"Salyo Begal" Makna Kepasrahan Kepada Allah SWT

Dilihat 996 kali
Pagelaran wayang kulit "Salyo Begal" di Pondok Tingal

MAKNA cerita wayang kulit "Salya Begal" adalah gagalnya keinginan pribadi dapat menyebabkan manusia putus asa dan kecewa. Sehingga terkait dengan keinginan lebih baik mempunyai pedoman: bukan "Aku sing kepengin" (Saya yang ingin), tetapi "Gusti Allah sing ngersakake" (Allah SWT yang  menghendaki) atas diri kita. Bila hal ini dapat dipedomani maka tidak ada dalam sisa hidup ini yang tidak berguna. Menurut Boediardjo (almarhum) seperti yang ditulis dalam buku biografinya berjudul "Siapa sudi saya dongengi". Lalu apa yang sudah bisa kita capai dalam hidup ini? Ternyata hidup ini penuh dengan rasa kecewa dan rasa menyesal, meski masih banyak yang bisa disyukuri.

Ringkasan ceritera "Salya Begal", ketika Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka pergi ke keraton Pandawa dengan mengendarai kereta guna mencegah terjadinya perang Bharatayudha, di tengah perjalanan dihadang dan "dibegal" oleh orang-orang yang dengan ramah menjemput kedatangan Prabu Salya. Sang Prabu mengira mereka adalah orang-orang dari keluarga Pandawa. Ternyata yang menghadang dan mengelu-elukan kedatangannya adalah Prabu Duryudana dan sanak keluarganya, yang tidak lain juga putra menantunya. Kerabat raja Duryudana ini mempunyai harapan supaya Prabu Salya membela dirinya dan keluarga Kurawa.

Perjalanan Prabu Salya batal sampai ke negara para Pandawa. Akhirnya, Prabu Salya pasrah dan kecewa, karena Kurawa tidak mau berdamai dengan Pandawa, yang menyebabkan pecahnya perang Bharatayudha. Prabu Kresna sebagai duta Pandawa juga tidak berhasil membujuk Kurawa supaya membatalkan perang Bharatayudha. Sehingga perang keluarga Bharata akan terjadi. Prabu Salya bingung harus membela atau memihak siapa? Keluarga Pandawa atau keluarga Kurawa? Semua rencana dan harapan Prabu Salya tidak ada yang bisa terlaksana. Karena sangat kecewa, Prabu Salya kemudian membuang semua senjata dan kesaktiannya, termasuk ajian Candrabirawa pemberian ayah mertuanya, Resi Bagaspati. Prabu Salya kemudian berkata kepada dirinya sendiri, atau ngudarasa, Kanggo apa aku urip? Kanggo apa aku kasinungan praja lan bandha? Saiki kabeh wis ora ana paedahe.(Buat apa saya hidup? Untuk apa saya bergelimang tahta dan harta? Kini, semuanya sudah tidak ada gunanya). Pangudarasa tersebut sebagai ungkapan keluh-kesah dan kekecewaan Prabu Salya.

Keadaan ini membuat bumi "gonjang-ganjing" dan menggetarkan para dewa di Suralaya dan kawula di Arcapada. Sehingga Dewa Narada dan Ki Lurah Semar yang mengetahui keadaan ini turun dari Suralaya untuk menemui Prabu Salya. Bathara Narada dan Ki Semar sebagai dewa ngejawantah memberikan wejangan dan nasehat, dalam hidup ini memang penuh dengan cita-cita dan harapan pribadi yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah merasa puas. Bila tidak bisa menyadari dan menerima kenyataan ini, gagalnya cita-cita dan keinginan tersebut maka akan dapat menyebabkan rasa kecewa dan putus asa tiada akhir.

Ceritera "Salya Begal" garapan Boediardjo ini berdasarkan ceritera Epos Mahabharata. Lakon ini pernah digelar oleh banyak dalang dari Surakarta, Yogyakarta dan Magelang. Lakon ini menjadi pagelaran "wajib" dalam acara peringatan hari kelahiran Pak Boediardjo pada bulan Nopember. Pada peringatan yang ke-102  kelahiran Pak Boed yang diselenggarakan pada hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Nopember 2023 yang lalu, lakon ini digelar oleh dalang Ki Eko Sugiono dari Pepadi Kabupaten Wonosobo. Pentas wayang kulit pakeliran padat ini merupakan pagelaran yang ke-296 di Pondok Seni dan Budaya Boediardjo, Hotel Pondok Tingal Borobudur.

Lakon "Salya Begal" merupakan cerita wayang yang menjadi lakon favorit almarhum Pak Boediardjo. Ceritera ini sebagai gambaran keadaan jaman, keadaan negara atau pun keadaan diri pribadi Pak Boed. Lakon ini pertama kali digelar oleh dalang Ki Manteb Sudarsono (almarhum) di Jakarta dalam acara ulang tahun ke-75 Pak Boed, tanggal 16 Nopember 1996. "Saya ingin mengakhiri dongeng ini dengan pagelaran wayang kulit lakon "Salya Begal", tulis Pak Boed dalam buku otobiografi-nya "Siapa sudi saya dongengi". Ketika pagelaran pertama kali lakon ini, dalang Ki Manteb Soedarsono mengawali dengan tembang Asmaradana, "Sinten purun kula dongengi".

Siapa Pak Boediardjo? Boediardjo, lahir tanggal 16 Nopember 1921 di Magelang. Anak laki-laki dari pasangan R. Djakpar Tjokrodisastro dan R. Ngt. Soelimah Tjokrodisastro. Isterinya bernama Sri Redjeki. Para putra/putrinya adalah Dandung Bardo Kahono, Ennie Angkawati, Grombyang Setyaning Widowati, Sentot Hariyuwono, Iwan Wiwoho, dan Ninies Hari Setyorini.

Almarhum pak Boediardjo pada tahun 1968 - 1973 menjabat Menteri Penerangan. Kemudian sebagai Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan, serta anggota Dewan Pimpinan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia. Masih banyak lagi jabatan di jajaran pemerintahan mau pun non pemerintahan. Pak Boed wafat pada tanggal 15 Maret 1997 karena sakit dan dimakamkan di makam Cikalan dusun Tingal Kulon desa Wanurejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang.*

*) Penulis : Amat Sukandar, Pengamat Budaya dan Jurnalis

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar