Nilai Tuntunan Hidup Upacara Midodareni

Dilihat 2573 kali
Foto: shutterstock.com.

Ratri iki kinayoman mugi

Dadya hayu kalis ing sangsaya

Entek lebur rubedane

Nama wit kalpataru

Miwah Dewandaru puniki

Antuk kersaning dewa

Salugu kagadhuh

Ratu miwah kang akrama

Ing asta pra widadara widadari

Andher maring bawana


Lantunan tembang Dhandhanggula tersebut biasanya dikumandangkan mengiringi upacara adat perkawinan Jawa yang dikenal pada malam midodareni. Tembang tersebut mengandung makna mendalam sebagai ajaran moral agar upacara berjalan dengan lancar tanpa aral melintang. Tembang itu juga mengisyaratkan secara simbolis, bahwa para dewata dan juga bidadari akan merestui upacara tersebut.


Indonesia memiliki keberagaman kebudayaan di masing-masing daerah. Keberagaman tersebut merupakan potensi luar biasa yang perlu dihidupkan sampai sekarang. Terlebih lagi pemerintah telah mengeluarkan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang di dalamnya memuat peran semua pihak untuk peduli dan komitmen pada bidang kebudayaan.


Dalam UU No 5 tahun 2017 ditegaskan, bahwa pemerintah menempati posisi sebagai fasilitator yang memungkinkan kebudayaan milik masyarakat dapat berkembang dengan baik. Sebagai bagian dari kebudayaan, salah satu rangkaian ritual upacara midodareni kiranya perlu dipahami oleh semua komunitas, agar tradisi yang sudah berlangsung lintas generasi tersebut, dapat dimaknai tidak hanya secara visual, namun sampai tingkat kedalaman filosofisnya.


Malam tirakatan


Komunitas Jawa memiliki beragam tradisi atau ritus dalam upacara perkawinan. Salah satu ritus itu adalah upacara malam midodareni. Malam midodareni merupakan malam tirakatan (menahan diri dari godaan hawa nafsu) menjelang hari pernikahan. Malam tirakatan ini dilaksanakan oleh kerabat, kenalan, dan orang-orang sekitar rumah calon pengantin perempuan dengan khusuk, memohon agar para bidadari dari Kahyangan Syailendra Bawana atau Kahyangan Jonggring Salaka diperkenankan turun ke bumi untuk memberi restu kepada calon pengantin perempuan agar auranya nampak cantik dan anggun layaknya para bidadari.


Dalam mitologi Jawa, Batari Kamaratih dianalogikan sebagai bidadari asmara akan merestui pengantin perempuan. Sedangkan suaminya Batara Kamajaya akan merestui pengantin pria. Maka, dalam upacara midodareni juga saat upacara panggih pengantin (resepsi), sering disajikan Tari Lambangsih yang memvisualisasikan kisah asmara Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih dengan ekspetasi kedua mempelai langgeng dalam meniti mahligai rumah tangga (Salamah Eka S., 2019).


Dalam adat pernikahan Jawa, midodareni merupakan malam sakral menuju puncak pernikahan. Pada acara tersebut calon mempelai pria akan datang mengantarkan seserahan (bingkisan tanda kasih) kepada calon mempelai perempuan. Kemudian dilanjutkan keluarga besar saling mengenalkan satu sama lain. Namun, calon pengantin pria dilarang untuk melihat calon pengantin perempuan, karena calon pengantin perempuan harus dipingit tidak boleh keluar dari kamar pengantin, sampai nanti hari pernikahan datang pada waktunya.


Dalam upacara midodareni, terdapat beberapa rangkaian agenda acara penting yang sampai saat ini tetap dihidupkan dan sudah berlangsung turun-temurun.


Pertama, acara jonggolan. Dalam acara ini pihak mempelai perempuan menyambut kedatangan rombongan calon mempelai pria. Adapun kandungan maksudnya tak lain untuk menunjukkan calon pengantin pria dalam kondisi sehat jasmani-rohani dan memiliki hati yang mantap untuk menikah. Di samping itu, calon pengantin pria juga yang datang bersama dengan perwakilan keluarga.


Kedua, acara tantingan. Substansi dari acara ini adalah calon pengantin pria mohon doa restu kepada keluarga calon pengantin perempuan dan segera akan mendapat jawaban. Kemudian pihak calon pengantin perempuan akan menentukan sikap menolak atau menerima kemantapan hati calon pengantin pria untuk melangsungkan hidup bersama.


Ketiga, acara turunnya kembar mayang. Dalam adat pengantin Jawa kembar mayang adalah dekorasi dengan tinggi hampir serupa tinggi badan manusia. Selaras dengan kepercayaan tradisi yang sudah turun-temurun, kembar mayang merupakan dekorasi pinjaman dari para dewata yang harus dikembalikan setelah upacara selesai dengan cara dilabuh (dihanyutkan) melalui air yang mengalir.


Kembar Mayang yang diberikan terdiri dari dua jenis yaitu Dewandaru dan Kalpataru. Dewandaru merupakan wahyu perlindungan atau pengayoman. Ekspektasinya agar calon pengantin pria dapat memberikan perlindungan atau proteksi lahir maupun batin kepada keluarganya ketika sudah berumah tangga. Sedangkan kalpataru berarti wahyu kelanggengan agar kehidupan rumah tangganya dapat abadi selamanya.


Keempat, acara catur wedha. Dalam acara ini, memuat petuah ayah dari calon pengantin perempuan kepada calon menantunya. Isi dari wejangan ini terdiri dari empat macam pedoman hidup berumah tangga yaitu, hangayomi adalah nasihat agar pengantin pria mengayomi dan melindungi istrinya dengan sepenuh hati. Handayani merupakan wejangan yang mengandung pesan moral agar calon pengantin pria nantinya dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Hangayemi mengandung makna nasihat agar pengantin pria dapat memberikan kenyamanan yang membuat pasangan memiliki rasa cinta selama-lamanya yang tiada habisnya. Hanganthi adalah nasihat agar pengantin pria dapat menjadi pemimpin bagi keluarganya.


Kelima, acara majemukan. Acara ini merupakan proses silaturahmi antara kedua keluarga. Dalam tahapan acara ini diserahkan pula semua seserahan (bingkisan simbol tanggung jawab) yang telah dibawa oleh calon pengantin pria. Sebaliknya dari pihak calon pengantin perempuan juga akan memberikan bingkisan balasan yang dikenal dengan sebutan angsul-angsul. Salah satunya calon mempelai pria akan diberi sebilah dhuwung (keris) sebagai semiotika nantinya apabila berkeluarga dapat memberikan pelindungan keluarga dengan pusaka yang sudah dimilki. 


Lambang penyatuan rasa


Adapun kostum pengantin perempuan pada saat upacara midodareni dikenal dengan busana sawitan. Busana tersebut terdiri dari jarik (kain panjang) dan stagen atau pengikat kain jarik yang dibuat dari kain dengan warna sepadan atau mirip. Pakaian tersebut mengandung makna semiotika yakni penyatuan rasa kedua calon mempelai termasuk penyatuan yang sejiwa dengan Sang Pencipta Mayapada. Di sini juga terkandung makna, apapun yang terjadi, kedua pasangan akan tetap setia. Pakaian sawitan tersebut juga melambangkan sikap etika atau sopan-santun sebagai seorang perempuan.


Mencermati dari makna upacara midodareni dalam tradisi budaya Jawa yang sangat kompleks tersebut, kiranya perlu adanya diseminasi secara proaktif dari semua pihak. Sekarang ini sudah banyak muncul lembaga pendidikan non formal seperti kursus-kursus budaya Jawa, seperti Permadani (Persatuan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) sebagai organisasi budaya dalam pendidikan dan pelatihan budaya Jawa. Kiranya kiprah-kiprah lembaga kebudayaan tersebut perlu diapresiasi mulai dari tingkat desa, sekolah, sampai pemerintah, agar budaya Jawa sebagai bagian dari Kebudayaan Nasional yang sudah melegenda tersebut semakin membumi.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar