Prestasi Itu Kebanggaan, Sekaligus Privasi

Dilihat 2172 kali

"Hai Jeng! Anaknya diterima di sekolah mana? Berapa nilainya? Anak saya lulus, nilai tertinggi loh, sekarang masuk ke sekolah favorit, lewat jalur prestasi,".


Kalimat seperti itu sering terlontar dari mulut orang tua, yang sedang meluap kebahagiaannya karena prestasi akademik anaknya. Dia memang berhak bahagia dan bangga. Namun, bagaimana jika kalimat itu ditujukan kepada seseorang yang tak seberuntung dirinya? Bagaimana jika pertanyaan itu ditujukan kepada seseorang yang sedang kebingungan mencarikan sekolah anaknya, akibat nilai sang anak yang pas-pasan, atau bahkan di bawah standar?


Tahun ajaran baru, saat yang membuat tegang begitu banyak orang, terutama bagi mereka yang anak-anaknya tengah menghadapi kelulusan dan berupaya mencari sekolah baru. Tak masalah jika nilai sang anak di atas rata-rata, alias didominasi oleh angka 9 ke atas. Namun, apa daya, tak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Dan kitapun, tak bisa memaksa.


Prestasi akademik cemerlang dambaan semua orang


Ada seorang teman yang teramat bangga dengan prestasi anaknya yang bersekolah di sekolah favorit semenjak di Sekolah Dasar hingga SMA dan selalu menduduki peringkat 3 (tiga) besar. Nilai-nilainya fantastis, selalu di atas 9. Belum lagi penghargaan-penghargaan lain yang diterima kala menjuarai lomba-lomba. Orang tua mana yang bisa menahan diri untuk tidak berbangga.


Waktu itu, ia menanyakan berapa nilai anak saya saat lulus. Saya jawab sejujurnya, berapa nilai anak saya yang tak setinggi nilai anaknya. Saya berusaha memaklumi perasaannya yang sedang diliputi rasa bangga. Saya merasa biasa-biasa saja dan bisa memaklumi perasaan bangganya.


Kesuksesan dalam hal prestasi akademik, sudah menjadi impian banyak orang semenjak dahulu. Seorang anak berprestasi, dengan nilai-nilat raport tinggi, apalagi menjadi juara kelas, pasti akan menjadi kesayangan para guru, dikagumi teman-teman, dibanggakan keluarga, dihargai, serta tumbuh rasa percaya diri yang tinggi ketika tampil dimanapun ia berada.


Bayangan dan prediksi menjadi manusia sukses di masa mendatang, sudah bukan menjadi barang mustahil. Tak sulit baginya untuk melanjutkan pendidikan dimanapun karena dengan modal kepintaran dan nilai tinggi, sudah pasti akan sangat menolong untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan keinginannya.


Tak bisa dipungkiri pula, bahwa ternyata di dunia ini memang kesempatan terbuka luas bagi mereka yang memiliki prestasi akademik yang baik. Lapangan kerja, pandangan positif masyarakat, kesempatan berkembang dan banyak lagi peluang yang ditawarkan bagi mereka yang berprestasi cemerlang. Bahkan tak jarang orang-orang pintar menjadi "bahan rebutan"berbagai instansi maupun perusahaan yang ingin menggunakan kemampuan mereka untuk memajukan instansi dan perusahaan agar lebih berkembang. Alangkah bahagianya menjadi orang pintar.


Tetap berteman, prestasi tak perlu diperbincangkan


Tak ada yang salah dengan rasa bangga akan prestasi. Kita hanya perlu belajar menempatkan diri dimana bisa meluapkan rasa itu. Karena tak semua orang berkesempatan memiliki dan merasakannya. Jangan sampai kebahagiaan kita justru menjadikan timbulnya rasa rendah diri pada orang lain.


Kita perlu belajar berpikir bijaksana, dalam menyikapi kelebihan dan kekurangan seseorang yang merupakan pemberian Tuhan. Ketika seseorang kurang mampu dalam sesuatu hal, dia pasti memiliki kemampuan dalam hal lain. Untuk itu, sangat perlu bagi seseorang mengenali dan menggali potensi dalam dirinya, agar benar-benar paham apa yang menjadi kemampuan, bakat dan keistimewaannya, sehingga ia bisa memaksimalkan dan memanfaatkannya.


Nyatanya, Tuhan memang Maha Adil. Dia memberikan kesempatan semua manusia untuk bisa hidup bahagia, layak, berkecukupan dan nyaman dengan cara mereka masing-masing. Prestasi akademik yang kurang baik, tak selalu menghalangi seseorang untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya. Berbagai cara bisa dilakukan untuk mencapai keberhasilan tanpa harus melibatkan nilai-nilai yang terpampang dalam ijazah dan gelar kesarjanaan yang berderet.


Ada seorang tetangga dengan profesi sebagai pedagang, dengan kondisi ekonomi yang bisa dibilang sangat mapan. Dia bisa membangun rumah besar, dengan berbagai fasilitasnya seperti kendaraan yang berjumlah lebih dari satu. Dia bukan seorang sarjana. Bahkan pendidikannya tak sampai tingkat SMP. Namun kondisi ekonominya bisa dikatakan melebihi penghasilan PNS yang rata-rata pendidikannya S1.


Ada pula cerita lain, ketika saya pergi ke pasar untuk berbelanja, sering saya dikejutkan dengan suatu kenyataan yang membuat saya tercengang dan minder. Para pedagang kerupuk, tempe dan ikan yang lapaknya berderet, ternyata semua dipanggil "bu haji" karena sudah bergelar hajjah. Padahal mereka hanya berdagang di lapak, bukan kios.


Penampilannya pun jauh dari modis, dengan lokasi kerja yang kondisinya berdesakan dan sumpek. Prosedur kerjanya juga tidak terikat oleh aturan-aturan rumit yang bernama undang-undang maupun peraturan-peraturan lain yang harus dipatuhi. Namun penghasilan mereka melebihi penghasilan pegawai kantoran yang penampilannya rapi, berseragam dan bersepatu.


Inilah bukti bahwa siapapun bisa berkesempatan hidup layak, meski tidak melibatkan prestasi akademik. Namun demikian, tetap harus ditekankan pemahaman kepada anak-anak, bahwa prestasi akademik tetap harus diutamakan. Pendidikan tetap menjadi prioritas bagi anak usia sekolah. Pendidikan formal tetap menjadi hal penting, sebagai wahana untuk membentuk karakter positif, belajar bersosialisasi, belajar berorganisasi, belajar berpikir kritis dan banyak hal lain yang bermanfaat bagi masa depan seseorang.


Saya pernah bertanya kepada anak saya, bagaimana nilai-nilai raport teman-temannya. Namun anak saya menjawab bahwa ia dan teman-temannya tak pernah membahas nilai raport. Ia mengatakan, nilai raport merupakan hal sensitif untuk dibahas. Saya tertegun mendengar jawabannya. Padahal maksud saya saling menanyakan nilai adalah semata sebagai tolak ukur dan penyemangat untuk saling memotivasi agar berprestasi lebih baik.


Akhirnya saya memahami, bahwa ternyata anak-anak sudah memiliki pandangan mereka sendiri yang bisa dikatakan bijaksana. Mereka tetap berteman baik tanpa memandang kondisi ekonomi dan prestasi. Mereka saling menghargai dan menjaga untuk tidak membahas hal-hal yang dianggap sebagai privasi.


Sejalan dengan ajaran agama Islam, yakni nasihat Ali bin Abi Thalib, agar kita jangan membahas harta benda kita di hadapan orang miskin, kesehatan kita di hadapan orang sakit, kekuatan kita di hadapan orang lemah, kebahagiaan kita di hadapan orang yang sedang bersedih, kebebasan kita di hadapan orang terpenjara, membahas anak di hadapan orang yang tidak memiliki anak, serta orang tua di hadapan anak yatim.


Pada intinya, janganlah membahas apa yang kita miliki di hadapan orang lain yang tidak memilikinya. Justru ketika ada orang lain yang tak seberuntung kita, harus diberi motivasi agar tidak merasa rendah diri. Ajaran bagi kita untuk bersimpati, berempati, peduli dan rendah hati.


(Oleh: Widia Himawan, Pengolah Informasi Media pada Dinas Kominfo Kabupaten Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar