Sayangi Makanan Kita

Dilihat 825 kali
Sayangi makanan, untuk menjaga lingkungan, serta mensyukuri nikmat dari Tuhan

Ketika sedang menjalankan tugas siaran, tiba-tiba terdengar ada salah satu iklan layanan masyarakat dengan judul "Stop Boros Pangan". Saya dengarkan dengan seksama, dan membuat saya mengangguk-angguk karena sejalan dengan pemikiran saya. Menurut yang disampaikan iklan tersebut, ada sekitar 48 juta ton bahan pangan yang terbuang percuma setiap tahunnya. Padahal, sebenarnya, dengan jumlah sebanyak itu, dapat digunakan untuk memberi makan secara layak sebanyak 61 juta orang di negeri ini.  


Memang benar, sering terjadi, bahwa banyak sekali makanan dalam jumlah besar terbuang sia-sia. Pernah ada suatu event yang saya hadiri, di mana saya ikut serta membantu membersihkan tempat, sungguh hati ini terasa mendongkol bukan kepalang, karena harus membuang begitu banyak makanan sisa. Entah apa yang dilakukan orang-orang itu, yang begitu tega menyisakan makanan dalam jumlah yang cukup banyak. Belum lagi air mineral berbotol-botol yang hanya diminum sedikit lalu ditinggalkan begitu saja.


Ajaran orang tua


Teringat ketika masa kecil dulu, orang tua saya, terutama ibu dan nenek, selalu memarahi kalau makanan yang dimakan tak dihabiskan. Bahkan, mereka menyampaikan alasan yang tak masuk akal, "Ayo, nek maem dientekke, mengko ndak segane nangis, pitikke mati,"(Ayo kalau makan dihabiskan, nanti nasinya menangis, ayamnya mati) Lho, kok bisa ya, nasi menangis? Lalu, kalau makan tidak habis, kan bisa diberikan kepada ayam, otomatis ayam-ayam itu mendapat tambahan makanan, mengapa malah mati?


Akhirnya, setelah dewasa dan mulai merasakan sulitnya mendapatkan penghasilan agar hidup terus berlanjut, di situlah saya paham mengapa orang tua dulu mengajarkan kita untuk menghargai makanan. Tidak lain karena makanan adalah salah satu bentuk rizki yang diberikan Tuhan kepada makhluk hidup di dunia ini.  Makanan merupakan kebutuhan primer bagi setiap makhluk hidup yang harus selalu dipenuhi setiap hari, agar tetap dapat bertahan hidup. Sehingga betapa sayangnya apabila rejeki yang didapat dengan susah payah dibuang-buang begitu saja tanpa menghargai betapa sulit usaha untuk mendapatkannya.


Kini, apa yang dilakukan ibu dan nenek saya pun akhirnya saya terapkan kepada anak-anak saya. Mereka saya minta untuk menghabiskan makanan yang mereka makan. Tentu saja, kali ini saya tidak hanya sebatas melarang, namun harus disertai alasan yang jelas dan bisa dipahami anak-anak. Hal ini mengingat, anak-anak saya adalah anak-anak yang hidup di zaman milenial yang pemikirannya lebih kritis dibandingkan anak-anak zaman Orba.


Perilaku dan kebiasaan yang perlu diubah


Meski makanan merupakan kebutuhan primer, namun ternyata tak semua orang beruntung bisa dengan mudah mendapatkannya. Bahkan makanan yang paling sederhana dan murah sekalipun. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, terkadang orang harus dengan susah payah bekerja dan berusaha untuk mendapatkan sekedar makanan untuk mengganjal perut agar tetap bertahan hidup. Itupun asal bisa makan, dengan mengabaikan kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh.


Sungguh ironis, ketika ada orang yang menyia-nyiakan makanan, sengaja tidak menghabiskan makanan yang mereka makan, sehingga terbuang dengan sia-sia. Hal ini sering terlihat saat menjelang hari raya, di mana hampir semua orang seakan kalap berbelanja makanan yang beraneka ragam dalam jumlah besar, tanpa memertimbangkan kebutuhan, seakan ketakutan akan kekurangan stok makanan. Alhasil, sampai berbulan-bulan, masih banyak makanan yang tidak habis dimakan, atau bahkan belum disentuh sama sekali.  Hingga akhirnya, sampai pada masa kadaluwarsa, yang artinya, terpaksa makanan harus dibuang karena sudah tak layak untuk dimakan.


Selain itu, banyak orang dengan sengaja tidak menghabiskan makanan di piring pada saat menghadiri pesta atau acara tertentu. Mungkin mereka takut mendapatkan image rakus, serakah, banyak makan, atau kalap terhadap makanan. Padahal, perilaku tersebut justru tidak sesuai dengan aturan dalam masyarakat kita, agar menghabiskan makanan yang sudah diambil ke dalam piring. Maka, perlu adanya perubahan perilaku dan kebiasaan yang diterapkan sedini mungkin, agar kita bisa lebih menghargai makanan.


Berbelanja bahan makanan secukupnya sesuai kebutuhan, dengan memertimbangkan kecukupan gizi yang berimbang, adalah langkah pertama yang perlu dilakukan. Kemudian perlu dipikirkan untuk mengolah bahan pangan menjadi makanan yang sekiranya disukai keluarga dan segera habis disantap tanpa sisa. 


Jika terpaksa ada sisa makanan, sebisa mungkin dikumpulkan dan diproses agar ketika membusuk bermanfaat sebagai pupuk yang menyuburkan tanaman, minimal dengan cara memendam ke dalam tanah. Akan lebih baik lagi jika sampah bahan pangan mentah seperti kulit wortel, kentang dan sayuran lainnya, dimanfaatkan juga sebagai pupuk tanaman atau makanan ternak, agar dapat mengurangi volume sampah terutama sampah makanan yang jumlahnya terhitung melimpah.


Bahan baku makanan sendiri, sudah berpotensi menimbulkan limbah, yang disebut sebagai food loss. Dari laman envihsa.fkm.ui.ac.id, disampaikan ada 2 (dua) istilah terkait limbah makanan, menurut Department Education and Research, yakni food loss dan food waste. 


Food loss  merupakan makanan  yang mengalami proses penurunan kualitas selama proses sebelum menjadi produk akhir, yang biasanya terjadi pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan. Sedangkan food waste, adalah makanan yang telah melewati proses rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, namun tidak dikonsumsi dan dibuang.


Lebih jauh lagi, efek membuang makanan, ternyata berdampak besar pada lingkungan hidup di dunia. Masih dari laman yang sama, disampaikan bahwa food loss dan food waste juga sangat berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Saat membusuk di tempat pembuangan sampah, ia menghasilkan gas rumah kaca yang disebut metana. Gas ini ternyata lebih berbahaya daripada CO2.


Dari sini, kita perlu merenungkan, betapa panjang proses yang harus dijalani, sehingga bahan makanan bisa tersaji dalam piring kita. Mulai dari petani yang bekerja keras menanam padi dan sayur-sayuran, merawatnya berbulan-bulan, memanen, mengirimkan ke pasar, hingga sampai ke tangan konsumen. Setelah itu, bahan makanan masih menjalani proses berikutnya, yakni pengolahan menjadi makanan siap saji, yang tentunya juga membutuhkan bahan bakar, bumbu dan tenaga untuk mengolahnya. Setelah matang, barulah bisa dinikmati manusia sebagai makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup.


Makanan, adalah rizki dari Tuhan, yang dibutuhkan makhluk hidup agar hidupnya bisa bertahan. Sementara, masih ada orang-orang di luar sana yang kelaparan, karena kesulitan mendapatkan makanan. Jadi, masihkah kita tega menyia-nyiakan makanan? Mari, kita sayangi makanan kita, agar lingkungan tetap terjaga dan karena tak semua orang beruntung bisa dengan mudah mendapatkannya.  


Widia Himawan, Pengolah Informasi Media pada Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar