Wayang Orang sebagai Media Upacara Ritual Sura

Dilihat 2187 kali
Wayang orang sakral Padepokan Tjipto Boedaja Tutup Ngisor dengan cerita Sri Kembang di setiap bulan Sura dapat menjadi refleksi pesan moral bagi manusia selama mengarungi kehidupannya di dunia.

Dinamika perubahan zaman dari masing-masing era tentu akan mengalami proses yang terus mengalir sesuai dengan tanda-tanda zaman. Memasuki zaman milenial dengan tatanan nilai baru yang rasional dan logis, keyakinan komunitas Jawa terhadap tradisi mitos yang diaktualisasi dalam berbagai upacara adat, rupanya tidak dapat dipisahkan dari ekspresi seni. Hal itu tampak, diantaranya dalam tradisi satu Sura atau dikenal dengan Suran.


Dalam menyambut pergantian tahun baru Jawa ini, di berbagai daerah banyak diselenggarakan berbagai ritual seni pertunjukan dengan nuansa seni, seperti wayang orang, jathilan, wayang kulit, tayub, dan sebagainya. Bagi komunitas Jawa, berbagai pertunjukan seni ini memiliki makna lebih dari sekadar seni, namun di dalamnya juga mengandung makna spiritual yang mendalam.


Komunitas Jawa meyakini, bulan Sura sebagai waktu yang paling tepat untuk introspeksi diri atas perbuatan yang mereka lakukan selama setahun. Istilah sura yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa, berasal dari asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh (maksudnya tanggal 10 bulan Sura). Sementara itu dalam Islam, istilah sura sebagaimana yang telah dipahami oleh mayoritas masyarakat Islam, adalah bulan Muharam.


Secara etimologis Muharam berarti bulan yang diutamakan dan dimuliakan. Muharam dengan demikian merupakan momentum sejarah yang sarat makna. Disebut demikian karena berbagai peristiwa penting dalam proses sejarah terakumulasi dalam bulan itu.


Adaptasi Kepercayaan


Hersapandi dalam penelitiannya bertajuk Sejarah Perkembangan Tahun Baru Jawa dan Perilaku Sosial Budaya Orang Jawa (2005) menegaskan ketika Kerajaan Majapahit sebagai bentuk kerajaan Hindu terakhir dikalahkan oleh Raden Patah yang kemudian  mendirikan keraaan Islam di Jawa dengan nama Kerajaan Demak, bukan berarti kepercayaan Hindu ditinggalkan begitu saja.


Kepercayaan Hindu oleh penguasa dari Demak itu tetap diadaptasi dalam membentuk jati diri sebagai suku Jawa seperti tercermin pada aliran kebatinan. Dalam konteks perkembangan masyarakat Jawa, tampaknya keraton merupakan pusat kehidupan politik dan kebudayan di Jawa.


Politik kebudayaan diteruskan oleh keturunan Raden Patah yaitu penguasa dinasti Mataram Sultan Agung. Langkah-langkah kebudayaan yang dilakukan diantaranya mengubah sistem kalender saka (perpaduan Jawa asli dengan Hindu) menjadi kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah (Islam). Tepatnya, perubahan sistem kalender ini terjadi dan dimulai pada tanggal 1 Sura tahun alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah.


Menurut pandangan orang Jawa, tahun baru Sura merupakan bulan yang dianggap keramat. Mereka mempunyai keyakinan bahwa bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang baik untuk melakukan suatu pekerjaan. Oleh karena itu, orang Jawa cenderung menghindari bulan Sura ketika akan melakukan pekerjaan terutama dalam melakukan hajat perkawinan dan khitanan. Dalam bulan Sura dianjurkan untuk melakukan laku prihatin sesuai dengan adat budaya setempat.


Laku prihatin tersebut mempunyai tujuan agar dirinya selalu mawas diri dan tidak takabur. Lewat simbol-simbol budaya, laku mawas diri tersebut dilakukan dengan melakukan pentas seni yang berfungsi sebagai sarana ritual. Pentas seni wayang, diantaranya menjadi salah satu media penting karena  bagi mereka wayang diyakini sebagai acuan moralitas dalam kehidupan sehari-hari.


Moralitas tersebut dapat ditelisik dari makna cerita yang ada di dalamnya. Cerita wayang merupakan gambaran dari kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Seperti halnya cerita Dewa Ruci yang menggambarkan Bima, ksatria Pandawa dalam mencari guru sejati. Meskipun harus mengalami banyak rintangan, akhirnya Bima mendapatkan guru sejatinya, yaitu menyatukan dirinya yang harus luluh dengan kehendak Sang Pencipta. Makna cerita tersebut dapat menjadi kaca benggala agar manusia tidak putus asa dalam menggapai cita-citanya meskipun banyak rintangan menghadang di depan mata.

 

Nilai Humaniora


Orientasi komunitas Jawa mementaskan pertunjukan wayang orang di bulan Sura ini adalah untuk memberikan gambaran dinamika perilaku sehari-hari yang dilakukan. Seperti diketahui dalam wayang tersimpan kandungan nilai humaniora yang bersifat universal dan bisa berfungsi sebagai tuntunan hidup.


Di Kabupaten Magelang tepatnya di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Dukun, setiap bulan Sura mesti dipentaskan wayang sakral dengan lakon Sri Kembang. Wayang tersebut mempunyai fungsi ritual yang tidak sembarang waktu bisa disaksikan. Hanya bisa disaksikan di bulan Sura. Pemain wayang orang tersebut harus keturunan Yasa Sudarmo (pendiri Padepokan Seni Tjipto Boedaja) yang sudah beberapa alih generasi melestarikan wayang orang sakral tersebut.


Wayang orang sakral di Dusun Tutup Ngisor tersebut merupakan bentuk aktualisasi sistem sosial budaya yang sarat makna simbolis. Dewi Sri adalah representasi dari bidadari kesuburan. Pementasan wayang orang tersebut bertujuan agar di bulan Sura tersebut segala marabahaya termasuk kegagalan panen dapat dihindari.


Peristiwa budaya tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Tutup Ngisor masih meyakini upacara ritual kesuburan dengan pementasaan wayang orang merupakan sarana untuk merekatkan ikatan solidaritas dan meneguhan nilai-nilai tradisi.


Kembali di bulan Sura pada saat ini kita perlu menguatkan pesan untuk saling mengingatkan kepada sesama agar segera bangkit dari keterpurukan akibat badai pandemi. Pesan tersebut bisa diaktualisasikan lewat berbagai media, di antaranya melalui seni pertunjukan wayang orang.


Seni pertunjukan, termasuk di dalamnya wayang orang masih diyakini sampai saat ini menjadi media efektif untuk penyampai pesan lewat pemaknaan kandungan cerita maupuan penokohannya yang dapat menjadi panutan semua pihak untuk selalu melakukan refleksi diri.  


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar