Menyikapi Dampak Industri Pariwisata

Dilihat 309 kali
Seni tradisional dapat menjadi ikon industri pariwisata yang potensial. Wayang orang bertajuk Rama Tambak yang dimainkan oleh seniman se-Magelang Raya. Dwi Anugrah sebagai Rahwana dan Nabila sebagai Dewi Sinta.

INDUSTRI pariwisata pasca pandemi Covid-19 sudah mulai menggeliat kembali. Berbagai sektor pariwisata, sejak dua tahun lalu kembali merangkak. Pemerintah bekerjasama dengan pengelola destinasi wisata maupun berbagai komponen bahu membahu untuk menata ulang tata kelola dan juga elaborasinya. Tidak bisa dipungkiri, alasan utama elaborasi pariwisata di Indonesia jelas erat korelasinya dengan peningkatan ekonomi.

Hal ini berdasarkan premis yang cukup mendasar, bahwa usaha dan aktivitas pariwisata tersebut dapat memberi kesempatan berusaha dan meningkatkan lapangan kerja yang luas bagi komunitas setempat. Berkembangnya pariwisata sebagai suatu industri di Indonesia telah menyuburkan usaha-usaha sektor lain yang saling berkaitan, seperti perhotelan, restoran, biro perjalanan, transportasi wisata, dan tak ketinggalan toko cendera mata dengan industri kriyanya.

Dolar yang dibelanjakan wisatawan untuk akomodasi hotel, makan dan minum di restoran, sightseeing atau tour ke objek-objek wisata, serta membeli cendera mata untuk oleh-oleh merupakan penerimaan devisa bagi negara. Pengimbasan lebih jauh, komunitas sekitar destinasi wisata dapat berlomba-lomba menjual barang dagangan kerajinan dan menawarkan berbagai jasa pada wisatawan.

Biasanya para seniman atau pengrajin hanya melayani kebutuhan masyarakat desanya untuk keperluan upacara ritual atau kebutuhan sosial masyarakat di desanya. Namun dengan banyaknya wisatawan yang berdatangan, banyak muncul ide kreatif dari para seniman untuk menghasilkan produk yang akan ditawarkan pada wisatawan. Dalam batas-batas ini, kualitas barang kerajinan yang dihasilkan masih dapat dipertahankan sebagai pencapaian kreativitas seni berkualitas tinggi yang menandakan bahwa respon komunitas termasuk seniman cukup tinggi terhadap kedatangan wisatawan (Chrity Widyawati, 2018).

Tanpa disadari, seiring jalannya waktu, sebagai akibat banyaknya permintaan wisatawan dan elaborasi teknologi, para pengrajin, mulai memenuhi permintaan pedagang atau toko cendera mata untuk memenuhi selera wisatawan. Seperti ketika wisatawan berkunjung ke Candi Borobudur, pada umumnya akan tertarik pada kerajinan yang menunjukkan replika dengan narasi kisah Buddha, seperti Jataka atau Avadana.

Demikian pula dengan seni pertunjukan tradisional. Bila wisatawan datang ke suatu Daerah Destinasi Wisata (DDW), semenjak turun dari pesawat sampai di hotel, makan malam di restoran atau waktu local tour, wisatawan akan disuguhi berbagai macam kesenian sebagai hiburan. Biro perjalanan professional berusaha seoptimal mungkin untuk memuaskan wisatawan. Di sini wisatawan diperlakukan  layaknya sebagai seorang raja. 

Seni Wisata

Sebagaimana diketahui promosi pariwisata Indonesia yang dikirim ke luar negeri cukup berhasil. Setiap penampilan kesenian tersebut selalu mendapat sambutan hangat dengan harapan nantinya dapat mendongkrak kunjungan wisatawan ke Indonesia. Untuk wisatawan yang datang ke Indonesia pertunjukan kesenian biasanya dipersiapkan atas kerjasama antara Biro Perjalanan dengan grup kesenian di masing-masing daerah tujuan wisata.

Dengan frekuensi penyajian yang cukup tinggi, sering konvensi seni yang harusnya diterapkan sering dilanggar oleh para seniman. Lama-kelamaan keutuhan bangunan seni dapat memudar. Seni pertunjukan yang dipentaskan orientasinya hanya mengacu pada selera wisatawan. Misalnya dalam teknik baku tari tradisional perlu ada tahapan maju beksan (awal tari dimulai), inti beksan (tari inti), dan mundur beksan (tari selesai). Namun karena permintaan wisatawan, mereka dimohon hanya menari pada tahapan maju beksan. Kalau fenomena tersebut dibiarkan akan terjadi reduksi kadar seni termasuk bangunan filosofis yang sudah digariskan secara turun turun temurun dari para penciptanya.

Alternatif  Solusi

Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, seni dengan pariwisata ibaratnya bagai pedang bermata dua. Di samping memberikan dampak positif yaitu dapat memberikan kesempatan berusaha, memperluas kesempatan kerja, para seniman dapat mengembangkan proses kreatifnya yang sangat bermanfaat baik dari perspektif internal maupun eksternal.

Sedangan dampak negatifnya, seperti yang dikhawatirkan publik, di antaranya karena derasnya minat wisatawan, maka dalam berkarya, para seniman tidak lagi memperhitungkan idealisme akan karya yang diciptakan, namun hanya berorientasi pada profit yaitu mendapatkan keuntungan finansial besar dalam waktu cepat.

Untuk mereduksi adanya dampak negatif tersebut kiranya, semua pelaku pariwisata mulai dari pengelola, biro perjalanan, komunitas, pemerintah, dan berbagai pihak terkait perlu melakukan terobosan akomodatif agar pengimbasan pariwisata lebih cenderung ke aspek positif. Sedangkan untuk imbas negatif perlu dicarikan terobosan solusi yang efektif dan efisien.

Dalam upaya untuk mengantisipasi dampak negatif industri pariwisata, perlu kiranya semuanya belajar pada teori yang dikembangkan oleh J. Maquet, ahli antropologi dari Amerika Serikat dalam tulisannya Introduction to Aesthetic Anthropology (1971). Dalam teorinya ditegaskan, dengan lahirnya industri pariwisata di sebuah daerah, maka akan lahir bentuk seni lain di samping bentuk seni yang sudah ada. Kategori seni yang sudah ada sebagai produk dari komunitas setempat dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan mereka disebut art by destination.

Sedangkan ketika terjadi relasi kolegial antara masyarakat pemilik seni itu dengan industri pariwisata yang menginginkan bentuk seni dari masyarakat, maka komunitas setempat akan menciptakan produk-produk seni yang masuk kategori  seni akulturasi atau seni wisata. Lebih jauh lagi, karena wisatawan khususnya mancanegara hanya berkunjung di sebuah daerah destinasi wisata dalam rentang waktu singkat.

Sedangkan mereka menginginkan dapat menikmati sebanyak-banyaknya produk budaya masyarakat yang mereka datangi. Untuk itu produk seni wisata memiliki ciri-ciri spesifik, di antaranya berbentuk miniatur, replika dari aslinya, penuh variasi, tidak sakral, berdurasi pendek (untuk seni pertunjukan), dan harganya terjangkau kocek wisatawan.

Mengingat seni wisata merupakan sinergi antara domain seni dan domain pariwisata, maka diharapkan jangan sampai domain pariwisata mendominasi, sehingga mereduksi nilai seni yang orisinal. Jangan sampai domain pariwisata yang lebih mementingkan nilai finansial menelan domain seni. Adapun kiat-kiat yang perlu dilakukan, konsep teori dari Maquet tersebut dapat diimplemntasikan dalam bentuk regulasi yang disepakati oleh semua komponen, baik itu pemerintah,  pengelola pariwisata, biro perjalanan, komunitas seniman, kelompok sadar wisata, dan berbagai komponen lainnya.

Regulasi yang merupakan hasil dari dialog bersama tersebut dapat difasilitasi oleh pemerintah dalam membentuk peraturan daerah yang dalam diktumnya perlu adanya pemilahan antara seni destinasi (seni orisinal komunitas yang belum dikemas) dan seni wisata. Termasuk regulasi yang mengatur batasan-batasan seni wisata yang mengambil dari seni destinasi sehingga dalam tataran implementasi dapat diatur sedemikian rupa dengan harapan terbangun kenyamanan bersama.


Penulis: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar