak menimbulkan multitafsir sehingga pihak-pihak yang dikritik tahu serta para pembaca mampu mencerna dengan baik.


Tulisan berbobot biasanya menimbulkan reaksi dan efek cukup signifikan, mempunyai kekuatan untuk memengaruhi siapapun yang membacanya. Memiliki dampak perubahan dan diperhitungkan oleh pihak-pihak yang dikenai dalam tulisan. Indikatornya adalah adanya tanggapan dari pembaca.


Tulisan berimbang haruslah memberi pencerahan dan berpihak pada kebaikan, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, tulisan harus memperhitungkan pihak-pihak yang dibahas, sehingga tidak menimbulkan konflik atau dampak negatif (St. Kartono, 2009).


Adapun medan perang bagi seorang penulis adalah media yang berupa majalah atau harian. Mempelajari, mengenali, dan memahami karakteristiknya menjadi sangat penting karena berkait dengan tulisan yang akan dititipkan untuk dipublikasikan. Bahkan penting untuk dipahami kebijkan redaksional menyangkut arah opini yang dimunculkan.


Seorang penulis bukanlah bertanding melawan orang lain. Yang perlu ditaklukkan adalah dirinya sendiri yang tidak mampu menyisihkan waktu untuk duduk menulis, yang mudah  putus asa ketika tulisannya ditolak oleh media, yang cepat puas diri dengan satu karya  sehingga lupa untuk menulis lagi, yang menghitung-hitung honorarium kecil pada saat tulisan telah dimuat. Itu semua berupa tantangan yang berasal dari dalam diri.


Dengan demikian walaupun sampai sekarang sudah banyak program baik dari pemerintah maupun  lembaga lain untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menyusun karya tulis, kesemuanya itu tidak ada artinya kalau motivasi tidak tumbuh dari guru sendiri. Dengan motivasi yang kuat dari dalam diri para guru akan melahirkan semangat untuk mulai belajar menulis.


Selain itu apabila guru sudah berhasil menunjukkan bukti konkret tulisannya dapat dipublikasikan akan dapat menjadi parameter keteladanan. Sebagaimana diketahui yang diinginkan peserta didik sekarang adalah bukti konkret dari yang diajarkan gurunya. Bila gurunya mengharuskan peserta didik menulis, tentunya gurunya juga harus sudah mengawali terlebih dahulu. Keteladanan menjadi unsur awal yang dapat memicu lahirnya perilaku berkarakter sebagaimana ingin ditanamkan dalam diri individu sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan.


(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar