Istanto, Pensiunan PNS Magelang Raih Penghargaan WHO

Dilihat 1401 kali
Istanto saat menerima penghargaan dari WHO didampingi Dr. Tara Singh Bam dari regional Director, the Union Asia Pacific dan Dr. Liubna Bhati dari Noncommunicablel Diseases and Healthier Population, WHO Indonesia

BERITAMAGELANG.ID- ISTANTO, Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia (FPMI) petang itu terlihat semringah. Kebahagiaan terpantul di wajahnya. Pasalnya, petani yang tinggal di Dusun Truni Kecamatan Windusari itu baru saja meraih penghargaan dari WHO.

Penyerahan penghargaan disampaikan oleh Dr. Lubna Battie (Tim Lead Non Communicable desease and. healtier population unit WHO Indoesia) pada acara Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2023 yang di selenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, di Jakarta pada hari Kamis, 8 Juni 2023 lalu.

Ketika ditemui, petani yang pensiunan PNS Pemerintah Kabupaten Magelang ini mengatakan penghargaan itu diperoleh karena keberhasilan FPMI mengembangkan budidaya ubijalar cilembu di desanya. Keberhasilan itu dinilai oleh WHO sebagai keberhasilan alih tanam dari tanaman tembakau ke tanaman non tembakau.

Perubahan dinilai positif karena dapat mengurangi produksi bahan baku industri rokok yang berbahaya bagi kesehatan umat manusia.

Berita mengenai Penerimaan Penghargaan dari WHO itu dibenarkan oleh Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, Dr Retno Rusdjijati MKes. Pihaknya merasa surprise ternyata apa yang dilakukan oleh para petani yang tergabung dalam FPMI mendapat penghargaan dari WHO.

FPMI merupakan Forum Petani bentukan MTCC UNNIMA untuk melakukan diversifikasi tanaman yang lebih menguntungkan sehingga petani beralih dari budidaya tembakau ke tanaman non tembakau.

Lebih jauh Ketua MTCC menjelaskan pendampingan kepada petani di Windusari dilakuksn sejak tahun 2018 lalu. " Tidak hanya di Windusari, kami melakukan pendampingan kepada petani di beberapa wilayah yang lain, di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB," jelasnya.

Prihatin Pada Tembakau

Menurut Istanto penghargaan dari WHO itu bermula dari rasa prihatinnya yang mendalam terhadap budidaya tembakau yang digelutinya. "Menanam tembakau itu tidak menjamin. Spekulatif sekali, Sering gagal tergantung musim. Kalau banyak hujan pasti gagal. Seperti kejadian tahun 2012 dan 2013 kami sama sekali tidak berhasil," ungkapnya.

Keprihatinan itu mendorongnya untuk mencari alternatif lain. Pilihanya, jatuh pada. budidaya ubi jalar cilembu yang dikenal sangat manis rasanya. "Ketika itu saya minta bibit ke Dinas Pertanian. Setelah dicoba ternyata berhasil," kenang Istanto.

Beberapa lama melakukan budidaya ubijalar cilembu dirasa membawa nilai positif yang dirasakan. Budidayanya mudah dan ekonmis harga jual ketela di pasar lebih stabil dibanding harga tembakau. Dan yang terpenting setahun bisa panen tiga kali.

Karena keberhasilan itu maka budidaya ketela banyak dicontoh petani lain. Menurut Istanto, budi daya ubi jalar kian meluas, setidaknya dapat ditemukan di 12 desa di seluruh Windusari.

Kemudahan budidaya ubijalar yang dilakukan membuat petani meninggalkan tanaman tembakau. "Sudah tidak banyak petani yang menanam tembakau," jelasnya.

Pemasaran Meluas.

Keberhasilan budidaya oleh FPMI ternyata diikuti dengan keberhasilan pemasaran. Permintaan ubi jalar Windusari menembus pasar yang luas selsin Magelang juga menembus di kota kota lain di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ubi jalar cilembu produk Windusari konon lebih digemari karena lebih enak dibanding dengan ubi jalar produk daerah asalnya. Selain memasarkan produk ketela masih mentah, FPMI juga mengembangkan makan olahan berbahan ketela yang dikenal luas dengan nama grubi.

Mengakhiri perbincangan, Istanto mengatakan diversifikasi tanaman yang dikembangkan FPMI tidak hanya dilakukan dengan menanam ubi jalar cilembu tapi juga mengembangkan tanaman kopi dan sayuran yang cocok di tanam di daerah pegunungan.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar