Belajar Candi Borobudur Melalui Perspektif Sastra

Dilihat 104 kali
Seminar Borobudur, Reinventing Culture di Kampung Seni Borobudur, Sabtu (13/12) yang diinisiasi Bappeda Litbangda Kabupaten Magelang mengangkat pemikiran Borobudur dari berbagai sudut pandang.

Candi Borobudur merupakan karya spektakuler putra-putra Nusantara yang telah melampaui zamannya. Karya agung pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu sampai sekarang masih berdiri kokoh bagaikan menghunjam bumi yang tak akan tergoyahkan oleh badai apapun. Belum tentu generasi sekarang memiliki kapabilitas membuat karya spektakuler yang megah tersebut.


Apabila mengacu konsep kosmologi Buddhis, Candi Borobudur diandaikan sebagai meru atau arga yang merelasikan antara nirvana dan mayapada. Meru tersebut dikelilingi oleh gunung-gunung, laut, dan sungai-sungai besar. Mengacu pertimbangan tersebut, lokasi Candi Borobudur yang dibangun dikelilingi beberapa gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, Sindoro dan Pegunungan Menoreh. Di kawasan tersebut gemercik air mengalir tiada henti yang bersumber dari sungai-sungai besar, yaitu Progo dan Elo.


Candi Borobudur dibangun bukanlah tanpa tujuan. Pada setiap sudut Candi Borobudur terdapat ornamen yang menggambarkan nilai luhur kemanusiaan. Pada dasarnya, candi ini kental dengan ajaran Buddha. Dari objek yang ada di kompleks candi, secara keseluruhan menarasikan tentang hakikat kehidupan manusia. Ditelisik dari bangunan candi tersebut, memuat pesan moral sebagai bahan refleksi diri dari segala sesuatu yang tervisualisasikan dalam bingka keindahan reliefnya.


Lebih dari itu, candi peninggalan Dinasti Syailendra itu, juga merupakan inovasi, institusi, sekaligus inspirasi yang diperoleh melalui laku atau tindakan yang telah direalisasikan menjadi karya agung bernilai pusaka, pustaka, juga pujangga. Ketika aspek tersebut berkelindan dalam satu kesatuan, sehingga mewujud pada pemaknaaan Candi Borobudur yang bukan sekadar bangunan fisik, namun di dalamnya memiliki kandungan filosofi yang luar biasa maknanya (M. Baiquni, 2024).


Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu dipikirkan kembali strategi untuk menjadikan Candi Borobudur dapat bermanfaat untuk sekarang dan masa depan. Tidak berlebihan kalau Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya ke depannya dapat lebih menjanjikan baik sebagai warisan budaya dunia maupun destinasi pariwidata. Alternatif strategi yang diperlukan dapat mengaplikasikan konsep reinventing.


Implikasi reinveting ini lebih merujuk pada pada upaya berkelanjutan untuk mentransformasi Candi Borobudur menjadi destinasi pariwisata super prioritas kelas dunia yang lebih inklusif, edukatif, dan berkelanjutan. Pemikiran-pemikiran tersebut mengemuka dalam seminar bertajuk Borobudur Reinventing Culture.


Seminar tersebut diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Magelang dengan penyelenggara kegiatan OPD Bappeda bertempat di Kampung Seni Borobudur, Sabtu (13/12). Adapun narasumber dalam seminar diambil dari kalangan akedemisi, budayawan, juga dari unsur legislatif. Para narasumber tersebut adalah Prof. Bobby (UGM Yogyakarta), Bambang Eka Prasetya (Sekolah Budaya Nitramaya), Sakir, S.Sos (Ketua DPRD Kabupaten Magelang), dan Bintang Adi Taruna, S.H.,M.Kn (Anggota DPRD Kabupaten Magelang).


Berbasis Sastra

 

Tidak bisa dipungkiri sampai saat ini Candi Borobudur masih menjadi magnet untuk destinasi wisata. Tiap hari, terlebih pada hari libur pengunjung membludak untuk melihat dari dekat candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Namun bila dicermati, mereka itu hanya sebatas mengagumi kemegahan, tanpa mengenal lebih dalam makna yang terkandung di dalamnya. Kadang mereka di lokasi hanya sekadar mengabadikan kunjungannya dengan berfoto baik melalui kamera digital maupun gawainya.


Idealnya sebelum berkunjung ke candi, sebaiknya mereka memelajari makna candi tersebut secara intens. Jadi ketika sampai ke lokasi destinasi wisata mereka akan dapat mengomparasikan segala sesuatu yang dipelajari dengan kondisi faktualnya. Candi Borobudur akan dapat lebih dimaknai apabila masyarakat mengenal dan memahami dari aspek sastranya.


Dengan belajar sastra, masyarakat dapat memahami lebih mendalam tentang kultur dan dinamika historis suatu bangsa, memperluas wawasan, dan pemahaman tentang dunia. Di samping itu, dalam sastra tekandung unsur-unsur kreatif dan imajinatif yang dapat menginspirasi untuk berpikir di luar batas-batas noramtif. Hal ini dapat merangsang kreativitas dan membantu  menemukan solusi dari berbagai masalah.


Candi Borobudur pilar sastranya dapat diambil dari Kitab Sutta Pittaka. Dalam kitab ini berisi ribuan sutta (ajaran), khotbah, dialog, dan tanya jawab Sang Buddha dengan murid-murid dan orang lain, mencakup ajaran inti Buddhisme tentang etika, meditasi, filsafat, serta kisah-kisah kehidupan lampau Buddha (Jataka) dan panduan praktis kehidupan sehari-hari, tersusun dalam lima bagian utama (Nikaya). Isi kitab Sutta Pittaka tersebut di antaranya memuat kisah-kisah legendaris seperti cerita Jataka dan Avadana yang memuat 720 panel relief.


Sedangkan kalau pengunjung mau masuk ke Candi Borobudur dapat menemui dua hewan singa yang dinamakan Lokapala Dhamma. Makna yang terkandung dalam ajaran tersebut yaitu dua kualitas mental sebagai pelindung dasar moralitas masyarakat secara keseluruhan. Kedua kualitas ini disebut dalam bahasa Pali sebagai hiri dan ottappa. Hiri adalah rasa malu bawaan atas banyaknya pelanggaran moral yang telah dilakukan. Sedangkan Ottappa merupakan rasa takut dari perbuatan salah atau tindakan tidak baik.


Sang Buddha menyebut kedua kondisi ini sebagai penjaga terang dunia (sukka lokapala). Beliau memberi mereka sebutan ini karena selama kedua kondisi ini berkuasa di hati manusia, standar moral dunia tetap utuh, sementara ketika pengaruhnya memudar, dunia manusia jatuh ke dalam berbagai bentuk pergaulan bebas dan kekerasan yang tak tahu malu. Tindakan tersebut sejatinya  hampir taka da bedanya dengan sifat alam  juga binatang (Bambang Eka P., 2025).


Secara visual Candi Borobudur dibagi empat tataran utama, yaitu pertama, samsara tingkat paling bawah atau kaki candi, melambangkan alam nafsu dan kehidupan duniawi yang penuh hasrat. Kedua, margha. Tingkat kedua bagian tengah ini melambangkan alam peralihan manusia mulai melepaskan diri dari hawa nafsu dan terfokus pada bentuk serta ajaran jalan atau praktik spiritual untuk mencapai pembebasan. Ketiga, phala melambangkan pencapaian spiritual tertinggi. Sedangkan tataran keempat dinamakan nirvana sebagai puncak pencerahan tertinggi. Area ini ditandai dengan stupa-stupa berlubang berisi patung Buddha dan satu stupa utama tertutup di puncak.


Dari tataran-tataran tersebut, terdapat relief-relief dekoratif maupun naratif yang sarat akan karya sastra. Relief naratif sebanyak 1.460 relief, mulai dari Karmawibhangga, Jataka Avadana, Lalitavistara, dan Gandavyuha. Relief-relief tersebut bukan sekadar hiasan, tetapi sebuah narasi visual dari ajaran Buddha, yang sebagian besar berakar pada kitab-kitab suci seperti Sutta Pitaka.


Menginspirasi


Seminar Borobudur, Reinventing Culture yang diselenggarakan di Kampung Seni Borobudur tersebut dapat menginspirasi semua pihak untuk memahami bahwa Borobudur dapat dimaknai bukan hanya sebatas bangunan bersejarah, namun dapat ditransformasikan dengan pembaruan-pembaruan strategis untuk masa depan, baik dari perspektif kebudayaan, lingkungan, dan juga regulasi yang menyertai.


Di samping itu, seminar tersebut perlu ditindakljuti dengan aksi nyata, baik oleh pemerintah, pelaku pariwisata, termasuk peserta seminar yang hadir. Diharapkan hasil dari seminar itu  pengimbasannya dapat dirasakan oleh semua pihak, termasuk memahami Candi Borobudur berbasis sastra yang saat ini semakin langka. 


Penulis: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd. Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar