Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar masyarakat sudah mengenal bangunan candi yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Candi oleh masyarakat dikenal sebagai salah satu warisan nenek moyang yang masih terlihat nyata dan berdiri kokoh berdampingan dengan bangunan-bangunan modern. Candi merupakan monumen bersejarah sebagai saksi faktual peristiwa masa lampau.
Eksistensinya sampai saat ini masih sangat dikagumi dan dinikmati oleh masyarakat di era digital ini. Beberapa candi bahkan sudah diklasifikasikan sebagai objek wisata budaya. diantaranya ada Candi Borobudur, Mendut, Pawon dan Candi Prambanan di Jawa Tengah, Candi Singhasari, Candi Panataran, Candi Jago, Candi Kidal di Jawa Timur, dan sebagainya. Ribuan candi yang ditemukan kembali, merupakan salah satu bukti kuat bahwa nenek moyang kita adalah orang-orang yang mempunyai peradaban tinggi melampaui zamannya.
Tempat Pemujaan
Candi merupakan bangunan peninggalan kuno yang pada umumnya dibuat dari batu, tempat memuja atau menghormati roh raja atau tokoh besar. Memang candi bukan makam dalam arti kuburan karena kalau raja meninggal dunia, jenazahnya dibakar dan abunya dibuang ke laut atau sungai besar. Untuk arwahnya dibuatkan upacara sampai beberapa kali.
Setelah upacara berakhir, roh raja itu dianggap sudah bersatu kembali dengan dewanya, maka dibuatkan candi untuk menghormatinya. Di dalam candi itu ditempatkan patung dewa dari agama yang dianutnya. Patung tersebut merupakan manifestasi raja sebagai dewa.
Tepat di bawah alas patung ada sumur dan di dalam sumur terdapat pripih (kotak batu) yang berisikan abu, biji-bijian, dan benda-benda lain. Kalau candi tersebut merupakan candi Buddha, maka yang ditempatkan di situ adalah patung Buddha. Sebaliknya kalau sebagai candi Hindu, pasti terdapat patung para dewa, seperti Brahwa, Siwa, atau Wisnu (G. Moejanto, et.al., 1992).
Dalam bangunan-bangunan candi tersebut tidak bisa lepas dari aspek seni rupa, baik dalam ruang lingkup fisik di candi induk atau perwara (pendamping), seperti relief, ornamen, atau aspek pendukung lainnya. Adapun pengertian seni rupa secara mendasar adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap secara visual dan dirasakan dengan rabaan.
Seni rupa tradisional dominasinya berkaitan erat dengan khazanah lokal budaya di daerah tertentu. Tentunya di masing-masing daerah memiliki karya seni rupa tradisional dengan keunikan yang beragam dan spesifik. Karya seni rupa tradisional banyak diwarnai pelambangan (simbolis), baik dalam bentuk metafora binatang, tumbuhan, bangunan, atau figur manusia.
Tidak bisa dipungkiri, masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia memberikan banyak pengaruh budaya dan menyebabkan terjadinya proses akulturasi. Sedangkan akulturasi dapat dipahami sebagai campuran budaya tanpa menghilangkan ciri khas dari budaya tersebut. Akulturasi yang terjadi menyebabkan terjadinya elaborasi dalam banyak bidang, salah satunya adalah dalam bidang kesenian.
Dalam hal ini, seni rupa sebagai bagian dari seni dalam perkembanganya, tidak luput dari proses akulturasi tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bukti-bukti berupa hasil kesenian pada zaman kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia memiliki beberapa ciri-ciri khusus, yang sampai saat ini masih bisa dilacak keberadaannya.
Ciri yang pertama dapat ditengarai hasil seni yang diciptakan para seniman biasanya bersifat feodal atau berfokus pada raja (kultus raja). Di samping itu, kesenian juga difungsikan menjadi hal yang sakral, sebagaimana terdapat pada upacara ritual pengaruh Hindu-Buddha yang berasal dari negara anak benua atau India tersebut.
Ciri yang ketiga adalah kesenian yang bersifat konvensional, yaitu kesenian yang bertolak pada pedoman sumber hukum agama, baik dari agama Hindu maupun Buddha. Sudah diyakini, bahwa semua aktivitas seni pada saat itu erat korelasinya dengan media kebaktian kepada agama yang dianut.
Seni Bangunan
Hasil karya seni rupa dari kebudayaan Hindu-Buddha bentuknya sangat variatif dan unik. Salah satunya adalah bangungan candi. Candi-candi dibangun sebagai monumen untuk memuliakan dan menghormati raja yang meninggal. Selain itu, candi juga dikorelasikan fungsinya sebagai vihara, stupa, pertapaan, penyucian diri, tempat pemujaan, pintu gerbang, dan sebagainya.
Selain dari perspektif fisik bangunan, seni rupa pada bidang bentuk seni patung juga dapat pengaruh masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia. Proses kerja para seniman patung pada masa itu masih mengacu pada tradisi seni patung India, baik detail struktur anatomi, detail ornamenanya, atau wujud visual lainnya.
Biasanya, patung-patung tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri. Patung untuk Dewa Trimurti dalam agama Hindu diberikan atribut tersendiri, misalnya dapat didiferensiasikan dengan kendaraaan pribadi yang menjadi ciri spesifiknya. Seperti lembu Nandiswara adalah kendaraan Dewa Siwa, burung garuda kendaraan Dewa Wisnu, juga angsa adalah kendaraan Dewa Brahma.
Sementara pada patung Buddha umumnya memiliki ciri-ciri spesifik seperti memakai jubah dan memiliki tanda pada keningnya yang disebut sebagai urna, atau hiasan prabha (sinar keagungan) di belakang patung tersebut.
Adapun bentuk seni rupa lainnya yang dipengaruhi oleh akulturasi adalah bidang seni hias. Candi-candi Hindu-Buddha biasanya memiliki dekorasi atau ragam hias yang dibuat menyerupai suasana bentang alam pegunungan yang asri dan menyejukkan. Ide dasar para seniman itu dikarenakan candi-candi tersebut biasanya merupakan replika dari Gunung Mahameru yang dipercayai sebagai tempat suci istana para dewata.
Dengan begitu kompleksnya unsur seni rupa yang terdapat dalam bangunan candi, baik itu candi Hindhu maupun Buddha, kiranya dapat menjadi komitmen bersama semua komponen dalam masyarakat untuk menjaga, melestarikan, atau menjadikan bangunan monumental tersebut sebagai sumber inpirasi dalam karya nyata yang bermanfaat untuk publik.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar