Langkanya Buku Kebudayaan

Dilihat 319 kali
Penggagas Ruwat Rawat Borobudur mengibahkan 1.000 buku dengan narasi Borobudur kepada beberapa perpustakaan dan budayawan pada 21 Januari 2024 di halaman Candi Borobudur. Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Magelang menyerahkan buku kepada Kepala Desa Jogonegoro Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang

Di tengah membanjirnya arus informasi saat ini, rasanya dunia seakan-akan tiada sekat. Batasan antar ruang dan waktu menjadi sempit. Informasi di seluruh penjuru dunia dapat diraih dalam genggaman perangkat sederhana seperti gawai. Namun dampak yang dirasakan, masing-masing invidu secara tidak sadar, sudah terjebak pada ego personalnya masing-masing. Nilai-nilai budaya yang harusnya menjadi pedoman hidup sepertinya sudah tereduksi secara mendalam.

Budaya membaca masyarakat juga begitu memprihatinkan. Simak saja, di tempat-tempat fasilitas umum saat ini, seperti di bandara, stasiuan kereta api, pusat pembelanjan, dan tempat-tempat strategis lainnya, banyak orang asyik sendiri dengan perangkat ponselnya. Sosialisasi, komunikasi, perjumpaan dengan banyak orang begitu abai. Fenomena tersebut yang perlu menjadi perhatian bersama.

Fenomena di atas ditengarai dan menjadi indikator lemahnya nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. Terlebih lagi, berbagai media untuk dapat memberikan pencerahan, seperti buku-buku yang bertemakan kebudayaan sulit didapatkan. Hal itu dimungkinkan, memang banyak penerbit yang pada saat ini jarang menerbitkan buku-buku kebudayaan.

 

Manfaat Buku

Tidak dapat dipungkiri, buku merupakan sumber pengetahuan yang tak terbatas. Pada saat membaca buku, setiap orang akan memperoleh informasi baru yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan. Di samping itu, dalam isi buku juga dapat dipelajari berbagai topik mulai dari sejarah, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, hingga tips dan trik dalam berbagai bidang.

Terkadang, hidup ini penuh dengan stres dan tekanan. Salah satu alternatif untuk meminimalisir stres adalah dengan membaca buku. Ketika membaca buku, kita akan teralihkan dari masalah sehari-hari dan masuk ke dalam dunia baru. Buku dapat menjadi pelarian yang menyenangkan dan membantu kita melupakan masalah-masalah yang sedang dihadapi.

Membaca buku juga dapat menjadi hiburan yang menyenangkan. Pada saat membaca buku, kita dapat menemukan petualangan yang menarik, kisah cinta yang romantis, atau misteri yang seru. Membaca dapat menghidupkan imajinasi dan membawa semua oang ke dalam dunia yang berbeda. Dengan membaca, dapat mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dan menghibur.

Membaca buku mendorong setiap orang untuk berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis ini sangat berharga dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Buku adalah pintu gerbang ke dunia yang lebih luas. Mereka membawa kita ke tempat-tempat yang mungkin tidak pernah kita kunjungi secara fisik, memperkenalkan budaya yang berbeda, dan memungkinkan kita untuk memahami realitas yang beragam.

Adapun yang lebih menjadi bahan pemikiran kembali, sampai saat ini buku-buku kebudayaan semakin langka dan sulit didapatkan. Penerbit, pada umumnya lebih berorientasi pada buku-buku yang memiliki nilai profit tinggi, seperti politik, ekonomi, manajemen, dan sebagainya. Para penerbit bersasumsi, apabila menerbitkan buku-buku kebudayaan, biaya produksi tidak impas dengan pendapatannya, alias merugi besar.

Memang perlu disadari, bahwa perspektif kebudayaan merupakan investasi jangka panjang yang tidak dapat dipetik dalam waktu singkat, karena kebudayaaan lebih mentitikberatkan pada nilai-nilai humaniora yang membutuhkan proses panjang. Nilai-nilai kultural tidak dapat dipetik seperti buah atau makanan instan siap saji.

Apabila ditelisik lebih mendalam, kehidupan manusia sehari-hari tidak akan lepas dari norma-norma kultural karena pengguna kebudayaan tersebut adalah manusia sendiri. Dalam hidup kesehariannya tidak akan mungkin lepas dari pola hidup kebudayaan, karena manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan itu sendiri.

Di samping itu, perlu dipahami, bahwa kebudayaan lahir karena proses manusia yang selalu menjalankan aktivitasnya. Oleh karena itu, dalam pembicaraan yang berlangsung di ranah publik sering dikatakan bahwa perubahan merupakan pertanda kehidupan yang menegaskan bahwa kebudayaan dalam proses perjalanan waktu akan mengalami elaborasi sesuai dengan dinamika zaman (Sumaryono, 2016).

Dari beberapa unsur kebudayaan dapat diformulasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu pertama wujud logika. Wujud logika ini merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, regulasi, atau aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

Kedua, wujud etika. Dalam wujud yang kedua ini lebih menegaskan bahwa kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Perilaku manusia dalam komunitas, seperti perilaku santun, mengedepankan etika dalam berkomunikasi, atau menerima keberagaman termasuk wujud etika yang harusnya terus dihidupkan dalam sendi-sendi kehidupan.

Ketiga, wujud estetika. Pada wujud estetika lebih mengedepankan kebudayaan sebagai bentuk benda-benda resultansi karya manusia yang dapat memberikan santapan rohani pada semua pihak. Bertolak dari ketujuh unsur dan ketiga wujud kebudayaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa kesenian berada pada konstelasi terakhir sebagai unsur kebudayaan.

Sebagai misal, bila melihat seni tari dengan berbagai jenisnya baik seni tari tradisional atau kreasi baru hanyalah satu cabang dari kesenian tersebut. Oleh karena itu, kalau ingin mengkaji seni tari dalam konteks kebudayaan, tentunya akan melibatkan unsur dari aspek-aspek kebudayaan yang begitu kompleks tersebut.

Pada saat ini, arus informasi tidak dapat dibendung lagi, baik lewat medsos, gawai, instagram, dan perangkat digitalisasi lainnya. Memang gelombang informasi tidak bisa dihindari, namun hendaknya masyarakat harus bisa memilih dan memilah, informasi yang paling tepat dan sesuai dengan nilai kultural bangsa Indonesia.

 

Aksi Nyata

Untuk itu, kiranya saat ini dibutuhkan literasi kebudayaan di tengah gempuran teknologi yang membombardir pola kehidupan manusia. Rasanya diperlukan penulis dan lembaga yang menaruh kepedulian pada aspek-aspek nilai budaya tersebut. Di Borobudur yang diinisiasi oleh Panitia Ruwat Rawat Borobudur, telah melakukan aksi nyata dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat. Pada 21 Januari 2024 lalu, penggagas Ruwat Rawat Borobudur, Sucoro telah menghibahkan kurang lebih 1.000 eksemplar buku kebudayaan yang menarasikan tentang Borobudur dengan dinamika komunitasnya. Buku tersebut dihibahkan kepada perpustakaan daerah, desa, kampus, sampai dengan para seniman dan budayawan.

Yang digagas panitia Ruwat Rawat Borobudur tersebut merupakan aksi nyata. Sucoro dengan biaya operasional sendiri mampu menyusun buku, mulai dari ide dasar sampai mencetak dengan standar buku ISBN. Kepeduliannya tersebut layak diapresiasi. Buku tersebut dapat menginspirasi generasi muda dan semua pihak untuk lebih peduli dengan mempelajari Candi Borobudur sampai tingkat nilai spiritualnya, bukan hanya sekadar kemegahan bangunan fisiknya.

Oleh karena itu, sekarang ini dibutuhkan lembaga atau komunitas yang peduli untuk memberikan kontribusi agar buku-buku kebudayaan bisa muncul kembali, dengan ekpetasi kepribadian bangsa yang dilandasi nilai-nilai budaya tersebut dapat bangkit kembali. Ayo baca dan terbitkan buku-buku kebudayaan, agar jiwa kita tidak oleng.

 

Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar