Musik Keroncong Melintasi Jejak Waktu

Dilihat 23 kali
Indonesia Keroncong Festival 2025 di Taman Lumbini Candi Borobudur (16/12/2025) menjadi indikator musik keroncong masih eksis dan mendapat perhatian dari berbagai pihak.

Dewi Murni berkembenkan sutra ungu

Melambai meriak rasa

Semerbak memenuhi

Angkasa beralih biru

Di baliknya awan

Membayang pelangi beraneka warna

Menantikan sang Dewi Murni

Turun bermandi di telaga dewa


Penggalan lagu keroncong bertajuk Dewi Murni yang dipopulerkan Mus Mulyadi di atas merupakan lagu yang tidak asing bagi pencinta musik keroncong.  Lagu Keroncong tempo dulu yang sampai saat ini masih tetap melegenda. Narasi dalam lagu tersebut sangat mendalam, yakni bercerita tentang kerinduan disertai cinta tulus kepada seorang kekasih yang dianggap suci juga sempurna. Kekasih pujaan hati tersebut divisualisasikan sebagai sosok Dewi atau Bidadari dari Kahyangan yang tiada cela baik sosok visual maupun kesucian hatinya. Liriknya penuh dengan ungkapan kerinduan sang penyanyi dengan harapan agar kekasihnya segera hadir di sampingnya, seperti yang terdengar dalam lantunan lagunya.


Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi utama musik keroncong adalah sebagai hiburan. Musik ini sering dimainkan di berbagai acara, seperti serangkaian pesta, pentas seni, hingga acara kenegaraan. Lantunan musik keroncong yang lembut mendayu dan menyentuh intuisi dapat memberikan ketenangan serta menghadirkan nuansa nostalgia penggemarnya. Keroncong menjadi preferensi spesifik untuk acara yang mengutamakan suasana santai dan penuh kehangatan.


Historis Panjang


Apabila dirunut secara historis, musik mendayu yang kini dianggap musik nostalgia tersebut, ternyata memiliki historis yang cukup panjang. Dari beberapa catatan dapat diketahui bahwa musik keroncong berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Indonesia Timur pada 1522. Setelah sebelumnya mereka menemukan Malaka pada 1511. Lahirnya musik keroncong dapat dilacak dari musik rakyat Portugis yang disebut fado. Musik ini didominasi permainan gitar dari berbagai ukuran untuk   mengiringi vokal penyanyi yang didominasi wanita.


Vokal musik fado bergaya curacao (irama ritmis dengan tempo cepat) yang secara onomatope (tiruan bunyi) berbunyi mirip keroncong, yakni gaya menyanyi dengan penuh perasaan, mirip gaya menyanyi musik keroncong sekarang ini. Musik fado ini seperti musik rakyat pada umumnya yang berfungsi sebagai hiburan dan sering pula untuk bertukar pantun.


Meski dibawa bangsa Portugis sekitar tahun 1600-an, musik ini baru berkembang sebagai musik keroncong pada akhir abad ke-19, sekitar 1870. Bentuk awalnya disebut moresco. Musik moresco ini merujuk pada bentuk paling awal dan tua dari musik keroncong yang muncul dari perpaduan musik Portugis (terutama dari tarian kaum Moor) dengan budaya lokal Indonesia. Iramanya dikenal sangat spesifik bernuansa tripel atau mars, dan bunyi creng-crong dari alat musik petik kecil seperti ukulele, yang menjadi cikal bakal nama keroncong, khususnya pada musik Keroncong Tugu Betawi yang melestarikan genre ini hingga sekarang.


Kurang lebih tiga abad lamanya, musik keroncong hidup dan bertahan di Kampung Tugu, sekarang masuk destinasi wisata di Jakarta Utara. Penampilan Keroncong Tugu menjadi musik perkotaan di Pasar Gambir, Batavia sampai komunitas tentara Belanda di Barak Weltrevreden yaitu pusat militer era kolonial Belanda. Tidak hanya itu, musik keroncong akhirnya menyebar sampai Surabaya melalui jalur pelabuhan. Maka tak mengherankan dari Surabaya ini muncul lagu-lagu stambul (jenis musik keroncong berlirik pantun) dari pertunjukan sandiwara komedi bangsawan yang muncul di wilayah urban (Victor Ganap, 2008).


Peran keroncong dalam sejarah di Indonesia semakin menonjol pada masa perjuangan. Masyarakat tidak asing dengan lagu Bengawan Solo karya Gesang yang menjadi semiotika perjuangan dan semangat nasionalisme. Lantuan musik yang bermakna juga melankolis, menjadikan keroncong sebagai media berekspresi akan cinta tanah air serta ekspektasi menggapai masa depan dengan lebih baik.


Apabila ditelisik lebih mendalam, keroncong memiliki ciri spesifik yang membedakan dengan genre musik lain, seperti penggunaan instrumen tertentu. Instrumen gitar dapat diklasifikasikan menjadi instrumen utama. Pemain gitar biasanya dengan piawai mengaplikasikan teknik petikan spesifik agar menghasilkan keteraturan dalam irama. Ukulele atau yang dikenal cak dan cuk dimainkan dalam dua varian, yaitu cak dan cuk. Cak berfungsi sebagai akor (kombinasi nada). Sedangkan cuk berfungsi memberikan variasi irama.  


Instrumen biola dapat memberikan sentuhan melodi romantis juga lembut dalam nuansa yang menenangkan. Seruling menambah keindahan suara yang ringan dan melodis. Sedangkan Kontrabass dan Selo dapat memberikan landasan irama dan keselerasan yang menguatkan aransemennya.  


Kehadiran musik keroncong yang berkembang sampai saat ini mempunyai beberapa fungsi yang cukup signifikan. Pertama, fungsi pendidikan. Tidak bisa dipungkiri, lagu-lagu dalam musik keroncong dapat memberikan kontibusi edukasi bagi masyarakat. Kandungan nilai edukasi diperoleh melalui syair dalam lagu tersebut. Seperti lagu Sepasang Mata Bola mempunyai makna semangat perjuangan pada warsa 1946.  


Kedua, fungsi hiburan. Fungi sini merujuk, ketika masyarakat mengalami kejenuhan karena seharian melakukan banyak aktivitas atau sedang dalam masalah. Dengan mendengarkan musik akan dapat mereduksi berbagai kejenuhan atau permasalahan tersebut. Kecanggihan teknologi saat ini memberikan kemudahan untuk mengakses musik baik melalui gawai, radio, televisi, juga MP3.  


Ketiga, fungsi sosial. Fungsi ini dapat merujuk, bahwa peranan lagu-lagu keroncong dapat digunakan sebagai sarana merekatkan ikatan solidaritas dalam masyarakat, seperti kegiatan tasyakuran, pernikahan, bakti sosial dan sebagainya yang tujuannya dapat menyemarakkan kegiatan yang berlangsung.


Jejak Waktu


Dicermati dari embrionya ternyata musik keroncong telah mengalami dinamika jejak waktu cukup panjang. Walaupun sekarang harus menyusuri jalan sunyi karena dalam berbagai perhelatan musik keroncong banyak digantikan oleh organ tunggal dengan pertimbangan efisiensi. Namun kita perlu memberikan apresiasi kepada para seniman dan komunitas pendukungnya yang sampai saat ini tetap solid dalam mempertahankan eksistensinya.  


Bahkan, pemerintah pusat sampai daerah juga memperhatikan dengan memfasilitasi baik dengan pendampingan maupun memberikan bantuan hibah kebudayaan. Pemerintah Kabupaten Magelang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan banyak memberikan stimulasi pendampingan berkelanjutan untuk kesenian di seluruh Kabupaten Magelang termasuk musik keroncong.


Patut juga dibanggakan dan diapreasiasi, di Taman Lumbini Candi Borobudur (16/12/2025) telah menjadi venue Indonesia Keroncong Festival dengan peserta dari seluruh Indonesia. Event tersebut di samping prestisius juga sebagai bukti kepedulian pemeritah dan beberapa pihak untuk menstimulasi agar musik keroncong tetap eksis dan ke depannya dapat diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.


Kita yakini kesenian seperti keroncong akan tetap survive. Bangunan kesenian tersebut merupakan spirit dasar ekspresi seni budaya yang ekspresif, egaliter, partisipatoris, serta komunal. Diandaikan sebuah energi sebagai daya hidup yang telah berkelindan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.


Penulis: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kec. Mertoyudan Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar