Kesetaraan Gender Dimulai Dari Kesehatan Reproduksi. Bagaimana Kondisi Kab. Magelang Saat Ini?

Dilihat 820 kali

KESEHATAN reproduksi sebagai salah satu dimensi kesetaraan gender (IKG). Dimensi ini dibentuk dari 2 indikator, yaitu 1. Proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup tidak difasilitas kesehatan (MTF) dan 2. Proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia < 20 tahun (MHPK20). Bagaimana kondisi kesehatan reproduksi dan IKG seluruhnya?.

Kesetaraan gender dalam konteks kesehatan reproduksi mencakup beberapa aspek, yaitu aspek fisik, aspek sosial dan psikologis. Lima poin mengapa kesehatan reproduksi dapat dijadikan indikator kesetaraan gender:

  1. Akses Terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi: untuk menilai apakah diberikan akses yang setara terhadap layanan kesehatan reproduksi, yang mencakup pelayanan prakonsepsi, perawatan kehamilan, persalinan, dan pelayanan pasca melahirkan.
  2. Pendidikan Kesehatan Reproduksi: untuk menilai apakah diberikan akses yang setara dalam pendidikan kesehatan reproduksi yang  mencakup pemahaman hak reproduksi, pengendalian kelahiran, dan pencegahan penyakit menular seksual.
  3. Pemberdayaan Wanita: untuk menilai apakah telah dilakukan pemberdayaan Wanita, yang mencakup pemahaman dan akses terhadap informasi tentang tubuh mereka sendiri, hak-hak reproduksi, dan kemampuan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mereka.
  4. Partisipasi Pria dalam Kesehatan Reproduksi: untuk menilai apakah dibangkitkan keterlibatan aktif pria, dalam keputusan reproduksi, mendukung pasangan mereka, dan berpartisipasi dalam upaya untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan reproduksi.
  5. Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan: Untuk menilai apakah telah dilakukan penghapusan diskriminasi dan kekerasan yang mungkin dialami oleh pria dan wanita dalam berbagai tahap kehidupan reproduktif mereka.

Indek Ketimpangan Gender (IKG)

Tingkat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, diukur melalui Indek Ketimpangan Gender (IKG). Indeks ini mencakup tiga dimensi utama ketidaksetaraan gender, yaitu kesehatan reproduksi, partisipasi tenaga kerja, dan pemberdayaan politik. IKG memiliki rentang nilai dari 0 sampai 100, di mana 0 berarti tidak ada ketimpangan dan 100 berarti ketimpangan maksimal.

Berdasarkan data BPS Prov. Jateng, ketimpangan gender Kabupaten Magelang "mengalami kenaikan" atau menuju ke kondisi lebih buruk. Jika IKG pada tahun 2018: 0,421 IKG pada tahun 2022: 0,451. Walaupun pada tahun 2020 pernah turun menjadi 0,408. Sementara IKG Prov. Jateng pada tahun 2022: 0,371. Artinya, kondisi kesetaraan memburuk di masa pendemi.  Perkembangan dimensi pembentuk indeks ketimpangan, sebagai berikut:

1. Dimensi Kesehatan Reproduksi

Dimensi kesehatan reproduksi perempuan dibentuk dari 2 (dua) indikator, yaitu proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan (MTF) dan proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia < 20 tahun (MHPK20).

Pada tahun 2018 angka MTF sebesar 0,146 kemudian turun menjadi 0,104 pada tahun 2022. Lebih baik dari capaian Provinsi Jateng pada tahun 2022 menjadi 0,042 persen.

Indikator MHPK20 selama tahun 2018-2022 cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2018 MHPK20 adalah sebesar 0,136 atau 13,6 persen kemudian pada tahun 2019 meningkat menjadi 0,280 atau 28 persen. Lebih baik dari capaian Provinsi Jateng pada tahun 2022 menjadi 26,4 persen.

2. Dimensi Pemberdayaan

Dimensi pemberdayaan dibentuk oleh 2 (dua) indikator, yaitu persentase anggota legislatif dan persentase perempuan 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas. Persentase perempuan anggota legislatif  2018 sebesra 16 persen, pada tahun 2019: 12 persen dan pada tahu 2022: 14 persen.

Persentase tertinggi Kab. Temanggung 33,33 persen dan terendah Wonosobo 4,4 peren.  Sementara Prov. Jateng 20 peren dan nasional 20,8 persen. Kondisi ini merepresentasikan peran perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan masih belum setara. Walaupun, dalam Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 diatur bahwa: daftar bakal calon legislatif memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan Perempuan.

Persentase penduduk usia 25 tahun ke atas berpendidikan SMA ke atas selama kurun waktu yang sama juga meningkat, baik laki-laki maupun perempuan. Persentase penduduk laki-laki pada tahun 2018 sebesar 30,12 persen meningkat menjadi 32,17 persen pada tahun 2022 (meningkat 2,05 persen poin),

Sementara persentase penduduk perempuan meningkat dari 25,24 persen pada tahun 2018 menjadi 25,27 persen pada tahun 2022 (meningkat 0,03 persen poin). Peningkatan pendidikan perempuan yang sangat rendah dibandingkan laki-laki membuat tingkat pendidikan antara perempuan dan laki-laki menjadi lebih timpang.

3. Dimensi Pasar Tenaga Kerja

Dimensi pasar tenaga kerja direpresentasikan dengan indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Selama tahun 2018-2022 TPAK laki-laki dan perempuan semakin meningkat. TPAK laki-laki pada tahun 2018 sebesar 80,92 persen meningkat menjadi 86,34 persen pada tahun 2022 (meningkat 5,42 persen poin),

Sementara TPAK perempuan meningkat dari 64,06 persen pada tahun 2018 menjadi 72,78 persen pada tahun 2022 (meningkat 8,74 persen poin). Walaupun peningkatan TPAK perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, namun karena basis poinnya lebih rendah, artinya kesempatan memasuki pasar tenaga kerja antara perempuan dan laki-laki menjadi belum setara.

So what?

Program untuk mengatasi ketimpangan gender adalah program yang bertujuan untuk meningkatkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan.

Beberapa program untuk peningkatan kesetaraan gender, adalah 1. Program Kesetaraan Gender Indonesia (Indonesia Gender Equality Program) yang dikelola oleh Bank Dunia, 2. Program WAVES (Weaving Leadership for Gender Equality Program) yang merupakan inisiatif RECOFTC (The Center for People and Forests), dan 3. Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) dan Inklusif yang merupakan instrumen untuk mengatasi adanya kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan pembangunan.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar