Pendidikan Mitigasi Bencana

Dilihat 2915 kali
Foto: krjogja.com

Indonesia sebagai negara subur dengan potensi alamnya yang berlimpah sudah sangat terkenal sampai penjuru dunia. Namun di balik potensi alamnya yang berlimpah tersebut,  Indonesia juga menyimpan potensi besar akan terjadinya bencana alam setiap waktu. Sebagaimana yang sudah terjadi, beberapa tahun terakhir ini, Indonesia diterjang bencana alam bertubi-tubi, mulai dari tanah longsor, badai, banjir, gunung meletus, sampai tsunami.


BNPB mencatat, sepanjang 2021, bencana alam berupa banjir terjadi sebanyak 337 kejadian, puting beliung 186 kejadian, dan tanah longsor 144 kejadian. Kemudian, disusul karhutla sebanyak 70 kejadian, gempa bumi 13 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 12 kejadian, dan kekeringan sebanyak 1 kejadian (https://www.kompas.com).


Untuk menghadapi bencana alam agar tidak terlalu banyak makan korban manusia dan menimbulkan kerugian sosial ekonomi, maka pendidikan kebencanaan menjadi kebutuhan mendesak. Sudah saatnya dunia pendidikan dengan serius mengembangkan sebuah kurikulum untuk pendidikan kebencanaan bagi para peserta didik yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan juta di seluruh tanah air. 


Perlunya pengembangan kurikulum kebencanaan ini alasannya cukup sederhana, secara takdir bangsa Indonesia telah ditakdirkan hidup berdampingan dengan berbagai jenis bencana alam. Jika para generasi penerus bangsa tidak memahami mother nature (ibu pertiwi) dimana mereka berpijak, tentu musibah kemanusiaanlah yang akan terjadi dengan dasyat  dan memilukan.


Dengan demikian pendidikan mitigasi (penanggulangan) bencana menjadi semakin penting untuk saat ini dan mendatang, karena dapat dipakai sebagai respon dan menyikapi secara positif berbagai bencana alam yang selalu ada dan terjadi dari waktu ke waktu (Suyanto, 2019).

 


Mengubah Persepsi


Kurikulum mitigasi bencana diharapkan mampu mengubah pola berpikir antroposentris. Banyak di antara komunitas, masih berasumsi bahwa manusia sebagai pusat alam semesta. Dengan predikat ini, manusia merasa berhak mengeksploitasi alam sampai titik nadir. Menyikapi hal tersebut, diperlukan langkah-langkah penyadaran, bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari ekosistem semesta. Manusia hanyalah tamu sesaat di rumah besar bernama alam semesta. Alam lingkungan lebih lama ada bila dikomparasikan dengan keberadaan manusia di dunia ini. 


Terlebih lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia kerap kali abai untuk mengenal lingkungan alam. Contoh kecil saja, buku-buku materi pelajaran banyak mengambil contoh kasus, fenomena, maupun foto dari mancanegara yang jauh dari lingkungan sekitar di mana peserta didik hidup. Bukan bermaksud untuk menolak peradaban kemajuan teknologi asing, namun janganlah melupakan peradaban lokal yang selalu bersinggungan dengan kehidupan keseharian di lingkungannya.


Bila menengok ke belakang, masih bisa diinggat dalam proses pembelajaran peserta didik  diminta gurunya menggambar pemandangan alam, selalu menggambar dua buah gunung dengan matahari di tengah dan awan mendung di sekitarnya, serta area persawahan yang membentang di sela-sela bukit yang hijau asri. Jika diminta menggambar hewan maka seringkali menggambar ayam. Pada saat menyanyi pun dilantunkan lagu seperti Tik-tik Bunyi Hujan, Pelangi, dan sejenisnya. Inilah spesimen konkret kearifan lokal yang tak lekang dalam pusaran waktu.


Gambar gunung mengingatkan bahwa Indonesia berada pada jalur cincin api (ring of fire) dengan jumlah gunung berapi terbanyak di dunia. Matahari dengan awan menggelantung, lagu Tik-tik Bunyi Hujan dan Pelangi menyadarkan peserta didik bahwa bangsa Indonesia berada pada lingkungan tropis dengan sinar matahari dan hujan yang berlimpah. Menggambar sawah dan ayam mengadaptasikan bahwa lingkungan sekitar merupakan ikon dari adaptasi kehidupan di sekitarnya.


Pembelajaran Kontekstual


Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) seperti di atas perlu dihadirkan di ruang kelas. Teori tersebut menekankan guru perlu mengaitkan  antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata peserta didik. Di samping itu guru perlu juga mendorong peserta didik mengorelasikan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

 

Dalam hal ini guru perlu mengorkestrasi materi pembelajaran yang diampu. Di sini diperlukan kepiawaian dalam menghadirkan lingkungan sekitar ke dalam kelas untuk menumbuhkan ranah imajinasi peserta didik. Bukan sebaliknya, menghadirkan teori-teori dari antah berantah untuk ditelan mentah-mentah, tanpa tahu relasinya dengan lingkungan sekitarnya.


Pada prinsipnya, pendidikan mitigasi bencana di masing-masing satuan pendidikan bertumpu pada kapabilitas guru mengintegrasikan permasalahan di lingkungan sekitar ke dalam semua mata pelajaran guna menumbuhkan kesadaran peserta didik tentang pentingnya menjaga lingkungan.


Untuk memberikan piktoral pada ranah praksis, guru bisa mengaplikasikan metode simulasi dan praktikum dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, seperti menjaga  kebersihan, menanam pohon bekerja sama dengan penduduk sekitar, serta membangun  sistem berkesinambungan di wilayah dengan semua intansi terkait dan komunitas.

Selanjutnya, pendidikan mitigasi bencana di lingkungan sekolah dapat dijadikan sebagai salah satu gerakan sadar bencana di lingkungan masing-masing. Khususnya di lingkungan satuan pendidikan dan masyarakat agar tercipta satuan pendidikan yang aman bencana.


Pada dasarnya pendidikan mitigasi bencana perlu dioptimalkan dan sudah sepatutnya  menjadi gerakan yang diinisiasi lembaga pendidikan sejak usia pra sekolah melalui pendidikan baik formal maupun non formal. 


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar