Menilik Cita Rasa Khas Kopi Potorono di Lereng Gunung Sumbing

Dilihat 1950 kali

BERITAMAGELANG.ID - Kopi kini menjadi pilihan gaya hidup masyarakat. Bagaimana tidak, hampir di setiap sudut kota, mall, bahkan pedesaan memiliki kedai kopi yang selalu ramai dikunjungi pecinta kopi. Melihat peluang itu, Kepala Desa Sambak Kecamatan Kajoran Kabupaten. Magelang, Dahlan tergerak untuk menanam kopi di daerahnya. Dahlan, kala itu menilai ada potensi dari lahan hutan rakyat di Desa Sambak yang belum dikelola dengan baik agar bisa menambah penghasilan warga setempat.


Dahlan pun mengajak para petani Sambak membudidayakan kopi. Dengan karakter lahan dan ketinggiannya yang hanya sekitar 400-450 mdpl, maka kopi yang cocok ditanam di daerah tersebut adalah jenis robusta. Sebelumnya sudah ada tanaman kopi yang tumbuh subur dan berbuah di sana namun belum dikelola dengan baik.


"Tapi bagaimana untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) makanya saya ajak untuk meningkatkan ekonomi mereka ini dengan cara saya membuat program Kopinisasi Rakyat. Karena mereka juga ada yang memiliki lahan kering atau hutan rakyat. Di sisi lain Sambak itu memiliki pangkuan hutan yang itu milik negara yaitu seluas kurang lebih 66 Ha," terangnya.


Bermula di awal 2008, Dahlan melakukan sosialisasi budi daya kopi. Dengan memanfaatkan lahan di samping rumahnya, ia mengelola kopi dengan baik dan beberapa tahun kemudian kopi yang ia tanam ternyata dapat berbuah dengan baik.


"Memang benar saya tidak menyangka dengan saya mengajak petani ternyata dilirik dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Karena ternyata kami bersama masyarakat sudah melakukan konservasi. Jadi kopi dari nilai ekonominya dapat, tapi konservasi atau nilai ekologinya juga dapat. Maka tahun 2017 saya diundang untuk mendapatkan piagam dan tropi Proklim Utama dari Kementerian Lingkungan Hidup," ujarnya.


Sejak saat itu para petani sekitar mulai tertarik untuk ikut menanam kopi. Pengelolaan yang masih belum baik membuat hasilnya menjadi kurang maksimal. Berbagai cara dan upaya dilakukan Dahlan untuk mengoptimalkan dan meningkatkan hasil produksi kopi tersebut. Pada 2009 dengan adanya pendampingan dari Dinas dan praktisi, para petani Sambak melakukan studi banding dan pelatihan tentang kopi.




Dahlan juga memberdayakan masyarakat Desa Sambak mengelola usaha kopi miliknya, Kafe Potorono. Di sana dia dibantu dua orang barista yang sudah mahir meracik berbagai jenis kopi menggunakan based coffee Potorono, seperti americano, latte, dan sebagainya.


"Saya setiap tahun selalu menganggarkan untuk peningkatan SDM tentang budi daya kopi. Kadang saya mengundang Dinas, kadang mengundang praktisi, agar masyarakat itu semakin bergairah untuk menanam kopi," tambahnya.


Pada musim panen 2015, Dahlan mencoba untuk mengumpulkan hasil panen milik petani yang berpotensi untuk diekspor ke luar negeri. Dengan ikut mensuplai dan menjalin kerja sama pada perusahaan eksportir, hasil produksi kopi Potorono dapat diekspor sampai Busan, Korea.


"Tapi hal itu tidak saya lanjut. Waktu itu kurang lebih hanya satu ton greenbean. Tapi tahun itu masih ada aturan untuk ekspor kan harus satu kontainer," jelasnya.


Dahlan menambahkan, ekspor tersebut tidak dilanjutkan, mengingat kuantitas yang belum memenuhi syarat. Selanjutnya kopi dijual ke pasar karena lebih mudah. Apabila harus menginduk, harganya hampir sama seperti di pasar. Tetapi jika ingin mendirikan bendera sendiri, Desa Sambak belum mampu karena belum mencapai kalau satu kontainer yang kurang lebih 18 ton greenbean. Oleh karena itu Ia menjual ke Pasar Temanggung. Dengan adanya pembelajaran tentang cara sambung kopi setiap tahunnya, Dahlan kemudian mengembangkan pembibitan kopi.


"Untuk petani Sambak, sudah tidak mau kalau untuk membeli bibit atau diberi bantuan bibit malah aras-arasen (malas-malasan). Karena lebih baik nanam sendiri, nyambung sendiri. Ini lho, yang akan saya kembangkan," ujarnya.


Di awal 2022 sekitar 30 - 40 persen lahan sudah ditanami kopi. Dari total luas lahan yaitu 66 Ha dan 10 persen sudah berproduksi (panen).


"Untuk green bean dari Potorono ini juga ada pelanggan tetap dari Balikpapan, sekali kirim 3 kuintal dan terakhir 5 kuintal. Ada yang dari Riau. Sekarang sedang nge-grade lagi untuk kirim ke Kota Magelang. Dari Sukabumi, Bekasi, Bogor itu sudah banyak yang menggunakan green bean Potorono," tuturnya.


Hasil kopi robusta yang telah dipanen dan berupa green bean biasanya akan disaring atau dipilih berdasarkan ukurannya. Terdapat tiga pengelompokan yaitu grade A, B, dan C.


Dilihat dari segi harga, jenis robusta merupakan kopi dengan harga yang masih cukup murah dan terjangkau. Kopi robusta yang masih berupa green bean kemudian diolah menjadi bubuk. Biasanya 4 kilogram green bean robusta hanya akan menghasilkan 1 kilogram bubuk kopi.


"Green bean robusta, 4 kilo itu cuma jadi sekilo kopi bubuk, kalau arabika 6 kilo itu jadi 1 kilo bubuk, yang paling mahal itu excelsa, karena 8 kilo green bean cuma jadi 1 kilo bubuk. Perbandingannya itu 4:1, 6:1, 8:1," kata dia.


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar