Pentingnya Kepuasan Customer Dalam Pendidikan

Dilihat 2592 kali

Oleh : P. Budi Winarto, S.Pd*)


SEBUAH lembaga pendidikan bisa maju bila mau meninggalkan sistem manajemen pendidikan yang masih tradisional. Lebih-lebih dalam kisaran arus transformasi yang begitu deras dan cepat, institusi pendidikan harus dikelola atau dikerjakan bak sebuah institusi bisnis.

Konsep bisnis apa pun yang sukses di dunia selalu betumpu pada kualitas yang muaranya adalah  (satisfaction). Mereka menyadari bahwa perusahaan hanya akan dapat bertahan hidup bila produk yang mereka buat tidak sekedar laku di pasaran namun mampu  menciptakan brand quality, dan pada akhirnya tumbuh brand image. Dengan begitu diharapkan produk yang bersangkutan tetap akan mendapat tempat di hati masyarakat sepanjang masa. Maka bidang riset pasar, marketing dan promosi menjadi tulang punggung perusahaan untuk terus memonitor trend yang sedang berkembang di masyarakat, dengan tujuan agar perusahaan bisa mengarahkan produknya sesuai dengan minat dan selera pasar. Tidak hanya itu, untuk lebih memantapkan pilihan customer, perusahaan sanggup memberi jaminan (garansi) dan pelayanan purna jual bila terjadi sesuatu terhadap barang yang telah dibeli.

Dalam suatu bisnis yang baik harus mampu dihasilkan produk yang terbaik pula, tanggap terhadap berbagai perusahaan teknologi, pasar, harga yang kompetitif, dan juga keuntungan (profit). Celakanya , selama ini kata profit bagi dunia pendidikan merupakan kata tabu. Padahal profit juga berarti pertumbuhan dan perkembangan. Sehingga apa yang terjadi kemudian adalah model manajemen yang berangkat dari pandangan dunia bisnis tetap dicurigai dan diinterpretasikan secara harafiah sebagai komersialisasi pendidikan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan permasalahan misi dan tujuan mulia pendidikan. Maka kemudian muncullah gap dan bahkan malah benturan yang sangat tajam, antara idealism dan pragmatisme.

Suatu bisnis yang dijalankan dengan baik harus menjalankan suatu kualitas. Dalam bisnis pada khususnya, aspek kualitas dapat dipilah menjadi dua. Pertama, kualitas penerimaan, yakni bagaimana pihak pemberi jasa berusaha memberi kesan baik, hangat dan bersahabat dalam membawa masuk calon customer ke dalam bentuk jasa yang ditawarkan. Kedua, kualitas proses pelayanan, yakni  bagaimana pemilik jasa benar-benar memberikan pelayanan jasa yang sebaik-baiknya kepada customer. Bagaimana seandainya kedua hal tersebut tidak diperhatikan? Ada dua kemungkinan, pertama, customer akan pergi setelah tahu kenyataan. Kedua, masih saja ada customer yang datang, namun mereka berasal dari segmen yang price-oriented. Segmen seperti ini memang tidak begitu peduli dengan kualitas, melainkan hanya sekedar membeli harga.

Belakangan ini ditengarai ada sebagian lembaga pendidikan mengalami jumlah penyusutan peserta didik yang cukup signifikan. Kondisi yang menyedihkan ini sebenarnya bermula dari kecerobohan mereka dalam setiap calon customer yang datang. Tidak jarang terjadi praktik-praktik yang kurang terpuji berupa sikap dan perilaku mengecewakan dan menyakitkan yang dilakukan pihak institusi terhadap siswa maupun terhadap orang tua siswa. Padahal dua unsur yang penulis sebut terakhir adalah asset yang sangat berharga bagi sekolah. Adalah mustahil bila lembaga pendidikan berjalan tanpa kehadiran siswa dan campur tangan orang tua siswa, paling tidak dari segi pendanaan. Namun sebaliknya seorang anak masih tetap dapat belajar walaupun ia tidak mengenyam bangku sekolah dengan otodidak. Apalagi sekarang dimungkinkan dilakukannya sistem pendidikan terbuka yang justru lebih bersifat fleksibel (multi entry-multi exit system).

Pelayanan yang memuaskan dan simpatik, itulah yang pertama sekali diinginkan oleh siswa dan orang tua siswa dari lembaga pendidikan. Ironisnya, prinsip yang masih diyakini kebenaranya oleh lembaga pendidikan adalah bahwa siswa dan orang tua siswa menjadi pihak yang membutuhkan pendidikan, maka konsekuensinya mereka harus menurut begitu saja pada regulasi yang dibuat sendiri oleh sekolah. Mereka tidak begitu perlu merasa peduli terhadap keluh kesah siswa dan orang tua siswa tentang proses pembelajaran yang dinilai kurang objektif, kaku, berat sebelah, pilih kasih dan sejenisnya. Iklim yang semacam ini akan menjadikan lembaga pendidikan hanya sekedar sebagai product business.

The show must go on; kalau masih mau belajar di sini, terima saja apa adanya. Namun kalau sudah tidak tahan, ya…pindah saja ke sekolah lain; toh yang antri masih banyak kok…, demikian ungkapan arogansi sekolah yang sering dikeluhkan orang tua siswa. Sinisme semacam ini mungkin juga dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang bersangkutan sedang naik daun karena banyak diminati masyarakat. Mereka tidak menyadari bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bisa menjadi boomerang dan akan berefek domina, sehingga secara perlahan namun pasti (entah berapa tahun kemudian), pamor sekolah akan meredup, seiring dengan hilangnya kepercayaan dan simpati masyarakat kepada sekolah yang bersangkutan.

Siswa dan orang tua siswa sebagai bagian dan internal costumer (meminjam istilah pakar kualitas Edward Deming) semestinya mendapat perlakuan yang istimewa, betapapun tidak menyenangkan sifat dan sikap yang mereka tunjukkan. Ini berarti lembaga pendidikan telah memperhatikan segala kebutuhan customer sampai sekecil-kecilnya. Ia tidak hanya sekedar berfungsi sebagai product business, namun telah meningkat menjadi service business. Maka sangatlah tepat bila mereka lalu memiliki sikap the best service dengan moto: keep smilling to make everything smoothly. Bahkan itu bisa menjadi jimat yang handal bagi sekolah dalam menghadapi para pelangganan dan calon pelanggan.

Artinya, pendidikan bukan lagi produk yang kaku, namun cukup luwes dan fleksibel sebagaimana layaknya karakteristik suatu industry jasa. Jangan sampai sekolah menempatkan diri sebagai majikan yang otoriter dan memaksakan kehendak kepada siswa dan orang tua siswa dengan membungkam setiap aspirasi yang muncul. Sebaliknya, tempatkan siswa dan orang tua siswa sebagai mitra kerja sekaligus membantu menyiapkan mereka dalam proses perubahan menuju kedewasaan serta dalam menentukan apa yang mereka ingin lakukan, dan mengembangkan kemampuan dan kepercayaan diri untuk meraih tujuan mereka. Semoga.


*)Penulis Guru SMP Pendowo Ngablak 

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar