Saparan Warga di Bendungan Ngipik Candimulyo, Tradisi Spiritual dan Jaga Alam

Dilihat 64 kali
Warga Dusun Gledeg, menggelar doa saparan di bendungan Ngipik, Tegalsari, Candimulyo.

BERITAMAGELANG.ID - Sumber air dan sawah menjadi inti dari perayaan tradisi saparan di Dusun Gledeg, Desa Podosoko, Candimulyo. Memohon keselamatan yang diekspresikan dengan cara merawat alam.


Tiap bulan dalam penanggalan Jawa memiliki makna masing-masing. Safar -bulan kedua setelah Sura menurut penanggalan Jawa- punya makna menjauhkan diri dari musibah.


Sebab itu pada bulan Sapar biasanya digelar tradisi saparan yang merupakan rangkaian upacara memohon keselamatan kepada Tuhan. Mereka menyisipkan doa agar dijauhkan dari paceklik dan bisa menikmati hasil panen berlimpah. 


Secara simbolik harapan itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng beserta lauk pauknya. Setelah didoakan tumpeng akan disantap bersama sebagai perwujudan rasa sukur.


Di Dusun Gledeg, harapan dan doa itu dinyatakan melalui prosesi kirab tumpeng dari areal sawah di ujung Dusun Ledok menuju bendungan di kampung tetangga, Dusun Ngipik, Desa Tegalsari.  


Pengairan sekitar 46 hektar sawah warga Dusun Gledeg dan Ledok, bergantung pada sumber air dari bendungan Ngipik. Bendungan menahan sekaligus membagi aliran Sungai Agas melalui irigasi ke Dusun Gledeg.  


Prosesi kirab tumpeng sekaligus mengingatkan warga soal pentingnya menjaga sumber air. 


"Kalau tidak dirawat akan berakibat pada pertanian di Dusun Gledeg. Bendungan Ngipik menjadi sumber utama air untuk petani," kata tokoh Dusun Gledeg, Wardoyo, Sabtu (9/8).  


Menurut Wardoyo, prosesi saparan menggabungkan makna filosofi yang terkandung dalam tradisi, sekaligus mempraktikannya dalam kerja nyata.


"Bumi itu perlu dirawat bersama sama. Tidak hanya dengan sukur secara spiritual, tetapi juga syukur dengan tetap merawat jalur irigasi. Sawah dibersihkan, ditata, sehingga panen menjadi baik,” lanjutnya.


Prosesi doa pada kirab saparan Dusun Geledeg, dipimpin oleh modin Slamet Kartohardjo di areal sawah sebelum rombongan diberangkatkan, dan di lokasi bendungan. 


Lokasi sawah dan bendungan terpisah jarak sekitar 2 kilometer. Dari areal sawah, tumpengan ditandu hingga batas desa untuk kemudian diangkut menggunakan kendaraan.  


Menurut Slamet Kartohardjo, bendungan Ngipik dibangun oleh Kiai Selim untuk menahan aliran sungai Agas. Aliran sungai yang terbendung kemudian dialirkan ke saluran irigasi menuju Dusun Gledeg.


Slamet Kartohardjo mengaku tidak mengetahui kapan tepatnya bendungan itu dibangun. Lelaki berusia 80 tahun itu hanya mengingat bendungan sudah ada saat ia masih kecil.


Slamet Kartohardjo juga tidak menjelaskan latar belakang Kiai Selim. 


“Sudah ada sejak zaman Belanda. Pokoknya sejak saya belum ada, bendungan ini sudah dibangun,” terangnya.


Tidak hanya berfugsi sebagai sarana irigasi, bendungan Ngipik juga mencegah sawah di Dusun Gledeg kebanjiran. Meski tidak terlalu besar, sungai Agas sering meluap pada musim hujan. 


"Bandungan Ngipik juga menjaga sawah di Gledeg dan Dusun Ledok supaya tidak terendam banjir. Jadi kita berdoa dengan maksud bendungan ini kuat mencegah banjir,” kata dia.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar