Musik Pop Cerminan Gaya Hidup

Dilihat 3684 kali
Peralatan musik pop dalam ajang pentas seni pertunjukan. Foto: Pixabay

Setiap kali kita bicara tentang musik pop di Indonesia, eksistensi musik tersebut tidak bisa dipisahkan dengan gaya hidup. Bukan saja  musik pop, seperti yang diduga oleh banyak orang-menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda di perkotaan, namun lebih jauh lagi musik pop sudah dianggap sebagai gaya hidup itu sendiri.


Artinya untuk menikmati  gaya hidup heavy metal, anak muda di berbagai kota kecil di Jawa Tengah (misalnya Kendal, Kaliwungu, Magelang, dan sebagainya) cukup mengadopsinya dengan memanjangkan rambut, mengenakan kaos hitam berhias sablon bintang metal seperti metalicca dan sebagainya, sambil tentu saja mendengarkan musik  gaduh riuh itu sesering mungkin.


Pada dasarnya musik pop adalah genre musik yang menjadi kegemaran masyarakat pada waktu tertentu. Musik pop dapat dimaknai juga sebagai musik yang mempunyai irama sederhana membuatnya mudah dikenal dan digemari orang banyak. Jenis musik pop ini sangat cepat hilang, tidak bisa bertahan lama dan cepat tergantikan dengan lagu baru. Musik pop dibuat dengan sederhana, jarang memakai bentuk komposisi. Lebih dari itu, bentuk, lirik dan aransemen lagu-lagu pop juga bersifat sederhana, mudah diingat, dan seringkali hanya untuk menghibur masyarakat.


Untuk mencebur dalam budaya pop, tak harus mejeng di kawasan Harajaku Street di Jepang sana, namun cukup dengan mengenakan fashion yang memadu semua unsur secara kontras. Bahkan semua itu bukan hal baru bagi para gadis muda sekarang untuk meniru para selebritis kondang, seperti Agnes Monica, Kris Dayanti, Ruth Sahanaya, Bunga Citra Lestari, dan sederetan artis papan atas lainnya. Di samping itu kita juga tahu gaya hidup suka-suka gue dengan wacana pemikiran kritis pada beberapa masalah sosial, juga  menjadi prinsip para pencinta berat Iwan Fals.


Semua itu menunjukkan bahwa musik pop di Indonesia bukan lagi tampil sebagai sekadar produk budaya pop yang bermula berpijak dari faktor kebutuhan dan pemenuhan. Namun, semuanya sudah termodifikasi sedemikian rupa, dari luar-dalam, hingga menjadi suatu keniscayaan yang tak bisa dilewatkan dalam kehidupan anak muda kita.


Penanda Budaya Pop


Kajian budaya yang cukup berpengaruh bagi anak-anak muda ditegaskan oleh Hugh Mackay dalam bukunya Consumption and Everyday Life yang menandaskan setidaknya ada tiga hal yang bisa dijadikan sebagai ciri atau penanda bagi redefinisi budaya pop dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari. 


Pertama, waster/use up yakni apa yang masih ngetrend atau apa yang sudah tidak musim. Kedua, pleasure adalah sejauh mana musik pop itu asyik untuk dinikmati. Ketiga, everyday practice yakni kaitan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Misalnya, lirik lagu SMS-nya Trio Macan yang akrab dengan gejala SMS-mania di kalangan anak muda (Majalah Gong, 2006).


Karena itu eksistensi musik pop tak bisa dipisahkan dari gaya hidup dan fashion sebagai habitat alaminya. Bahkan keberadaan dua unsur itu akhirnya menjadi satu bagian tak terpisahkan sebagai sebuah produk kultur  modernisme dengan segenap komodifikasinya yang di era digital ini justru semakin menjadi-jadi.


Konsep pasar musik misalnya, ikut berubah. Bila sebelumnya jaringan pasar musik adalah gerai toko kaset dan berbagai outlet lainnya, dengan produk jadi berupa album kaset atau cakram CD, kini bisnis cyber seperti download lagu dan ringtone menjadi realita pasar yang sebelumnya tak terbayangkan. Implikasinya citra selebritis yang sebelumnya sudah melebar ke layar kaca kini semakin berpotensi untuk menjadi lebih realistis yang serba tersedia secara instan.


Para pencinta musik pop di Indonesia bisa setiap saat menikmati lagu, video klip, wallpaper, foto-foto, bahkan ngobrol dengan bintang idolanya. Bukankah ini merupakan kelebihan yang tak ada sebelumnya. Begitu realistis, sekaligus begitu artifisial.


Bila secara fisik mereka tak bisa hadir setiap saat di antara pemujanya, kini mereka melakukannya  secara virtual. Ruang cyber telah menginvasi ruang nyata (perceptual space). Di sisi lain tubuh sang artis  berkembang menjadi tubuh media yang bisa diakses setiap saat.


Peran Media


Fenomena tersebut tidak bisa lepas dari peran media. Realitas yang diciptakan oleh media itu meresepsi seluruh aspek kehidupan sosial. Media bukan lagi sebagai alat untuk mencari informasi atau untuk mengekspresikan perasaan, tapi mengajak komunitas untuk mengalami perasaan sendiri. Dengan kata lain, realitas media telah membentuk sosialitas yang meleburkan batas-batas tradisi, agama, geografi, juga ideologi.


Musik pop yang senantiasa hadir menghampiri kita di setiap waktu dan tempat, bahkan telah menjadi semacam  ambiance (suara-suara yang selalu hadir melengkapi kehidupan sosialitas kita) karena kontribusi media yang luar biasa. Ini berbeda dengan kesenian tradisional yang muncul dan bertahan karena kehendak rakyat dengan pola tradisinya. Seni pop lahir dan bertahan karena kehendak media dengan ideologi kapitalismenya yang  konsumtif. Tapi hal itu juga wajar-wajar saja, karena merupakan bagian dari strategi pemasaran yang memang menuntut pemikiran dan langkah-langkah  inovasi guna meraup penggemar sebanyak-banyaknya.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar