Perangkat Desa Ini Bangkitkan Semangat Petani Kopi Kajoran

Dilihat 4083 kali
Amin, Kadus Tledok Desa Sidorejo Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang, di tengah kebun kopi di desanya.

BERITAMAGELANG.ID - Kopi "Tledok" yang ada di wilayah kecamatan Kajoran, sudah mulai dikenal di luar Magelang. Komoditas yang sedang digandrungi ini, sudah sampai di daerah Purworejo, Yogyakarta, Semarang dan banyak daerah lainnya. Salah salah satu petani yang gigih mengenalkan kopi Tledok adalah Nur Rokhmat Sholeh yang akrab disapa Amin (32).

Laki-laki ini menjabat sebagai kepala dusun (Kadus) Tledok desa Sidorejo kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang. Sejak beberapa tahun terakhir, ia konsen membudidayakan kopi di desanya.

Sebelumnya, kopi yang ada di desa ini merupakan tanaman warisan yang tidak terpelihara dengan baik. Dibiarkan tumbuh secara liar sehingga tingginya tidak terjangkau bila petani ingin memetik.

"Saya melihat ada potensi yang bagus, sehingga saya mulai menggugah semangat petani di sini untuk menanam kopi saja sebagai mata pencaharian," kata Amin.

Pemilihan nama Tledok, menurut Amin, dinilai cukup unik. Bahkan mungkin hanya ada satu nama Tledok di Magelang ini.

"Unik saja namanya, dan cukup membuat orang penasaran, sekaligus mengenalkan nama desa Tledok agar dikenal banyak orang," katanya saat ditemui di rumahnya.

Meski butuh waktu yang tidak sebentar, usahanya tidak sia-sia. Ia bahkan bisa mengajak sebagian besar penduduk di daerahnya untuk menanam kopi sebagai sumber mata pencaharian. Sebelumnya, penduduk di desa ini banyak menanam tembakau. Namun karena popularitas 'emas hijau' ini  sudah menurun, maka dicari komoditas lain yang cukup menjanjikan dan cocok dengan kondisi tanah di desa Tledok yang berada di ketinggian 600-700 mdpl.

Dipilihlah komoditas kopi yang kebetulan saat ini lagi ngetren. Namun pemilihan komoditas kopi, juga didasarkan keprihatinan atas harganya yang sangat rendah.

Keprihatinan lainnya, petani memetik kopi secara sembarangan, yakni kopi yang masih hijau juga ikut dipetik.

Karena terdesak kebutuhan, petani nekad memetik kopi yang hijau dicampur merah. Padahal, hal itu yang menyebabkan harga menjadi murah di pasaran.

"Di pasaran hanya Rp3.500/kg," ungkapnya.

Menurut Amin, harga itu tidak sepadan dengan tenaga dan biaya produksi yang dikeluarkan. Apalagi, untuk mencapai perkebunan kopi, warga harus melalui jalan kecil sejauh kurang lebih 2 km dengan kondisi yang kurang tertata dan menanjak. Bila musim hujan tiba, kondisi jalan licin dan cukup membahayakan.

Hingga pada suatu hari, imbuh Amin, saat berkunjung di sebuah kedai kopi, ia berbincang dengan pemiliknya yang sudah dikenal. Oleh pemilik itu, ia dikenalkan kepada alumni Pusat penelitian di Jember.

Terjadilah obrolan tentang kopi, hingga si peneliti itu datang ke Tledok dan melakukan penelitian. Hasilnya, para petani disarankan agar memetik kopi merah saja agar nilai jual bisa tinggi. Di sisi lain, kopi petik merah juga lebih berkualitas.
Mengetahui kopi Tledok memiliki kualitas yang baik dan rasa yang cukup berbeda dengan kopi-kopi lainnya, Amin bersemangat untuk mengembangkan.

Dengan rasa percaya diri tinggi, kendati ia memiliki kekurangan secara fisik, karena salah satu tangannya putus akibat kecelakaan, Amin memulai merintis usaha kopi.

Di sisi lain, Amin berprinsip, untuk menarik minat warga setempat beralih ke tanaman kopi, dibutuhkan contoh keberhasilan. Genap lima tahun ia bersama dengan beberapa warga yang berminat, mulai merintis usaha kopi, dari menanam, merawat hingga panen kopi dan hasilnya cukup menggembirakan. Ia pun menuruti saran dari ahli kopi agar petik merah.

"Alhamdullilah, sekarang harga kopi bisa naik menjadi Rp6 ribu/kg untuk kopi petik merah. Itu kita yang beli supaya petani lebih semangat," terangnya.

Harga yang cukup tinggi, membuat petani menjadi lebih bersemangat. Setidaknya, dari 45 hektar lahan, sebagian besar ditanami kopi selain salak pondoh dan jambu biji merah. Jumlah petani yang terlibat sudah mencapai 30 orang, termasuk para pemudanya. Untuk sistem perniagaan, juga satu pintu, sehingga harga tidak bersaing.

Sejak setahun lalu, kopi Tledok sudah mulai diincar banyak penikmat kopi. Para pemilik kedai di berbagai daerah banyak berburu kopi Tledok. Juga mini market  yang ada di seputaran Magelang.
Amin mengatakan, rasa kopi Tledok memiliki karakter yang berbeda. 

"Dari sruputan kopinya cenderung ada asamnya dan juga pahit. Jadi Arabika rasa Robusta atau sebaliknya," paparnya. 

Keaktifannya di dunia kopi, akhirnya membawa anak pertama dari dua bersaudara ini mengikuti komunitas kopi di Magelang. Ia juga aktif di 'Warsa Mundung" yang merupakan paguyuban disabilitas, kemudian di unit LIDI atau Layanan Inklusi Disabilitas.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar